Dinamika Muktamar dari Masa ke Masa
Tarikan politik sulit dihindari dari Muktamar NU. Salah satu sebabnya adalah organisasi ini memiliki jemaah yang besar. Modal sosial ini menjadikan NU sangat menarik dalam kontestasi politik.
Pelaksanaan Muktamar Nahdlatul Ulama dari masa ke masa selalu penuh dengan dinamika. Selalu terjadi perdebatan yang sengit terkait dengan perumusan rekomendasi ataupun pemilihan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Mengapa itu terjadi?
Dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren yang ditulis Imam Aziz disebutkan, Muktamar pertama NU diselenggarakan di Surabaya pada 21 Oktober 1926, tak lama setelah NU berdiri, dan tetap terselenggara di kota tersebut sampai muktamar ketiga. Pada tahun-tahun berikutnya, muktamar secara berurutan semakin ke barat, mulai dari Semarang (1929), Pekalongan (1930), Cirebon (1931), Bandung (1932), Jakarta (1933), dan kemudian pindah ke Banyuwangi (1934). Selanjutnya muktamar terselenggara secara acak.
Muktamar di luar Jawa pertama kali diselenggarakan di Banjarmasin (1936). Muktamar 1941 direncanakan di luar Jawa untuk kedua kalinya, yaitu di Palembang, tetapi gagal karena situasi Perang Asia Pasifik. Selama enam tahun masa pendudukan Jepang, tidak diselenggarakan muktamar. Muktamar NU pertama pascakemerdekaan RI diselenggarakan di Purwokerto (1946).
Baca juga : Menjaga Relevansi NU
Di masa-masa awal penyelenggaraan muktamar, NU lebih banyak berkutat pada masalah keumatan dan organisasi. Namun, penyelenggaraan Muktamar NU kian terasa unsur politisnya setelah pergulatan yang keras di era Orde Baru.
Pada saat Muktamar NU 1984 di Situbondo, para pemimpin NU bahkan terbelah menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah kubu Cipete yang bermuara pada Ketua Umum PBNU KH Idham Cholid dan kubu Situbondo yang bermuara ke KHR As’ad Syamsul Arifin.
Menjelang muktamar, kubu Situbondo mengadakan munas, demikian pula kubu Cipete yang juga membuat munas. Situasi seperti itu sudah terasa sepeninggal Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri (wafat pada 25 April 1980). Kubu Situbondo atau disebut juga kubu khitah didukung oleh kelompok muda yang sangat aktif di NU, termasuk KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Dalam catatan buku Fragmen-fragmen Muktamar NU dari Era Kolonial hingga Milenial disebutkan, kubu Situbondo menggelar munas dengan menunjuk Gus Dur sebagai ketua panitia muktamar ke-27. Adapun kubu Cipete menggelar munas dengan menunjuk Cholid Mawardi sebagai ketua panitia.
Dalam suasana politik represif Orde Baru, waktu itu, Munas Situbondo menerima Pancasila sebagai asas. Munas Cipete juga menerima Pancasila sebagai asas.
Dalam suasana politik represif Orde Baru, waktu itu, Munas Situbondo menerima Pancasila sebagai asas. Munas Cipete juga menerima Pancasila sebagai asas dan bahkan sudah lebih dulu diserahkan kepada pemerintah. Namun, pemerintah rupanya lebih menghargai hasil Munas Situbondo karena lebih konseptual ketimbang Cipete yang cenderung sebagai manuver politik untuk mencari simpati pemerintah.
Setelah melihat sikap pemerintah mendukung kubu Situbondo, kubu Cipete mulai melunak. Dengan kebesaran hati para kiai sepuh, akhirnya kedua kubu dikumpulkan dalam sebuah acara ”tahlilan” di rumah KH Hasyim Latief, Ketua PWNU Jawa Timur, di Sepanjang, Sidoarjo (10 September 1984). Di rumah KH Hasyim Latief itulah lahir sebuah maklumat bersejarah bernama ”Maklumat Keakraban” yang ditandatangani tujuh ulama terkemuka, yakni KH As’ad Syamsul Arifin, KH Ali Ma’shum, KH Idham Cholid, KH Machrus Aly, KH Masjkur, KH Saifuddin Zuhri, dan KH Achmad Siddiq.
Baca juga : NU Teguhkan Komitmen Bantu Umat dan Bangsa
Isi maklumat pada intinya ialah kesepakatan untuk mengakhiri konflik, saling memaafkan, dan bersepakat untuk menyukseskan muktamar ke-27 di Situbondo, Desember 1984. Dengan maklumat itu berakhirlah sudah pertikaian antardua kubu yang berlangsung tiga tahun lebih itu.
Dinamika tidak berhenti di situ. Sejarah mengenang muktamar ke-29 yang digelar 1-5 Desember 1994 di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, sebagai muktamar yang paling menegangkan dan terpanas dalam sejarah NU. Pada masa ini, rezim Orba sangat represif terhadap NU. NU dan sosok Gus Dur yang berani ”melawan” pemerintah dipandang sebagai ancaman yang membahayakan bagi rezim.
Ada keinginan untuk mengganggu kepemimpinan Gus Dur dalam Muktamar Cipasung. Presiden Soeharto melakukan berbagai intervensi dengan mendukung secara penuh Abu Hasan, salah satu calon ketua umum PBNU, untuk melawan Gus Dur dalam muktamar.
