Menjaga Relevansi NU
Ada empat agenda utama bagi NU memasuki abad kedua agar NU tidak saja relevan bagi Indonesia, tetapi juga akan menjadi kiblat baru dunia Islam.
Mengikuti rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-34 akhirnya akan digelar 22-23 Desember 2021.
Sebelumnya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menetapkan tanggal 23-25 Desember 2021 untuk pelaksanaan muktamar. Meski dilaksanakan dalam situasi sulit karena pandemi Covid-19, inilah muktamar terakhir menjelang NU memasuki abad kedua.
Kepengurusan PBNU periode 2021-2026 yang dihasilkan melalui muktamar ke-34 akan menjadi pengurus PBNU yang akan mengantarkan NU memasuki gerbang 100 tahun kedua.
Karena itu, hasil-hasil muktamar ke-34, terutama yang terkait dengan program-program NU, akan menjadi lompatan strategis untuk memastikan NU tetap relevan dengan kiprahnya di masa yang akan datang. Karena itu, sangat tepat tema Muktamar Ke-34 NU, yaitu: ”100 Tahun NU: Kemandirian dalam Berkhidmat untuk Membangun Peradaban Dunia”.
Tema ini menggambarkan bahwa di usia satu abad, NU ingin mengepakkan dua sayap sekaligus. Di satu sisi, NU sebagai organisasi sosial keagamaan ingin membangun masyarakat—terutama warga NU—yang semakin mandiri.
Di sisi lain, NU menyadari sepenuhnya sebagai bagian dari warga dunia. Karena itu, NU juga mempunyai tanggung jawab untuk kontribusi positif bagi perdamaian dunia.
Tata dunia yang damai dan berkeadilan menjadi hal serius yang juga diperjuangkan NU. Sejak awal, kiprah NU tidak hanya diabdikan untuk kepentingan bangsa Indonesia, tetapi juga memengaruhi perkembangan dunia menuju arah lebih baik.
Pertanyaannya, kemandirian semacam apa yang diimajinasikan NU dan untuk kepentingan apa? Jika kemandirian dimaknai sebagai kemampuan untuk menentukan dan menjalankan agenda-agendanya, agenda apa yang perlu dilakukan NU pada masa akan datang?
Kemandirian bagi NU dimaknai sebagai otonomi, yaitu kemampuan NU untuk menentukan arah, menempuh setiap tahapan menuju arah yang digariskan dan bertanggung jawab dengan semua yang jalankan beserta implikasinya.
Kemandirian tak berarti NU akan menjadi organisasi yang tertutup. Justru sebaliknya, NU akan membuka diri untuk bekerja sama dengan siapa pun yang mempunyai visi yang sama, baik terkait dengan keislaman, kebangsaan, maupun visi tentang tata dunia yang damai dan berkeadilan. NU akan menjadi organisasi yang otonom jika semua penopang organisasi berdiri kokoh, baik terkait tata kelola organisasi, ekonomi, maupun sumber daya manusia.
Perjalanan satu abad
Satu abad perjalanan NU telah memberikan pembelajaran yang luar biasa. NU mampu menunjukkan relevansinya dalam menghadapi berbagai perubahan-perubahan besar, baik perubahan dalam skala global maupun nasional. Perang Dunia I dan II, runtuhnya kekuasaan Turki Usmani pada 1924, serta munculnya paham negara-bangsa tidak hanya menjadi salah satu faktor yang mendorong kiai-kiai pesantren mengorganisasi diri sebagai embrio organisasi NU pada 1926, tetapi juga mendorong kiai-kiai pesantren yang tergabung dalam NU merumuskan peran strategisnya dalam menghadapi tata dunia baru.
Dalam situasi tersebut, lahir kesadaran tentang pentingnya kesetaraan umat manusia dengan mengabaikan segala bentuk perbedaan agama, etnis, dan primodialisme. Kesadaran ini muncul karena dalam waktu ratusan tahun, agama sudah telanjur dibawa dalam pusaran konflik yang terlalu jauh.
Perubahan tata dunia baru yang memunculkan norma-norma baru dalam struktur dan relasi antarnegara, relasi antar-agama, dan antarmanusia menjadi arus besar yang menuntut NU menunjukkan relevansinya. NU jadi kekuatan sosial keagamaan yang relevan dengan berkembangnya negara-bangsa serta tak merasa canggung menerima norma-norma baru meskipun dengan pergulatan yang tidak mudah, terutama terkait dengan kontekstualisasi fikih yang menjadi optik untuk melihat dan menyikapi berbagai persoalan.
