Surpres Telah Diserahkan, Pemerintah dan DPR Kompak Segera Tuntaskan Revisi Kedua UU ITE
Menurut Mahfud MD, Presiden Jokowi menaruh harapan agar proses pembahasan revisi UU ITE di DPR berjalan lancar dan cepat. Pemerintah menargetkan revisi UU ITE dapat diselesaikan pada April 2022.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah mengirimkan surat presiden (surpres) tentang revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah di UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke pimpinan DPR. Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk segera menuntaskan aturan yang selama ini penerapannya multitafsir itu. Senada dengan pemerintah, pimpinan DPR juga berkomitmen untuk segera menyelesaikannya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Kamis (23/12/2021) malam, mengatakan, pemerintah tidak pernah main-main untuk merevisi UU ITE. Sejak Presiden Jokowi memerintahkan untuk mengkaji penerapan pasal karet UU ITE, pemerintah secara simultan melaksanakan arahan presiden.
Pada 15 Februari 2021, pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Presiden Jokowi berpesan agar implementasi UU ITE tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan. Jika hal itu tidak dapat dipenuhi, Presiden akan meminta DPR untuk merevisi UU tersebut. Presiden bahkan mengatakan akan meminta DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di UU ITE. Sebab, menurutnya, pasal-pasal karet itu menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut.
”Setelah arahan Presiden pada Februari itu, kami (pemerintah) mulai bekerja. Kami membentuk tim kajian UU ITE dari lintas kementerian, lembaga, dan aparat penegak hukum. Lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi UU ITE dan rekomendasi revisi UU ITE. Rekomendasi itulah yang menjadi bahan untuk merevisi UU ITE yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022,” ujar Mahfud.
Mahfud menegaskan, Presiden Jokowi meminta agar revisi UU ITE itu segera diselesaikan bersama DPR. Kajian dan rekomendasi revisi UU ITE sudah dirampungkan tim di bawah Kemenko Polhukam sejak Juni 2021 lalu. Naskah akademik dan draf RUU juga sudah dirampungkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) selaku kementerian pemrakarsa.
Oleh karena itu, pemerintah kemudian mengirimkan surat presiden (surpres) revisi UU ITE untuk meminta legislasi itu dibahas bersama DPR selaku pembentuk UU. Surat resmi dikirimkan pemerintah ke pimpinan DPR tertanggal 16 Desember lalu bertepatan dengan penutupan masa sidang DPR 2021.
”Tidak ada yang lambat, cepat itu untuk sebuah proses UU. Kami bekerja mulai Februari, Juni selesai. Lalu, Desember surpres sudah masuk ke DPR,” ungkap Mahfud.
Mahfud menegaskan, Presiden Jokowi meminta agar revisi UU ITE itu segera diselesaikan bersama DPR.
Menurut Mahfud, Presiden berharap proses pembahasan revisi UU ITE di DPR akan lancar dan cepat. Pemerintah menargetkan revisi UU ITE dapat diselesaikan pada April 2022. Komitmen Presiden untuk memenuhi harapan publik terkait masalah hukum yang timbul karena pasal multitafsir UU ITE sangatlah tinggi.
Dihubungi pada Jumat (24/12/2021), Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, dirinya masih perlu mengecek apakah surpres revisi UU ITE sudah masuk ke pimpinan DPR. Sebab, tanggal dikirimkan surat itu bersamaan dengan paripurna penutupan masa sidang 2021. Namun, dirinya menegaskan, jika benar surat sudah diterima pimpinan DPR, DPR berkomitmen untuk memproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
”Kalau sudah, nanti kita akan tindak lanjut sesuai dengan mekanisme yang ada. Tidak ada masalah,” kata Dasco.
Dasco menegaskan, karena revisi UU ITE sudah masuk dalam 40 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022, sebagai RUU inisiatif pemerintah, DPR berkomitmen untuk segera menyelesaikannya. Hal itu tentu akan dibahas bersama pimpinan DPR, dan fraksi-fraksi di DPR. Revisi UU ITE akan dibahas sesuai dengan mekanisme dan urutan yang berlaku.
Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi menjelaskan, setelah diterima oleh pimpinan DPR, surpres akan dibahas di tingkat pimpinan DPR terlebih dahulu. Setelah itu, Badan Musyawarah (Bamus) DPR akan memutuskan apakah legislasi itu akan dibahas di Baleg, atau komisi. Karena saat ini anggota DPR masih dalam masa reses hingga Januari 2022, dirinya belum tahu revisi UU ITE ini akan dibahas di mana.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengapresiasi komitmen pemerintah dan DPR untuk segera membahas revisi UU ITE. Namun, dia menegaskan bahwa revisi kedua UU ITE ini harus dilakukan secara serius dan komprehensif. Jangan sampai revisi kedua ini justru menimbulkan masalah dan ancaman baru terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.
”Jangan sampai proses revisinya mengulang seperti pada tahun 2016. Revisi terbatas pada pasal tertentu terkait kebebasan berpendapat saja sehingga tidak menangkap kebutuhan yang lebih substantif dari revisi UU ITE. Menurut masyarakat sipil, UU ITE harus dirombak total karena umurnya sudah lebih dari 10 tahun,” kata Wahyudi.
Revisi kedua UU ITE ini harus dilakukan secara serius dan komprehensif. Jangan sampai revisi kedua ini justru menimbulkan masalah dan ancaman baru terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia. (Wahyudi Djafar)
Karena umurnya sudah lebih dari 10 tahun, perkembangan teknologi informasi sudah sangat pesat. Oleh karena itu, pembentuk UU diminta untuk merombak total UU ini agar menjadi UU yang komprehensif dan sesuai dengan tuntutan zaman. Artinya, pembentuk UU juga harus mau mendengar aspirasi dari masyarakat sipil terkait hal itu.
”Di naskah RUU ITE yang kami terima, munculnya usulan pasal baru dari pasal 14-15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur terkait disinformasi justru menjadi ancaman baru kebebasan berekspresi. Dia akan bersifat karet dan multitafsir sehingga tidak sesuai dengan harapan Presiden dan publik,” kata Wahyudi.
Wahyudi mengingatkan agar pembentuk UU lebih cermat saat melakukan pembahasan revisi UU ITE di DPR. Jangan sampai revisi kedua UU ITE ini justru menimbulkan masalah dan ancaman baru yang mengekang dan kebebasan bereskpresi dan berpendapat. Pasal baru 45C di draf RUU ITE dianggap akan bersifat karet dan multitafsir karena dapat mengategorikan seluruh perbuatan dan ekspresi di ruang maya menjadi penyebaran disinformasi.
”Pembentuk UU harus memastikan bahwa revisi kedua UU ITE ini jangan sampai jadi ruang kriminalisasi baru. Revisi UU ITE seharusnya memberikan perlindungan hak asasi manusia di ranah digital yang lebih baik. Jangan sampai ada pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat dengan ancaman pidana lagi. Paradigma ini yang harus dimiliki pemerintah dan DPR saat membahas revisi UU ITE,” ujar Wahyudi.