Politik bukan matematika yang hasil akhirnya bisa diprediksi. Meskipun disetujui tujuh dari sembilan fraksi, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus dikawal hingga menjadi undang-undang.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·5 menit baca
Kekecewaan atas batalnya usulan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR RI di Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (16/12/2021) meruap begitu jadwal rapat diumumkan.
Lembaga pendamping korban, organisasi masyarakat sipil advokasi hak asasi manusia, akademisi, dan individu-individu menyatakan kekecewaan. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) sebagai organisasi pendamping korban meminta maaf terbuka karena gagal meloloskan usulan RUU ke rapat paripurna.
RUU TPKS telah sembilan tahun diupayakan menjadi undang-undang sejak pertama kali masuk sebagai usulan masyarakat ke DPR RI. Pada masa kerja DPR RI periode 2014-2019 RUU ini gagal lolos dari Komisi VIII. Pada periode 2019-2024 rancangan ini dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Melalui perdebatan panjang dan alot di rapat-rapat Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS di Baleg serta beberapa kali perubahan substansi akhirnya usulan RUU TPKS disetujui tujuh fraksi dari sembilan fraksi pada 8 Desember 2021. Ketujuh fraksi adalah PDI-P, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, Demokrat, dan PPP. Fraksi Partai Golkar menunda menyetujui dengan alasan masih akan melakukan sejumlah konsultasi publik, dan Fraksi PKS menolak tegas.
Ironisnya, perjuangan panjang itu kandas karena masalah administrasi. Agar suatu usulan dari Baleg dapat dibawa ke rapat paripurna dan mendapat persetujuan anggota DPR, itu harus mendapat persetujuan Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI yang beranggotakan pimpinan DPR.
Salah satu tugas Bamus adalah menetapkan agenda DPR untuk satu tahun sidang, satu masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya. Rapat Bamus terakhir untuk menetapkan agenda Rapat Paripurna DPR dilakukan 6 Desember 2021.
Ketua Badan Legislatif DPR RI Supratman Andi Agtas menyatakan ada kelalaian pihaknya sehingga Bamus tidak menjadwalkan agenda persetujuan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna pada Kamis (16/12). Pada hari itu, Supratman mengatakan kepada Kompas bahwa pihaknya seharusnya memberitahukan Bamus sebelum rapat terakhir 6 Desember 2021 agar pengesahan RUU TPKS diagendakan di rapat paripurna.
Kekecewaan ditujukan kepada Bamus karena dianggap tidak peka atas mendesaknya undang-undang mencegah kekerasan seksual. Bamus dapat mengadakan rapat tambahan apbila menganggap RUU TPKS mendesak.
Kekerasan seksual itu dialami anak hingga orang dewasa, perempuan ataupun laki-laki.
Terbuka
Pengesahan segera RUU TPKS mendesak karena kekerasan seksual terjadi di sejumlah tempat. Dalam tiga bulan terakhir kekerasan seksual terjadi di Aceh Besar, Luwu Timur; Padang; Palembang; Tanjung Pinang; Pekanbaru, Tambusai, Rokan Hulu, Riau; Kotawaringin Barat; Sragen, Mojokerto; Malang; hingga Bandung. Kekerasan seksual itu dialami anak hingga orang dewasa, perempuan ataupun laki-laki. Pelakunya orang di sekitar korban, seperti ayah, saudara kandung, kakek, rekan di tempat bekerja, guru, hingga dosen. Laporan kekerasan seksual terus mengalir masuk ke anggota Panja RUU TPKS.
Kekerasan seksual yang tidak terungkap diyakini jauh lebih besar. Lokasi kejadian yang menyebar menunjukkan kekerasan seksual telah menjadi persoalan nasional.
Ada banyak faktor menyebabkan korban tidak melapor. Selain takut kepada pelaku karena relasi kuasa tidak setara, stigma dari komunitas, trauma psikologis, juga karena institusi kepolisian belum bisa diharapkan melindungi korban dengan memberi respons cepat. Polisi masih sering tidak memercayai laporan korban, menyangkal terjadi kekerasan, bahkan menganjurkan perdamaian dengan pelaku.
Peraturan perundangan yang ada, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana, belum memberi perlindungan yang diharapkan. Penyebab dan dampak kekerasan seksual pada korban tidak sederhana. Peraturan yang ada, misalnya, belum memperhatikan hak korban selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan; belum mengatur pemulihan korban, dan restitusi. Karena itu, berbagai kelompok masyarakat meminta diadakan undang-undang khusus untuk mencegah kekerasan seksual, melindungi dan memulihkan korban.
Proses pembahasan RUU TPKS di Baleg membuka dialog terbuka dengan berbagai organisasi masyarakat, sejumlah ahli, dan akademisi. Pembahasan berjalan alot. Naskah RUU berubah mendasar dalam definisi kekerasan dan unsur izin (consent) sebagai penentu tindakan tergolong kekerasan seksual.
Pada naskah akhir yang disetujui tujuh fraksi di panitia kerja RUU di Baleg, ketentuan izin dihapus. Perdebatan mengenai unsur izin cukup keras dan bahkan sempat memunculkan sangkaan RUU ini melegalkan zinah sehingga sebagian besar fraksi menolak. Pada sisi lain, seharusnya meloloskan RUU ini dapat menjadi keuntungan bagi parpol karena bisa menjadi branding perlindungan dari kekerasan seksual.
Walakin, anggota Ombudsman RI 2016-2021, Ninik Rahayu, menilai proses di Baleg hingga ke sidang paripurna belum semuanya transparan. Contohnya alasan panja menerima atau menolak masukan masyarakat atas substansi RUU. Begitu juga proses pengadministrasian RUU dengan akibat usulan RUU tertunda pengesahannya.
Supratman mengatakan, secara substansi tidak ada masalah dengan RUU TPKS untuk dibawa ke rapat paripurna. RUU ini sudah diagendakan masuk dalam Rapat Paripurna DPR RI pembukaan masa sidang 2022 pada Januari mendatang.
Wakil Ketua Panja RUU TPKS Diah Pitaloka dari Fraksi PDI Perjuangan juga menegaskan, RUU ini sudah masuk jadwal rapat paripurna Januari 2022. Dengan tujuh dari sembilan fraksi sudah menyetujui substansi RUU, hampir pasti RUU akan disetujui sebagai RUU inisiatif DPR RI. Dengan segera disahkan di rapat paripurna pembukaan masa sidang 2022, tidak perlu kehilangan waktu untuk membahas RUU bersama pemerintah.
Secara substansi tidak ada masalah dengan RUU TPKS untuk dibawa ke rapat paripurna.
Namun, keraguan tetap muncul. Anggota dewan pakar Koalisi Perempuan Parlemen RI, Bivitri Susanti, berulang kali mengingatkan agar semua proses administasi sudah dilaksanakan, termasuk pengiriman surat dari Baleg ke Bamus. Anggota panja dari Fraksi PKB, Luluk Hamidah, menyatakan akan terus mengawal agar RUU ini benar disahkan di rapat paripurna mendatang.
Walakin, politik bukan matematika yang hasil akhirnya dapat diprediksi. Karena itu, pengawalan tetap harus dilakukan sampai RUU TPKS menjadi undang-undang dan substansinya mencapai tujuan mencegah kekerasan seksual dan melindungi korban.