Publik Pertanyakan Kinerja Kepolisian Lewat Tagar #PercumaLaporPolisi
#PercumaLaporPolisi menembus 23.900 cuit di Twitter. Lewat tagar itu publik menyampaikan berbagai pengalaman dan keluhan ketika berhubungan dengan masalah penegakan hukum. Pertanda ekspresi kekecewaan publik.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja kepolisian dalam penegakan hukum kembali dipertanyakan publik. Beberapa hari terakhir, hal itu mengemuka dalam tagar #PercumaLaporPolisi yang menjadi pembicaraan terhangat di jagat maya. Transparansi dalam penanganan kasus harus dikedepankan di era pengawasan masyarakat yang semakin ketat.
Tagar #PercumaLaporPolisi menjadi pembicaraan terpopuler di Twitter dalam beberapa hari terakhir. Pantauan Kompas, hingga Sabtu (9/10/2021) siang, topik tersebut juga masih menjadi pembicaraan terhangat dengan total 23.900 cuit. Warganet mengungkapkan berbagai pengalaman dan keluhan ketika berhubungan dengan penegakan hukum di kepolisian.
Kemunculan tagar #PercumaLaporPolisi dipicu oleh pemberitaan kasus dugaan kekerasan seksual yang dialami tiga anak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, beberapa hari terakhir. Penanganan kasus yang terjadi pada 2019 itu mengecewakan pelapor yang juga ibu kandung ketiga anak itu karena kasus dihentikan dua bulan setelah pelaporan.
Sementara itu, pelapor menilai bahwa kasus ini masih memenuhi syarat untuk dilanjutkan. Adapun penghentian penyelidikan diduga terjadi karena kerja penyidik yang tidak profesional.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (Isess), Bambang Rukminto, mengatakan, selain menunjukkan kekecewaan, reaksi publik di media sosial juga memperlihatkan sikap masyarakat yang semakin apatis kepada kepolisian. ”Hal itu dapat memperburuk kepercayaan publik kepada Polri yang sejak lama sudah lebih rendah dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya,” kata dia dihubungi dari Jakarta, Sabtu.
Merujuk survei Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 31 Juli-2 Agustus 2021 terhadap 1.000 responden yang dipilih secara acak, angka kepercayaan publik terhadap Polri adalah 58 persen. Persentase itu merupakan yang terendah dibandingkan dengan tiga institusi lain, yakni pengadilan (61 persen), Komisi Pemberantasan Korupsi (60 persen), dan kejaksaan (59 persen).
Sementara itu, tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri dibandingkan dengan ketiga lembaga itu juga paling tinggi, yakni 38 persen. Adapun ketidakpercayaan terhadap kejaksaan dan KPK 36 persen, sedangkan pengadilan 35 persen.
Berdasarkan data Ombudsman, sepanjang semester I-tahun 2021, Polri merupakan institusi yang paling banyak dilaporkan masyarakat setelah pemerintah daerah (pemda). Dalam periode Januari-Juni 2021, sudah masuk 333 laporan yang didominasi penundaan berlarut dalam penanganan kasus. Umumnya, pelapor mengeluhkan sulitnya mendapatkan informasi perjalanan kasus yang dilaporkan. Kemajuan penyelidikan dan penyidikan pun cenderung tidak segera disampaikan.
Bambang melanjutkan, di tengah konteks ketidakpercayaan publik dan tingginya pengawasan masyarakat di era informasi, Polri mesti mulai memperbaiki kinerja, baik dalam penanganan kasus maupun pelayanan publik. ”Pola pikir lama seperti bisa memain-mainkan kasus itu harus dibuang. Publik saat ini selalu mengawasi,” ujrnya.
Ia juga mengingatkan agar Polri selalu mengedepankan transparansi saat menangani perkara. Dalam kasus dugaan kekerasan seksual di Kabupaten Luwu Timur, kata Bambang, polemik tidak akan terjadi jika penyelidikan dilakukan secara transparan, baik dengan melibatkan unsur terkait maupun dengan terus memberitahukan perkembangan penyelidikan secara jelas kepada pelapor.
Seacara terpisah, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, kemunculan tagar #PercumaLaporPolisi di media sosial merupakan ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap kepolisian. Media sosial diakui sebagai sarana yang paling sederhana untuk mengungkapkan aspirasi warga, termasuk kepada penegak hukum. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan penjelasan yang lebih komprehensif dan mengharapkan penanganan kasus bisa dilakukan dengan prinsip akuntabilitas tinggi.
Dugaan kekerasan seksual
Terkait dengan kasus dugaan kekerasan seksual di Kabupaten Luwu Timur, Arsul mengatakan, Komisi III meminta agar Divisi Profesi dan Pengamanan, Inspektur Pengawasan Umum, serta Biro Pengawasan Penyidik menyelidiki persoalan ini. Sebab, terdapat perbedaan antara hasil penyelidikan Polres Luwu Timur dan hal yang disampaikan dan dilaporkan pihak pelapor.
”Bahkan, kasus-kasus yang viral dan mendapat atensi publik seperti ini sebaiknya perlu dipertimbangkan (untuk) diambil alih oleh Mabes Polri atau paling tidak ada supervisi dari Mabes Polri atau jajaran Polda di atasnya,” kata Arsul.
Kasus-kasus yang viral dan mendapat atensi publik seperti ini sebaiknya perlu dipertimbangkan (untuk) diambil alih oleh Mabes Polri, atau paling tidak ada supervisi dari Mabes Polri atau jajaran Polda di atasnya. (Arsul Sani)
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan, dalam kasus ini Polres Luwu Timur telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Penerbitan SP3 itu didasarkan pada hasil gelar perkara yang menunjukkan kurangnya bukti.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar pelapor atau kuasa hukumnya untuk menguji keputusan yang dibuat Polres Luwu Timur dengan mengajukan praperadilan. Dengan upaya hukum tersebut, hakim dapat memutuskan sah atau tidaknya SP3. ”Jika hakim praperadilan menyatakan SP3 sah, berarti kasus ini tidak akan dibuka kembali. Akan tetapi, jika hakim praperadilan menyatakan SP3 tidak sah, penyidik wajib membuka kembali kasus ini,” ujar Poengky.
Ia menambahkan, dalam melihat sebuah kasus dugaan kekerasan seksual, penting bagi penyidik untuk mengedepankan asas praduga tak bersalah. Akan tetapi, penting pula agar mereka mencari alat bukti dengan bantuan metode scientific crime investigation atau investigasi kejahatan secara ilmiah.
Metode tersebut dapat membantu penyidik menemukan bukti perkosaan meskipun sudah terjadi dalam waktu yang lama. Sebagaimana pernah berhasil diterapkan untuk mengungkap pemerkosaan yang dilakukan I Nyoman Rimbawan terhadap anak tirinya sejak berusia 12 tahun hingga 18 tahun pada 2019. Dalam pengungkapan itu, Kompolnas pun menyupervisi penyidik untuk menggunakan metode scientific crime investigation.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono mengatakan, kasus yang menimpa tiga anak di Kabupaten Luwu Timur pada 2019 itu dihentikan karena tidak ditemukan bukti untuk menjerat pelaku dengan dugaan pemerkosaan. Adapun prosesnya sudah dilakukan sesuai dengan standar prosedur ketika penyidik menangani suatu perkara. Namun, pihaknya akan tetap mengoreksi dan menindak jika ada anggota polisi yang tidak melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai aturan.
Ia juga mengatakan, penghentian penyelidikan tidak berarti penutupan kasus secara final. Jika ditemukan bukti baru, tidak menutup kemungkinan kasus akan dibuka kembali.