Citra Polri di Pusaran Perang Tagar...
Profesionalisme Polri kembali menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Penghentian penyelidikan kasus pemerkosaan anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, merupakan salah satu pemicunya.

Tiga pekan awal Oktober 2021, jagat maya riuh dengan pembicaraan seputar polisi. Terjadi pertentangan narasi antara pihak yang menyatakan pro dan kontra terkait profesionalitas anggota Korps Bhayangkara di penjuru negeri. Siapa saja yang terlibat?
Riuh rendah pembicaraan seputar profesionalitas polisi ketika bertugas mengemuka sejak 6 Oktober 2021. Saat itu, akun @projectm_org mendengungkan tagar #PercumaLaporPolisi, yang berhubungan dengan unggahan berita dari media daring Project Multatuli. Adapun @projectm_org merupakan akun resmi dari media tersebut.
Berita yang dimaksud terkait dengan kasus kekerasan seksual terhadap tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Pada kasus yang terjadi pada 2019 itu, penanganan oleh Polres Luwu Timur menimbulkan kekecewaan pihak pelapor, yakni ibu dari tiga anak korban kekerasan seksual tersebut. Sebab, polisi memutuskan untuk menghentikan penyelidikan tanpa penjelasan yang sepadan.
Sejak dilambungkan pada 6 Oktober, tagar #PercumaLaporPolisi beberapa kali menjadi topik terhangat atau trending topic. Warganet meresponsnya dengan berbagai pernyataan, keluhan, hingga berbagi pengalaman ketika berurusan dengan kepolisian. Dalam tiga hari berturut-turut, tagar ini masih menjadi salah satu topik terhangat di Indonesia.
Baca juga: Polisi Pelaku Kekerasan Diberi Sanksi

Tangkapan layar trending topic di Twitter pada Sabtu (9/10/2021). Tagar #PercumaLaporPolisi menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan selama beberapa hari terakhir.
Penelusuran Kompas bekerja sama dengan Kudu, lembaga yang fokus pada analisis data dan manajemen aset digital, menemukan sejumlah akun yang berperan penting dalam persebaran akun tersebut. Pada Jumat (8/10/2021), @projectm_org merupakan akun yang paling banyak menjadi tujuan perbincangan, menjadi jembatan antarperbincangan, serta akun yang paling berpotensi mendorong viralitas yang tinggi. Sementara@mawakresna, akun jurnalis Project Multatuli, merupakan akun yang berperan paling besar sebagai ”pasukan tempur” dalam menyebarkan narasi tersebut.
Sehari setelahnya, #PercumaLaporPolisi masih menjadi topik terhangat, tetapi mulai terjadi pergeseran. Jumlah akun yang menjadi tujuan perbincangan, jembatan antarperbincangan, serta mendorong viralitas bertambah. Tidak hanya @projectm_org, tetapi juga ada @ariel_heryanto, @raviopatra, dan @libertess_id. Ketiga akun tersebut dimiliki oleh akademisi dan aktivis yang kerap menyuarakan kritik terhadap penyelenggaraan negara.
Penelusuran Kompas bekerja sama dengan Kudu, lembaga yang fokus pada analisis data dan manajemen aset digital, menemukan sejumlah akun yang berperan penting dalam persebaran akun tersebut. Pada Jumat (8/10/2021), @projectm_org merupakan akun yang paling banyak menjadi tujuan perbincangan, menjadi jembatan antarperbincangan, serta akun yang paling berpotensi mendorong viralitas yang tinggi.
”Pasukan tempur” yang menyebarkan tagar tersebut juga meningkat, dari hanya satu akun yang menonjol menjadi setidaknya empat akun, yaitu @lailyshey, @choliqlz, @apotatothatnaps, dan @shorthimphony.
Viralnya tagar #PercumaLaporPolisi mendorong pemberitaan seputar dugaan pemerkosaan anak di Luwu Timur secara lebih masif. Polri pun secara rutin memberikan pernyataan mengenai kasus yang sudah dihentikan tersebut. Belakangan, Mabes Polri juga mengakomodasi tuntutan publik untuk mengasistensi Polres Luwu Timur hingga akhirnya kasus kini ditangani oleh Polda Sulawesi Selatan.

