RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual diharapkan dapat ikut didiskusikan di arena Muktamar ke-34 NU. Dukungan moral dari organisasi sangat dibutuhkan agar perjalanan RUU ini di DPR berjalan mulus.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Islam sangat menghargai perempuan dan hak-haknya. Oleh karena itu, nahdliyin mendukung disahkannya regulasi untuk melindungi perempuan dari tindak pidana kekerasan seksual. Perempuan wajib dilindungi agar tidak mengulang masa jahiliyah atau era kegelapan sebelum datangnya nabi dan rasul.
Pernyataan itu mengemuka dalam acara Ngobrol Pintar (Ngopi) Bareng Forum Perempuan Muktamar ”NU, Perempuan & Kemaslahatan Bangsa”, Rabu (22/12/2021). Acara diskusi tersebut digelar secara hibrida di sela-sela pelaksanaan Muktamar ke-34 di Lampung.
Berbagai tokoh NU hadir dalam diskusi itu di antaranya Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Luluk Nur Hamidah, aktivis perempuan NU Maria Ulfah, intelektual NU Nyai Nur Rofiah, dan Wakil Ketua PP Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK) PBNU Nyai Badriyah Fayumi.
Intelektual NU, Nyai Nur Rofiah, menegaskan, Islam memerintahkan untuk memanusiakan manusia. Sejak 14 abad silam, Islam telah mendeklarasikan bahwa perempuan adalah manusia. Perempuan harus diperlakukan manusiawi. Pendapat bahwa perempuan adalah manusia kelas dua adalah pendapat zaman kegelapan atau jahilliyah. Islam tidak pernah melihat perempuan sebagai makhluk seksual semata. Perempuan adalah manusia seutuhnya yang memiliki intelektual, spiritual, dan hati nurani.
”Cara pandang yang melihat perempuan adalah milik mutlaknya laki-laki adalah cara pandang awal kekerasan seksual. Perempuan hanya dilihat sebagai obyek yang menjadi akar dari kekerasan seksual. Cara seperti ini tidak dikenal di Al Quran. Islam sangat menghargai perempuan sebagai manusia seutuhnya,” kata Rofiah.
Sesuai ajaran Islam, laki-laki tidak boleh melakukan eksploitasi dalam bentuk apa pun kepada perempuan, sekalipun sudah menjadi suaminya. Di masa Jahilliyah, karena perempuan hanya dilihat sebagai obyek, laki-laki diperbolehkan menjual istri-istrinya. Bahkan, di Inggris, undang-undang yang memperbolehkan suami menjual istrinya baru dibatalkan pada abad ke-19.
Akibat pandangan inilah muncul pendapat bahwa memperkosa perempuan yang dimilikinya bukanlah sebuah bentuk kejahatan. Pemerkosaan hanya dikenal bagi perempuan yang bukan milik seseorang. Ini tidak sesuai dengan ajaran Islam karena Islam melarang laki-laki melakukan eksploitasi perempuan dalam bentuk apa pun.
”Manusia dan laki-laki itu sama-sama makhluk berakal dan berhati nurani. Mereka hanyalah hamba Allah yang berhak untuk cerdas, belajar kritis, sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk berakal. Hak-hak ini harus dijaga sebagai bagian dari syariat Islam,” tutur Rofiah.
NU harus ikut berikhtiar untuk menciptakan sistem yang melindungi perempuan sebagai kelompok rentan.
Oleh karena itu, menurut dia, NU penting untuk ikut berkontribusi dalam mengubah sistem yang zalim. Sistem zalim yang dimaksud adalah sistem yang tidak berpihak kepada mereka yang lemah. NU harus ikut berikhtiar untuk menciptakan sistem yang melindungi perempuan sebagai kelompok rentan. Oleh karena itu, pihaknya sepakat jika RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) harus segera disahkan.
”NU juga harus ikut menyadarkan bahwa mencegah kekerasan seksual juga diperlukan pendekatan struktural berupa sistem hukum yang membuat pelaku diproses hukum agar jera,” kata Rofiah.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah, mengatakan, sudah 17 tahun berbagai kelompok masyarakat dan partai politik memperjuangkan RUU TPKS. Sayangnya, peraturan yang akan memberikan perlindungan kepada kelompok rentan ini tidak kunjung gol di DPR. Bahkan, RUU itu belum disetujui sebagai inisiatif DPR sehingga belum ada pembahasan antara pembentuk UU.
”Kami berharap isu RUU TPKS dan RUU PPRT ini ikut didiskusikan di arena Muktamar yang akan mulai bersidang pleno besok. Kami berharap kedua RUU ini mendapatkan dukungan moral dari organisasi sehingga perjalanannya akan mulus di DPR,” kata Luluk.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKB Muhaimin Iskandar mengatakan, dirinya berkomitmen RUU TPKS harus menjadi prioritas yang harus segera disahkan oleh DPR saat memasuki masa sidang 2022. Menurut dia, RUU tersebut sangat strategis untuk mengatasi kondisi di Indonesia yang sudah darurat kekerasan seksual. Negara harus mengambil langkah agresif untuk menghentikan itu.
”Saya juga sudah bertemu dengan Kapolri untuk melakukan penegakan hukum yang tegas dan terukur untuk memberikan rasa keadilan kepada para korban,” kata Muhaimin.
Dia juga sepakat bahwa NU dengan kekuatan politik yang dimiliki harus bisa meyakinkan pembentuk UU bahwa RUU TPKS dan RUU PPRT sangat mendesak diperlukan oleh publik. NU harus ikut mendorong dan mengadvokasi agar RUU itu bisa disahkan di DPR. Muhaimin berjanji, sebagai nahdliyin, dirinya juga akan berusaha semaksimal mungkin agar RUU itu segera disahkan. Namun, dia tak memungkiri bahwa situasi politik di DPR sangatlah dinamis.
”Kalau saya pribadi berharap RUU TPKS harus menjadi yang pertama disahkan. Namun, itu, kan, juga tergantung dari pimpinan sidangnya,” kata Muhaimin.
NU dengan kekuatan politik yang dimiliki harus bisa meyakinkan pembentuk UU bahwa RUU TPKS dan RUU PPRT sangat mendesak diperlukan oleh publik.
Sebelumnya, draf RUU TPKS telah mendapat persetujuan tingkat pertama di Badan Legislatif (Baleg) DPR pada 8 Desember 2021. Persetujuan diberikan tujuh dari sembilan fraksi di dalam panitia kerja. Fraksi yang mendukung adalah Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP. Fraksi Partai Golkar menunda karena masih ingin mendengarkan masukan publik.
Adapun Fraksi PKS menolak. Pengesahan RUU TPKS itu diharapkan terjadi di rapat paripurna penutupan masa sidang DPR 2021, Kamis (16/12). Alasannya hanya karena masalah administrasi, yaitu karena Baleg lalai meminta kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk memasukkan pengesahan tingkat kedua RUU dalam rapat paripurna (Kompas, 17 Desember 2021).