Penerimaan paham negara-bangsa bukanlah sesuatu yang sederhana karena ratusan tahun sejarah umat Islam dibentuk dalam alam pikiran yang berbeda sama sekali. Ajaran dan sejumlah doktrin hukum Islam muncul dalam alam pikir, di mana ada satu pusat kekuasaan dan Islam selalu ditempatkan sebagai ”penguasa”. Jadi, negara-bangsa dengan semua implikasinya, apalagi dengan adanya Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang jadi pusat pergaulan dunia yang bisa merumuskan norma-norma pergaulan internasional, merupakan pengalaman sejarah yang sepenuhnya baru bagi umat Islam.
Jika sekarang ada sebagian umat Islam yang masih mengimajinasikan berdirinya negara kekhilafahan, itu merupakan sisa-sisa dari evolusi sejarah yang tidak tuntas. Dalam konteks inilah NU mejadi penopang yang bisa memberi landasan teologis paham negara-bangsa sehingga NU terus menyuarakan kesetiannya kepada NKRI, bahkan selalu pasang badan jika ada gerakan yang dianggap sendi-sendi kebangsaan. Bagi NU, keislaman dan keindonesiaan tidak perlu dipertentangkan. Kecintaan pada Tanah Air merupakan ekspresi dari keimanan (hubbul wathan minal iman).
Dengan landasan yang kokoh itu, NU bisa mengikuti dan menempatkan diri dalam perubahan-perubahan sosial politik dalam skala nasional, sejak masa kolonial, perumusan dasar dasar negara, mempertahankan kemerdekaan, pemerintahan Orde Lama, masa Orde Baru, sampai masa Reformasi dengan semua dinamikanya.
Dalam situasi politik krusial, NU selalu berperan sebagai pemandu arah perubahan. Ada saat-saat di mana NU harus berdiri di depan menjadi pelopor, ada saat di mana NU menjadi oposan, dan ada saat di mana NU berkompromi. Semua langkah yang diambil NU selalu didasarkan pada legitimasi fiqih sebagai worldview-nya.
Dengan landasan berpikir dan bertindak yang kemudian dirumuskan sebagai karakteristik Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdiyah pada Muktamar Ke-33 NU tahun 2015 di Jombang, NU semakin yakin dengan jalan keislaman yang ditempuh, baik yang terkait dengan fikrah, amaliyah, maupun harakah (gerakan).
Cara beragama yang tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), dan ta’adul (berkeadilan) dalam bingkai ukhuwah Islamiyah, wathaniyah dan basyariah yang dirumuskan dalam Muktamar Ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo menjadikan NU mempunyai kelenturan dengan berbagai perubahan. Cara berpikir dan bertindak NU itulah yang kemudian menjadi inspirasi Piagam Persaudaan Kemanusiaan (Watsiqat al-Ikhwah al-Insaniyah) yang dilakukan oleh As-Syekh al-Akbar Jami’ah al-Azhar as-Syekh Ahmad al-Thayyib dan pemimpin umat Katolik Paus Fransiskus di Abu Dhabi (4/2/2019).
Dengan demikian, perjalanan NU selama satu abad dengan semua landasan berpikir dan bertindaknya tidak hanya relevan, tetapi juga menjadi masa depan yang bisa menginspirasi perkembangan Islam di dunia. NU menjadi penyeimbang yang sangat penting prototipe keislaman yang dalam waktu lama selalu diindentikkan dengan Timur Tengah.
Lingkungan strategis
Memasuki abad kedua, NU menghadapi lingkungan strategis yang baru. Dalam skala global, di samping persoalan radikalisme-terorisme yang masih menjadi ancaman keamanan global, umat Islam juga semakin berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk Amerika dan Eropa.
Bahkan, studi demografi Pew Reseach Center (PRC) pada April 2015 berjudul: ”The Future of World Religions: Population Growth Projections 2010-2050” menunjukkan data: tahun 2010, populasi delapan agama mayoritas di dunia adalah: Kristen (31,4 persen); Islam (23,2 persen atau 1,6 miliar pemeluk); Hindu (15 persen), Buddha (7,1 persen); agama lokal (folk religion, 5,9 persen); Yahudi (0,2 persen); agama tak berafiliasi (unaffiliated, 16,4 persen) seperti ateisme dan agnostik; agama lainnya (0,8 persen) .