Hasil pantauan Kudu, lembaga yang fokus pada analisis data dan manajemen aset digital, terhadap akun-akun yang berperan sentral melambungkan tagar #PolriTegasHumanis.
Di tengah dinamika tersebut, pembicaraan di jagat maya juga bergerak. Topik terhangat yang semula diisi kritik lewat #PercumaLaporPolisi kemudian diisi dengan tagar #PolriSesuaiProsedur dan #PolriTegasHumanis.
Dari 10.000 twit menggunakan tagar #PolriTegasHumanis yang dipantau pada Senin (18/10/2021), ditemukan bahwa akun @divhumas_polri atau akun resmi Divisi Humas Polri merupakan pihak yang paling berperan dalam pembicaraan serta pendorong viralitas tagar tersebut. Adapun akun yang menjadi jembatan antarakun dalam melambungkan tagar #PolriTegasHumanis adalah akun @demokrasibodong.
Pada tagar #PolriSesuaiProsedur, akun @humaspolrestem1, akun yang mencantumkan identitas sebagai Humas Polres Temanggung, Jawa Tengah, berperan paling besar dalam menyebarkan pembicaraan. Pembicaraan dengan tagar tersebut ikut melambung melalui akun @humaspolsekkpt sebagai jembatannya.
CEO PT Kudu Data Digital Ingki Rinaldi menjelaskan, sejumlah peran itu diukur dari besarnya derajat sentralitas (degree centrality) yang terkait dengan sebuah tagar. Derajat sentralitas merupakan jumlah total koneksi yang terhubung ke sebuah simpul atau akun. ”Konsep ini semacam ukuran bagi popularitas. Akan tetapi, ukuran dalam bentuk dasarnya tidak membedakan antara kualitas dan kuantitas,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (28/10/2021).
Baca juga: Publik Pertanyakan Kinerja Kepolisian lewat Tagar #PercumaLaporPolisi

Hasil pantauan Kudu, lembaga yang fokus pada analisis data dan manajemen aset digital, terhadap akun-akun yang berperan sentral melambungkan tagar #PolriSesuaiProsedur.
Derajat sentralitas terbagi dalam beberapa jenis, di antaranya derajat sentralitas masuk atau in-degree centrality, yang menunjukkan jumlah koneksi perbincangan yang masuk menuju sebuah akun. Kedua, derajat sentralitas keluar atau out-degree centrality, menunjukkan jumlah koneksi yang keluar dari sebuah akun. Akun dengan nilai derajat sentralitas keluar besar biasanya berperan sebagai ”pasukan tempur” dalam menyebarkan narasi.
Jenis ketiga adalah derajat sentralitas antara (betweeness centrality) yang menunjukkan nilai bagi sebuah akun dalam menghubungkan salah satu akun atau komunitas dengan akun atau komunitas lainnya. Terakhir, terdapat derajat sentralitas eigenvector yang menunjukkan akun-akun yang berpotensi mendorong viralitas tinggi.
Ada kecenderungan bahwa kemunculan tagar #PolriSesuaiProsedur bertujuan untuk meredam kritik publik yang sebelumnya hadir lewat tagar #PercumaLaporPolisi.
Meredam kritik
Ingki membenarkan, ada kecenderungan bahwa kemunculan tagar #PolriSesuaiProsedur bertujuan untuk meredam kritik publik yang sebelumnya hadir lewat tagar #PercumaLaporPolisi. Kecenderungan ini setidaknya terlihat dari urutan waktu kemunculan serta akun-akun yang berperan dalam melambungkan tagar tersebut. ”Pengguna akun yang mencatatkan sejumlah jenis nilai sentralitas tertinggi terkait tagar ini (#PolriSesuaiProsedur), teridentifikasi mengklaim sebagai akun yang terafiliasi dengan Polri,” katanya.
Selain itu, narasi yang dimunculkan juga bernuansa untuk menghadapi narasi yang ada di tagar #PercumaLaporPolisi. Dari analisis teks yang muncul, beberapa kata yang paling banyak muncul adalah ”penanganan”, ”luwu timur”, ”pastikan”, dan ”polri sesuai prosedur”.

