Revisi terhadap UU ITE harus dapat memuaskan suara-suara rakyat yang selama ini menengarai telah terjadi kemunduran dalam alam demokrasi di Indonesia.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Amnesti bagi Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala, sebaiknya mendorong percepatan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Rakyat perlu didengar.
Faktanya, memang ada pasal-pasal multitafsir pada Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Akibatnya, timbul ketidakpuasan rakyat terhadap implementasi UU ITE.
UU ITE pun ditengarai kerap dijadikan senjata untuk pemidanaan oleh mereka yang mempunyai modal atau kuasa. Adapun masyarakat sipil juga kerap menduga penguasa menyembunyikan watak aslinya yang antikritik dengan bersembunyi di balik UU ITE.
Padahal, kritik disampaikan oleh masyarakat sipil sebagai bagian dari percepatan pembangunan Indonesia. Kritik juga dilontarkan sebagai upaya untuk mengoreksi penguasa agar arah bangsa ini tidak melenceng.
Ketidaksempurnaan dari UU ITE di sisi lain telah disadari pemerintah. Revisi UU ITE telah masuk dalam perubahan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Persoalannya, waktu terus bergulir. Tahun 2022 hanya berjarak 2,5 bulan. Lebih memilukan lagi, korban dari UU ITE dapat jatuh kapan saja.
Kita memahami tidak mudah membuat naskah akademik dan draf RUU ITE di tengah teknologi yang terus berkembang begitu cepat. Beberapa tahun lagi, Indonesia juga akan menggelar pemilu yang keriuhannya harus diantisipasi oleh UU ITE hasil revisi tersebut.
Revisi terhadap UU ITE itu juga harus dapat memberi ruang bagi suara-suara yang coba mengoreksi atau meluruskan hal-hal tertentu. Namun, di sisi lain, idealnya menutup ruang terhadap penyebaran berita bohong (hoaks). Jangan sampai ada pembelahan bangsa akibat berita bohong yang tujuannya sesaat demi kemenangan dalam pertarungan perebutan kekuasaan.
Revisi terhadap UU ITE itu juga harus dapat memberi ruang bagi suara-suara yang coba mengoreksi atau meluruskan hal-hal tertentu.
Bola kini tentu berada di tangan pemerintah. Untuk sekadar menyebut nama, pada kubu pemerintah, kita tahu ada Prof Dr Mahmud MD dan Prof Dr Eddy OS Hiariej yang memahami hukum dengan baik.
Di sisi lain, ada banyak akademisi, praktisi hukum, yang sering pula memberikan catatan konstruktif tentang UU ITE. Duduk bersama di satu meja jelas dapat mendorong tidak hanya percepatan revisi UU ITE, tetapi juga kualitas konten UU ITE yang lebih baik.
Baik pula untuk membedah perkara hingga vonis yang timbul sebagai efek dari penerapan UU ITE. Dapat dianalisis secara akademik, mengapa dari satu pasal timbul penanganan bahkan vonis yang berbeda. Dari bedah perkara itu dapat disusun revisi atau bahkan pasal baru yang tidak multitafsir.
Revisi terhadap UU ITE ini juga harus dapat memuaskan suara-suara rakyat yang selama ini menengarai telah terjadinya kemunduran dalam alam demokrasi di Indonesia. Tentunya, kita ingin suasana demokrasi yang penuh gairah, tetapi tidak saling menyakiti.