Dudukkan Format Pemerintahan Ibu Kota Negara dengan Tepat di RUU IKN
Pembentuk undang-undang diharapkan mematangkan format pemerintahan ibu kota negara dalam RUU IKN. Sebab, format pemerintahan itu dinilai akan berpengaruh terhadap pelayanan publik di daerah IKN.
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara telah memasuki tahap akhir di Dewan Perwakilan Rakyat. Sejumlah isu harus diperhatikan pembentuk UU untuk menjamin RUU IKN tersebut konstitusional sebagai landasan hukum pemindahan ibu kota. Salah satunya pengaturan mengenai format pemerintahan di IKN.
Di draf awal RUU IKN, bentuk pemerintahan IKN adalah pemerintahan khusus. Namun, jika merujuk Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, konstitusi hanya mengatur pemerintahan daerah dan pemerintahan daerah khusus. Tidak ada pemerintahan khusus sebagaimana muncul di draf awal RUU IKN.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, format pemerintahan IKN harus dimatangkan dalam pembahasan RUU ini. Sebab, format pemerintahan akan berpengaruh pada pelayanan publik di daerah IKN.
”Jika bentuknya adalah pemda khusus, maka sama seperti pemda lainnya, pemda khusus IKN secara yuridis bertanggung jawab terhadap semua pelayanan publik di wilayahnya,” kata Endi, Minggu (9/1/2022) di Jakarta.
Baca juga: Pemerintah Janjikan Ibu Kota Negara Baru Menjadi Kota Masa Depan
Hal itu, kata dia, berbeda dari ”pemerintahan khusus” yang disebutkan di draf awal RUU IKN. Bentuk pemerintahan itu tak diatur di konstitusi sehingga jika format pemerintahan itu yang diambil akan rentan menabrak konstitusi. Merujuk pada Pasal 18, khususnya Pasal 18 Huruf B UUD 1945, negara mengakui kekhususan suatu daerah. Namun, masih di dalam koridor pemerintahan daerah, yang bersifat khusus, bukan ”pemerintahan khusus.”
Masukan ORI ini telah disampaikan di dalam rapat pembahasan dengan DPR, Desember 2021. Dalam rapat dengan lembaga negara lainnya, termasuk Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ORI juga telah memberikan saran dan masukan ini untuk memastikan pelayanan publik di daerah IKN itu dapat terlaksana dengan baik dan konstitusional.
Endi mengatakan, hal lain yang perlu dirumuskan dengan cermat ialah soal hubungan antara IKN dan daerah sekitarnya. ”Hubungan IKN dengan daerah sekitarnya perlu diatur. Jangan sampai seperti Jakarta dengan daerah penyangganya di Jabodetabek. Harus dirumuskan di dalam RUU itu tentang kerja sama horizontal IKN dengan daerah di sekitarnya, di samping juga mengatur kekhususan relasi vertikal antara IKN dan pemerintah pusat,” ucapnya.
Urusan-urusan apa saja yang termasuk sebagai urusan ibu kota negara, menurut Endi, perlu didetailkan di dalam rumusan RUU IKN.
Pemda khusus
Anggota tim perumus dan tim sinkronisasi RUU IKN dari DPR, Guspardi Gaus, mengatakan, di dalam pembahasan panitia kerja RUU IKN telah disepakati agar bentuk pemerintahannya ialah pemerintahan daerah khusus ibu kota negara. Dengan demikian, tidak lagi pemerintahan khusus seperti usulan awal.
”Perdebatannya di dalam panitia kerja (panja) memang panjang soal ini karena harus melihat rujukan hukumnya, yakni Pasal 18 Huruf B UUD 1945,” katanya.
Soal status otorita IKN sebagai institusi yang membangun dan memindahkan ibu kota, apakah akan secara otomatis diteruskan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan daerah, menurut Guspardi, hal itu masih penuh perdebatan di dalam tim perumusan.
Adapun, di draf RUU IKN disebutkan, kepala otorita berkedudukan setingkat menteri yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan fungsi pelaksanaan pembangunan dan pemindahan ibu kota negara, serta penyelenggaraan pemerintahan khusus IKN. Kepala Otorita IKN ditunjuk Presiden.
