Antiklimaks, RUU TPKS Tak Jadi Dibahas di Rapat Paripurna
Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual belum masuk dalam agenda Rapat Paripurna DPR. Padahal, kebutuhannya kian mendesak.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual belum masuk di dalam jadwal Rapat Paripurna DPR, Kamis (16/12/2021) ini. Dengan demikian, RUU itu belum akan diputuskan menjadi inisiatif DPR.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR yang juga Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) Willy Aditya mengatakan, awalnya penjadwalan mengenai RUU TPKS itu akan diputuskan di dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR, Rabu (15/12/2021) siang. Namun, rapat Bamus itu dibatalkan sehingga RUU tersebut belum masuk ke dalam jadwal rapat paripurna.
”Rapat paripurna hanya mengagendakan penutupan Masa Sidang II DPR 2021/2022 dan permintaan persetujuan tingkat pertama terhadap RUU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan,” kata Willy saat dikonfirmasi, Rabu, di Jakarta.
Ketika ditanyakan alasan RUU TPKS itu belum diprioritaskan DPR untuk segera dimintakan persetujuan menjadi inisiatif DPR, Willy mengatakan, keputusan itu ada di tangan unsur pimpinan DPR melalui rapat Bamus DPR.
Karena RUU itu belum masuk dalam rapat paripurna, Kamis, persetujuan sebagai inisiatif DPR itu baru dapat dilakukan pada masa sidang berikutnya.
Buka mata
Tidak masuknya RUU TPKS dalam agenda Rapat Paripurna DPR sangat mengecewakan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual. Berbagai kasus kekerasan seksual yang terus terjadi, dengan jumlah korban yang semakin banyak, seharusnya membuka mata DPR.
”Paling tidak DPR punya hati nurani melihat apa yang terjadi di sekitarnya,” ujar Megawati dari International NGO Forum on Indonesian Development. Sri Nurherwati, mantan komisioner Komnas Perempuan, menyinyalir, tidak beraninya DPR meloloskan RUU TPKS menunjukkan DPR ketakutan. ”Jangan-jangan munculnya banyak kasus membuat pembuat regulasi ketakutan kalau semua kasus kekerasan seksual terbongkar dengan adanya RUU ini,” ucapnya.
Fenomena gunung es
Mencuatnya kasus kekerasan seksual belakangan, menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, adalah fenomena gunung es yang mesti disikapi bersama.
Kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Juli 2021 mencapai 2.500 kasus. Angka ini melampaui catatan tahun 2020, yakni 2.400 kasus. ”Peningkatan dipengaruhi oleh krisis pandemi, dan ini belum ada apa-apanya. Ini baru fenomena gunung es. Jumlah yang tidak dilaporkan berlipat ganda juga,” kata Nadiem.
Peningkatan dipengaruhi oleh krisis pandemi, dan ini belum ada apa-apanya. Ini baru fenomena gunung es. Jumlah yang tidak dilaporkan berlipat ganda juga.
Menurut Nadiem, dampak dari kekerasan seksual bersifat jangka panjang, bahkan bisa permanen memengaruhi masa depan perempuan. Oleh karena itulah, Kemendikbudristek menyusun dan mengesahkan Permendikbudristek tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga menyusun pedoman lembaga pendidikan berasrama yang ramah anak bersama Kementerian Agama. Keduanya menandatangani komitmen bersama peningkatan pengasuhan ramah anak di satuan pendidikan berasrama.
Terkait dengan kasus kekerasan seksual, Mahkamah Konstitusi menyatakan, kasus dugaan percabulan terhadap anak yang belum dewasa atau yang berusia 19 tahun ke bawah dapat dilakukan penuntutan tanpa harus diadukan oleh korban. Orangtua, wali, atau kuasa dari korban bisa mengadukannya kepada pihak berwajib.
Dengan demikian, norma Pasal 293 Ayat (2) KUHP dengan sendirinya menjadi delik aduan relatif. Bukan lagi delik aduan absolut.
MK mengabulkan permohonan dari dua mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI), Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga, yang mempersoalkan pasal tersebut. Keduanya khawatir karena memiliki sepupu perempuan, jika menjadi korban kejahatan percabulan, orang lain tak dapat melaporkan karena pasal tersebut mengatur tindak kejahatan percabulan terhadap orang yang belum dewasa sebagai delik aduan absolut. Begitu juga jika nantinya mereka memiliki anak perempuan.
Pasal 293 Ayat (1) KUHP berbunyi, ”Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan sengaja membujuk seseorang yang belum dewasa dan berkelakuan baik untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal dia tahu atau selayaknya harus diduganya bahwa orang itu belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Kemudian, Pasal 293 Ayat (2) KUHP menyatakan, penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu atau korban.
Dalam permohonannya, Leonardo dan Fransiscus menyampaikan data kasus percabulan yang meningkat signifikan. Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang diperoleh pemohon pada 7 Mei 2021, ada peningkatan lebih dari 100 persen kasus percabulan dari tahun 2019 ke tahun 2020. Pada 2019, KPAI mencatat ada 190 anak menjadi korban percabulan. Setahun berikutnya, pada 2020, KPAI mencatat ada 419 anak yang menjadi korban kejahatan yang sama.
Pemohon meyakini bahwa data tersebut belumlah jumlah yang sebenarnya. Masih banyak korban yang belum melaporkan atau enggan untuk melaporkan karena malu, bingung melapor kepada siapa, tidak mau berurusan dengan pihak berwajib karena ribet, dan tidak mau aib tersebut terbongkar.
Kejahatan serius
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, MK mempertimbangkan banyaknya keterbatasan yang dimiliki anak di bawah umur jika harus melaporkan tindak pidana yang dialaminya. Ketentuan bahwa hanya korban pidana percabulan yang dapat mengajukan pelaporan kepada pihak yang berwajib, seperti diatur di Pasal 293 Ayat (2) KUHP, justru menyulitkan proses penegakan hukum.
”Sulit bagi proses penegakan hukum yang hanya mengandalkan untuk dilakukannya penyidikan terhadap laporan korban, in casu yang korbannya adalah anak di bawah umur yang secara pengetahuan, psikologis, dan lain-lainnya memiliki keterbatasan,” ujarnya.
Padahal, kejahatan tersebut memiliki dampak serius terhadap anak yang bersangkutan dan masa depannya. Namun, MK juga menyadari adanya dilema, di mana tidak setiap korban ataupun keluarganya menghendaki laporan tersebut dengan pertimbangan akan terbukanya aib atau peristiwa pidana yang menimpa korban.
”Di sisi lain, tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 293 Ayat (2) KUHP adalah tindak pidana serius dan tidak dapat dibenarkan, baik dari sisi agama, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan antara perlindungan terhadap korban dan penegakan hukum atas tindak pidana yang telah dilakukan, ketiadaan laporan atau pengaduan dari korban tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengungkap peristiwa pidana tersebut,” ujar Saldi.
”Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh korban anak di bawah umum, di samping dapat dilaporkan atau diadukan oleh anak dimaksud, laporan atau pengaduan terhadap peristiwa pidana yang terjadi dapat pula dilakukan oleh orangtua, wali, atau kuasanya,” ujarnya. (REK/SON/ELN/ANA/SKA/VIO/AIN)