Tangkapan layar dari video berisi tindak kekerasan yang dilakukan anggota polisi terhadap seorang mahasiswa, MFA (21), di Kabupaten Tangerang, Banten, yang terjadi pada Rabu (13/10/2021). Video ini telah beredar luas di media sosial.
Jika dilihat lebih detial, kata benda yang paling sering muncul adalah ”kasus”, kemudian kata sifat ”sesuai”. Selanjutnya, untuk kata kerja yang paling banyak digunakan adalah ”mulai”, ”memastikan”, dan ”berjalan”.
Kecenderungan ini berbeda dengan narasi yang hadir melalui tagar #PolriTegasHumanis. Wacana yang dimunculkan tidak melulu berisi konten untuk menghadapi #PercumaLaporPolisi. Ada juga narasi yang menyangkut konten bernuansa kritik, seperti muncul pada kata ”mahasiswa”, ”sampe kejang”, dan ”cm main keroyokan”.
Hal ini tidak terlepas dari konteks pembicaraan publik yang kembali riuh karena viralnya video kekerasan oleh polisi saat menertibkan demonstrasi mahasiswa di Kabupaten Tangerang, Banten, dan penganiayaan yang dilakukan polisi terhadap pengguna jalan di Deli Serdang, Sumatera Utara. Selain itu, ada pula tudingan tidak profesionalnya Polri dalam menangani kasus penganiayaan di Percut Sei Tuan, Sumatera Utara, karena menjadikan korban kekerasan sebagai tersangka.
Menurut Ingki, persaingan narasi yang dilakukan dengan tagar-tagar di dunia maya itu tidak bisa dimungkiri disertai dengan kemunculan narasi lain yang dialami langsung oleh masyarakat. Artinya, ”perang” tagar ini mengonfirmasi bahwa dunia maya tidak bisa dipisahkan dari kenyataan. ”Menarik untuk meletakkan konteks ’perang’ tagar ini dalam realitas keseharian warga yang berhubungan dengan kinerja kepolisian. Ada semacam ketidakpuasan dan tuntutan untuk melakukan pembenahan,” ujarnya.
Baca juga: Dibutuhkan Polisi yang Tegas, Beretika, dan Humanis

Aktivis yang tergabung dalam Urban Poor Consortium dan Jaringan Rakyat Miskin Kota jakarta dibubarkan oleh aparat saat berunjuk rasa menolak kekerasan yang dilakukan oleh militer junta Myanmar di luar Gedung ASEAN, Jakarta, Minggu (24/2/2021).
Otoritarianisme digital
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES sekaligus pengajar politik di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Wijayanto mengatakan, berdasarkan penelitiannya upaya negara meredam kritik publik melalui persaingan tagar bukan pertama kali mengemuka dengan tagar #PolriSesuaiProsedur. Cara ini justru menjadi kecenderungan umum dalam menyikapi aspirasi publik belakangan ini.
Contohnya, ketika memasuki masa Pilkada 2020, akun-akun yang terafiliasi dengan pemerintah, termasuk juga kepolisian, turut mempromosikan wacana normal baru di tengah pandemi Covid-19. Padahal, saat itu kritik publik yang berharap pemerintah memprioritaskan kesehatan masyarakat ketimbang hajatan politik sangat besar. Hal serupa terjadi saat publik, baik di media sosial maupun secara langsung menolak pengesahan UU Cipta Kerja, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dengan sumber daya yang lebih kuat untuk bisa menciptakan narasi secara sistematis, masif, dan dalam jangka waktu yang lebih lama, kata Wijayanto, pasukan siber yang terkait dengan wacana pro-negara itu pada akhirnya tentu akan memenangi perang tagar.
Dengan sumber daya yang lebih kuat untuk bisa menciptakan narasi secara sistematis, masif, dan dalam jangka waktu yang lebih lama, kata Wijayanto, pasukan siber yang terkait dengan wacana pro-negara itu pada akhirnya tentu akan memenangi perang tagar. Akan tetapi, dalam jangka panjang, cara ini akan mencederai kepercayaan publik.
Ia menambahkan, perang tagar menunjukkan bahwa sebuah institusi enggan membuka diri terhadap kritik. Alih-alih mendengarkan aspirasi masyarakat, lembaga negara justru mengooptasi ruang publik digital dengan narasi mereka sendiri.

