Tagar ”No Viral No Justice” Tunjukkan Transformasi Kultural Polri Belum Berhasil
Pimpinan dan anggota Polri harus memperbaiki respons yang dianggap masyarakat lambat dalam menangani masalah agar lebih cepat. Secara lebih mendasar, sistem penanganan kasus juga harus diubah.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Munculnya beragam tagar terkait kinerja kepolisian, seperti ”Percuma Lapor Polisi” hingga ”No Viral No Justice” dinilai memperlihatkan akar masalah transformasi kultural Polri sebagai pelayan publik yang belum berjalan secara menyeluruh. Selain diperlukan evaluasi terhadap sistem penanganan kasus, evaluasi dan perbaikan juga mesti dilakukan saat perekrutan dan pendidikan anggota Polri.
Dalam Rapat Koordinasi Analisis dan Evaluasi Inspektorat Pengawasan Umum Polri 2021 yang diselenggarakan di Yogyakarta, Jumat (17/12/2021), Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menyinggung beberapa hal, antara lain fenomena kemunculan tagar di medsos terkait kinerja Polri dan fenomena masuknya laporan masyarakat ke akun Kapolri. Padahal, laporan tersebut semestinya ditangani di tingkat kepolisian sektor atau kepolisian resor.
Tagar yang dimaksud, antara lain, ”Percuma Lapor Polisi”, ”Satu Hari Satu Oknum”, dan terakhir ”No Viral No Justice”. Untuk tagar yang terakhir lebih kurang berarti jika tidak diviralkan, proses hukum tidak akan berjalan.
”Fenomena-fenomena ini menjadi bagian dari tugas rekan-rekan untuk mengevaluasi di sisi mana yang masih kurang terkait perjalanan organisasi kita, baik secara manajemen maupun secara perilaku individu sehingga kemudian ini harus kita perbaiki,” kata Listyo.
Dalam kesempatan tersebut, Listyo mengaku setiap hari menerima 4-5 laporan masyarakat yang langsung masuk ke akun medsos miliknya. Laporan-laporan tersebut kemudian ia teruskan ke tingkat polres atau polsek karena kewenangan penanganannya di sana.
Menurut Listyo, laporan masyarakat tersebut seharusnya dapat diselesaikan di tingkat polsek, polres, atau polda. Namun, dengan adanya laporan tersebut langsung ke dirinya, hal itu memperlihatkan adanya sumbatan komunikasi di setiap tingkat wilayah kepolisian.
Dengan adanya laporan tersebut langsung ke dirinya, hal itu memperlihatkan adanya sumbatan komunikasi di setiap tingkat wilayah kepolisian. (Listyo)
”Apakah laporannya masuk tetapi kemudian tidak ada respons atau malah tidak ada sistem untuk kemudian mau menerima laporan-laporan seperti ini. Tolong bantu saya untuk mengecek sehingga secara jenjang kewenangan, ini bisa tertangani dengan baik,” ujar Listyo.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso, ketika dihubungi, Sabtu (18/12/2021), berpandangan, pernyataan Kapolri tersebut merupakan sebuah keprihatinan yang serius. Ketika sebuah pengaduan masyarakat yang seharusnya ditangani di tingkat polsek atau polres tetapi malah dilaporkan ke Kapolri, hal itu sama saja dengan masyarakat tidak percaya pada aparat kepolisian di tingkat polsek atau polres.
Hal itu, lanjut Sugeng, menunjukkan profesionalisme anggota Polri yang rendah. Profesionalisme itu mencakup tugas-tugas pokok Polri, keahlian aparat di setiap tingkat kewilayahan, hingga pemahaman tentang kode etik dan disiplin.
”Ini ada problem besar Polri dalam layanan publik. Yang selama ini disebut-sebut sebagai reformasi kultural bahwa polisi adalah pelayan publik, tetapi ternyata pada kenyataannya tidak terjadi. Penyebabnya bisa macam-macam, mulai dari saat perekrutan hingga motivasi mereka yang masuk kepolisian untuk mencari duit, bukan untuk melayani,” kata Sugeng.
Ketika kemudian muncul tagar di medsos, yakni ”No Viral No Justice”, menurut Sugeng, hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum oleh Polri hanya dilakukan jika ada tekanan publik. Jika tidak ada, proses hukum tidak dilakukan.