Jika mengikuti draf yang diajukan pemerintah, Otorita IKN yang menyelenggarakan pemerintahan daerah. Artinya, tidak akan ada kepala daerah ataupun pilkada sebagaimana diatur di UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. ”Sementara arahnya memang ke sana, tetapi bisa saja berubah di menit-menit akhir. Karena masih belum ada kesepakatan soal apakah kepala otorita itu ex-officio kepala daerah IKN,” kata Guspardi.
Baca juga: Suharso: Membangun IKN Tidak Seperti Lampu Aladdin
Tim perumus dan tim sinkronisasi sedang mencari formulasi yang tepat untuk menyeimbangkan antara keinginan pemerintah dan pertimbangan DPR agar perumusan RUU itu tidak menabrak UU lain ataupun melanggar konstitusi.
Atur kekhususan
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional Syarif Hidayat mengatakan, idealnya otorita bersifat ad hoc atau sementara. Otorita yang melakukan pembangunan dan pemindahan ibu kota. Setelah tugasnya selesai, Otorita IKN dibubarkan Presiden. Dengan konsepsi ini, Kepala Otorita IKN memang ditunjuk Presiden. Namun, otorita ini bukan penyelenggara pemda khusus IKN.
”Idealnya dibentuk otorita dulu. Baru setelah berjalan pembangunannya dan mulai dilakukan pemindahan, otorita itu dibubarkan, dan status otorita itu dinaikkan, atau berubah menjadi pemda khusus IKN. Namun, kalau di draf RUU IKN itu dibarengkan, jadi statusnya pemda khusus ibu kota, sekaligus dibentuk juga otorita IKN. Mungkin ini maksudnya supaya bisa gerak cepat,” katanya.
Menurut Syarif, Kepala Otorita IKN dan Kepala Pemda Khusus IKN adalah dua entitas yang berbeda. Dengan status pemda khusus IKN, sesuai UU Pemda, IKN harus memiliki kepala daerah dan lembaga legislatif. ”Sama dengan adanya Gubernur di DKI Jakarta, dan pemda lain. Hanya saja, ini memiliki kekhususan karena merupakan ibu kota,” katanya.
Kekhususan IKN inilah yang harus diatur detail di dalam RUU IKN. Sebab, berkaca dari pengalaman DKI Jakarta, kekhususan ini belum diatur rinci. Syarif mengatakan harus ada kewenangan pemda khusus IKN, misalnya, mengoordinasikan dan mengatur, serta memastikan kantor-kantor perwakilan negara asing yang ada di IKN bisa bisa berjalan dengan baik, memberikan pelayanan prima kepada perwakilan-perwakilan asing. Sebab itulah yang membedakan ibu kota dengan daerah lain.
Hal lain yang harus diatur di dalam RUU IKN ialah mengenai hak dan kewajiban IKN. Status pemerintahan daerah khusus IKN itu harus dikawal betul-betul. Jangan mengulang kasus DKI. Karena DKI ini merupakan daerah khusus ibu kota, tetapi kewenangan yang dimilikinya belum sepenuhnya mencerminkan kewenangan pemda di mana ibu kota negara menjadi lokasi bagi perwakilan negara-negara asing,” ujar Syarif.
Pembahasan cepat
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, partisipasi publik dalam memberikan masukan terhadap isu-isu krusial yang ada di draf RUU IKN itu seharusnya dibuka seluas-luasnya. Dengan jadwal waktu pengesahan yang sangat dekat, yakni ditargetkan pada 18 Januari 2022, sementara draf itu telah masuk ke dalam tim perumus dan tim sinkronisasi, artinya kesempatan bagi publik untuk memberikan masukan terbatas.
”Kalau sudah di tim perumus dan tim sinkronisasi, kan sebentar lagi RUU itu selesai. Karena itu sudah merupakan tahapan akhir dari pembahasan,” ucapnya.
Upaya penyelesaian RUU IKN yang sangat cepat, bahkan jika dibandingkan dengan RUU lainnya yang krusial, seperti RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan RUU Perlindungan Data Pribadi, menurut Lucius, menjadi pertanyaan dalam pelaksanaan tugas legislasi di DPR. Muncul kesan untuk RUU tertentu yang merupakan kepentingan pemerintah, pembahasannya sangat cepat, sedangkan RUU yang menjadi kepentingan publik, DPR terkesan lamban.