Baca juga : Dari ”Sai Bumi Ruwa Jurai” untuk Dunia
Sejumlah upaya agitasi dilakukan, termasuk dengan istilah ABG atau Asal Bukan Gus Dur. Mereka mengkritik manajemen kepemimpinan Gus Dur. NU di bawah Gus Dur dipandang lemah. Langkah Gus Dur yang kerap berseberangan dengan pemerintah dinilai bertentangan dengan khitah dan kepentingan NU sendiri.
Pada kenyataannya, Gus Dur tetap terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Bahkan, Gus Dur memimpin tiga periode.
Dua dekade setelah Muktamar Cipasung, dinamika juga terjadi pada muktamar ke-33 di Jombang. Pada Muktamar Ke-33 NU di Jombang, ada tradisi baru pemilihan rais aam menggunakan sistem perwakilan atau ahlul halli wal aqdi (AHWA). Ketentuan mengenai pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum Pengurus Besar NU telah diatur dalam Pasal 40 AD/ART hasil Muktamar Ke-33 NU di Jombang.
Aturan itu berbunyi, rais aam dipilih secara langsung melalui musyawarah mufakat dengan sistem AHWA. AHWA terdiri atas sembilan ulama yang ditetapkan secara langsung dalam muktamar. Kriteria utama yang dipilih menjadi AHWA adalah berakidah ahlussunah wal jama’ah annahdliyah, bersikap adil, alim, memiliki integritas moral, tawadhu (rendah hati), berpengaruh, dan memiliki pengetahuan untuk memilih pemimpin yang munadzdzim dan muharrik, serta wara’ dan zuhud.
Baca juga : NU dan Poros Indonesia
Adapun ketua umum PBNU akan dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar. Sebelumnya, calon harus terlebih dahulu menyampaikan kesediaannya secara lisan atau tertulis dan mendapatkan persetujuan dari rais aam terpilih.
Aturan itu dibuat karena metode pemilihan rais aam sempat buntu dan gaduh. Kala itu, penjabat sementara Rais Aam PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri bersama sejumlah kiai sepuh turun tangan menembus kebuntuan sidang pleno mekanisme pemilihan rais aam tersebut.
Di Muktamar Lampung, dinamika juga terjadi terkait dengan pengesahan pengurus cabang (PCNU). Dalam rapat pleno penetapan tata tertib yang dipimpin oleh M Nuh, Rabu (22/12/2021), di Gedung Serba Guna Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan, Lampung, perdebatan menyeruak mengenai adanya pengurus cabang yang belum mendapatkan surat keputusan. Hal ini dapat membuat mereka kehilangan kesempatan untuk menyalurkan suaranya dalam pemilihan ketua umum PBNU.
Di Muktamar Lampung, dinamika juga terjadi terkait dengan pengesahan pengurus cabang (PCNU). Dalam rapat pleno penetapan tata tertib yang dipimpin M Nuh, Rabu (22/12/2021), di Gedung Serba Guna Universitas Islam Negeri Raden Intan, Lampung, perdebatan menyeruak.
Tarikan politik
Tarikan politik dalam Muktamar NU, menurut peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, adalah sesuatu yang sulit dihindari. Hal ini karena NU merupakan organisasi yang sangat besar dan memiliki jumlah jemaah yang besar. Modal sosial ini menjadikan NU sangat menarik dalam konstelasi politik.
”Bahkan, pada masa Orba pun, sekalipun NU tidak berpolitik, pada dasarnya sikap yang demikian itu adalah sikap politik NU. Artinya, untuk sepenuhnya menjauhkan NU dari politik adalah sesuatu yang sukar dilakukan,” katanya.
Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute Imdadun Rahmat mengatakan, NU tidak bisa lepas dari konstelasi politik yang ada. Situasi itu menempatkan NU harus bersikap. Dalam periode kepemimpinan Said, misalnya, tudingan kerap dialamatkan kepada NU yang dinilai politis.
”Kalau itu menurut saya soal gaya kepemimpinan saja. Kiai Said orang yang berterus terang ketika mendukung seseorang. Dengan begitu, orang terkadang mengasosiasikan NU menjadi sangat politis,” ujarnya.
Baca juga : Muktamar NU Jangan Tinggalkan ”Nahdliyin”
Dengan segala dinamika yang ada, peserta muktamar sepenuhnya menyadari bahwa itu hanyalah bagian dari demokrasi. ”Berbeda pendapat itu wajar saja di dalam NU. Akhirnya tetap bersatu. Musyawarah mufakat itu tradisi NU. Itu sudah biasa,” kata Hasyim Hadrawi, Sekretaris PWNU Kalimantan Barat.
Pemicu kegaduhan dalam muktamar utamanya ialah dinamika menjelang pemilihan Ketua Umum PBNU. Berbeda dengan pemilihan rais aam yang dilakukan melalui mekanisme AHWA, pemilihan Ketua Umum PBNU dilakukan langsung dengan suara terbanyak. Namun, musyawarah mufakat dapat saja terjadi.
Ketua Panitia Pelaksana Muktamar Ke-34 NU KH Imam Aziz mengatakan, musyawarah mufakat dapat saja dilakukan dan diperbolehkan dalam AD/ART. Namun, melihat situasi yang berkembang dalam muktamar ke-34, pilihan musyawarah mufakat sulit dilakukan. ”Semua tergantung muktamirin. Tetapi, melihat perkembangan yang ada, hal itu sulit dilakukan,” kata Imam.
Semoga suhu yang agak memanas di Muktamar NU adalah bagian dari dinamika kedewasaan nahdliyin dalam berdemokrasi....