Padahal, untuk kejahatan yang bersifat konvensional, seperti pencurian kendaraan, kepolisian di tingkat wilayah sudah pasti memiliki data dan pemetaan terkait kerawanan kejahatan di wilayahnya. Dengan demikian, tidak ditindaklanjutinya laporan masyarakat untuk kejahatan konvensional semacam itu dinilai merupakan keengganan atau kemalasan dari aparat kepolisian.
Menurut Sugeng, hal itu merupakan masalah serius karena memperlihatkan tidak adanya kesadaran, sikap dan jati diri sebagai pelayan publik. Sebaliknya, transformasi kultural dari berupa sifat feodal dan militeristik yang merupakan peninggalan masa lalu justru masih ada hingga kini.
Oleh karena itu, perbaikan perlu dilakukan secara mendasar mulai dari perekrutan dan seleksi anggota Polri. Perekrutan anggota Polri mesti dilakukan secara terbuka untuk menghindari adanya korupsi, kolusi, dan nepotisma (KKN). Kemudian, pengawasan internal harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti, berpandangan, pertama-tama Kapolri harus mengevaluasi kinerja tiap-tiap satuan kinerja dan satuan wilayah. Sebab, dari hal-hal yang diviralkan masyarakat, kebanyakan menyangkut kinerja di bidang penegakan hukum dan menyangkut tingkah laku anggota.
”Harus diakui pula, ketika kasusnya viral, respons polisi sangat cepat. Hal ini menjadikan masyarakat semakin menyukai dan memilih memviralkan agar ada perhatian terhadap kasusnya ketimbang melapor melalui cara-cara resmi,” kata Poengky.
Terkait hal ini, pimpinan dan anggota Polri harus memperbaiki respons yang dianggap masyarakat lambat dalam menangani masalah agar lebih cepat. Secara lebih mendasar, lanjut Poengky, sistem penanganan kasus juga harus diubah.
Pada masa Orde Baru, ada guyonan di masyarakat terkait penegakan hukum, misalnya lapor kehilangan kambing, malah hilang sapi. Pada masa reformasi dan sesuai semangat reformasi kultural Polri, itu harus diubah. Haram bagi polisi untuk minta uang.
Sistem tersebut mesti mengakomodasi keinginan masyarakat untuk memantau kemajuan dari kasus yang dilaporkan ke kepolisian. Selain itu, sistem penanganan kasus juga harus profesional, transparan, dan akuntabel dengan mengusut semua laporan yang masuk, tidak hanya kasus besar atau yang menarik perhatian publik.
”Pada masa Orde Baru, ada guyonan di masyarakat terkait penegakan hukum, misalnya lapor kehilangan kambing, malah hilang sapi. Pada masa Reformasi dan sesuai semangat reformasi kultural Polri, itu harus diubah. Haram bagi polisi untuk minta uang. Tapi, di sisi lain, kebutuhan anggaran penyelidikan dan penyidikan juga harus dicukupi agar polisi profesional dalam melakukan lidik dan sidik,” tutur Poengky.
Selain itu, lanjut Poengky, di tingkat pendidikan, setiap anggota mesti diberikan praktik untuk bersikap humanis, melakukan pelayanan dengan baik, serta menghormati hak asasi manusia (HAM) untuk kemudian diterapkan saat penugasan. Di sisi lain, penggunaan teknologi, seperti kamera di tubuh atau kamera di mobil, perlu digunakan untuk mengawasi anggota kepolisian yang bertugas.
Terkait tagar ”No Viral No Justice”, warganet dengan akun @bee***D berpendapat, konsep No Viral No Justice itu benar. Sebab, semua yang viral, menurut dia, akan lebih cepat diproses daripada laporan biasa.
Pandangan senada dikatakan warganet dengan akun @mini****mpin. Menurut dia, polisi seperti pajangan karena banyak laporan yang tidak digubris. Sementara ketika hal itu viral, baru polisi mengurus.
Namun, warganet dengan akun @gugumri****8 berpendapat, dirinya beberapa kali bertemu dengan sosok aparat yang lurus di institusi kepolisian. ”Ga ada kata terlambat untuk berbenah,” katanya.