PRC memproyeksikan, pada 2050 populasi Muslim menanjak paling tinggi menjadi 29,7 persen (2,76 miliar pemeluk). Kristen stabil di angka 31,4 persen. Persentase Muslim dan Kristen diperkirakan sama pada 2070 dengan angka 32,3 persen. Tiga dekade berikutnya, 2100, Muslim menjadi 34,9 persen, dan Kristen 33,8 persen. Pertanyaannya, pemahaman Islam model apa yang akan berkembang pada masa itu?
Apakah Islam yang sejalan dengan prinsip-prinsip NU ataukah justru bertolak belakang. Di sinilah pentingnya, NU menyebarkan prinsip-prinsip beragamanya ke seluruh penjuru dunia agar Islam yang berkembang bukan Islam yang menakutkan, melainkan yang memberi rasa aman kepada siapa pun.
Dalam skala nasional, komposisi demografi Indonesia juga mengalami perubahan. Sensus Penduduk 2020 menunjukkan, komposisi penduduk Indonesia didominasi generasi Z (27,94 persen), yaitu generasi yang lahir sekitar tahun 1997-2012 (sekarang berusia 7-23 tahun); generasi milenial (25,87 persen) yang lahir tahun 1981-1996 (sekarang berusia sekitar 24-39 tahun); generasi X (21,88 persen) yang lahir sekitar tahun 1965-1980 (sekarang berusia 40-55 tahun).
Di sisi lain, pada 2028-2031 akan terjadi puncak bonus demografi yang harus dikelola dengan benar agar semakin banyaknya angkatan usia kerja tidak menjadi bencana bagi bangsa Indonesia.
Dengan komposisi penduduk tersebut, NU perlu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi, terutama dengan semakin mengubahkan karakter Muslim Indonesia. Di samping itu, terjadi arus perubahan yang dirasakan oleh NU. Hal ini didorong oleh setidaknya dua faktor, yaitu migrasi besar-besaran masyarakat NU dari desa ke kota dan semakin meningkat dan beragamnya pendidikan masyarakat NU.
Dua hal ini membutuhkan antisipasi serius karena akan memengaruhi terhadap model pengelolaan organisasi. Selain itu, semakin meningkatnya akses informasi, terutama melalui media digital, semakin memperkaya cakrawala berpikir masyarakat NU.
Empat agenda utama
Dengan melihat perkembangan tersebut, memasuki abad kedua ada beberapa arah program yang perlu diperkuat pada masa yang akan datang. Pertama, memperkokoh transformasi Ahlussunah wal Jama’ah an-Nahdliyah untuk memastikan paham keagamaan yang dikembangkan NU, baik terkait dengan fikrah, amaliyah, maupun harakah melalui berbagai jalur. Pengembangan Aswaja an-Nahdliyah ini harus mewujud dalam berbagai kehidupan sosial, termasuk peran NU dalam mendorong perdamaian dunia.
Kedua, pengembangan kualitas SDM NU di berbagai sektor strategis. lembaga-lembaga pendidikan NU di berbagai level dan sektor harus terus diperkuat. Manajemen talenta di lingkungan NU juga sudah mulai harus dipikirkan agar SDM NU bisa terdistribusi ke berbagai sektor yang diperlukan.
Ketiga, sebagaimana tema dalam Muktamar Ke-34 NU, kemandirian NU—terutama kemandirian ekonomi—harus secara serius dipikirkan. Sudah saatnya ada badan usaha milik NU (BUM NU) yang bisa menggerakan berbagai sektor usaha. BUM NU harus bernaung di bawah Badan Hukum NU, bukan milik orang per orang.
Keempat, penguatan organisasi, kelembagaan, dan jaringan. Penguatan struktur dan transformasi pengelolaan organisasi dengan memanfaatkan teknologi menjadi bagian dari agenda yang harus direncanakan dengan matang.
Dengan menjalankan agenda ini, NU tidak saja relevan bagi Indonesia, tetapi juga akan menjadi kiblat baru dunia Islam.
Rumadi Ahmad Ketua Lakpesdam PBNU; Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah; dan Tenaga Ahli Utama KSP