Didie SW
”Padahal, komunikasi yang baik di era media sosial ini mengandaikan kemampuan untuk mendengar. Sebab, saat ini komunikasi tidak lagi satu arah, tetapi dua arah, di mana publik sudah bisa memberikan umpan balik secara langsung. Seharusnya, simpati publik bisa dimenangi dengan cara mendengar masukan mereka,” kata Wijayanto.
Negara demokrasi, tambahnya, menyaratkan adanya ruang publik yang sehat, yakni ruang publik yang berisi informasi yang benar sehingga bisa menjadi bekal bagi masyarakat untuk mengambil keputusan yang tepat. Namun, jika justru dipadati dengan disinformasi, konten yang dikooptasi pasukan siber, maka ruang publik digital akan gagal menjadi medium yang dapat mendengarkan suara publik.
”Ini ada kecenderungan ke arah otoritarianisme digital, situasi di mana teknologi informasi digunakan untuk menyebarkan informasi untuk merepresi suara publik, mengooptasi ruang publik digital,” kata Wijayanto.
Menolak antikritik
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan, pertengahan Oktober, menolak adanya istilah ”perang” tagar ini. Menurut dia, tugas pokok Polri adalah melindungi, mengayomi, dan menegakkan hukum. ”Kita tidak perang hashtag, kita jawab dengan tupoksi,” katanya.
Ia menambahkan, pihaknya selalu menerima kritik publik. Kemunculan tagar #PercumaLaporPolisi pun menjadi evaluasi tersendiri bagi Korps Bhayangkara.

Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo saat menutup pendidikan Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri Dikreg ke-30, Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespimen) Polri Dikreg ke-61, serta Sekolah Staf dan Pimpinan Pertama (Sespimma) Polri Angkatan ke-66 di Lembang, Jawa Barat, Rabu (27/10/2021).
Merespons sejumlah pelanggaran anggota yang viral di media, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengirimkan Surat Telegram Nomor: ST/2162/X/HUK.2.8/2021 kepada semua kapolda pada 18 Oktober 2021. Untuk memitigasi kekerasan berlebihan yang dilakukan oleh polisi, para kapolda di antaranya diminta untuk mengambil alih kasus kekerasan berlebihan dan memastikan penanganannya secara transparan. Selain itu juga kapolda diminta memberikan sanksi tegas kepada personel yang melanggar peraturan.
Sehari setelah mengeluarkan surat telegram, Listyo juga mengadakan pengarahan untuk seluruh jajaran kepolisian melalui konferensi video. Dalam kesempatan itu, ia menekankan agar polisi tidak bersikap antikritik. ”Jangan antikritik, apabila ada kritik dari masyarakat lakukan instrospeksi untuk menjadi lebih baik,” ujarnya.
Hasil survei Litbang Kompas pada Oktober ini memang menunjukkan kepuasan publik pada kinerja pemerintah di bidang politik dan keamanan serta hukum cenderung turun. Jika pada April kepuasan publik terhadap kinerja politik dan keamanan sebesar 77 persen, kini menjadi 70,8 persen. Adapun kepuasan pada kinerja penegakan hukum turun dari 65,6 persen menjadi 60,6 persen.
Meski begitu, mayoritas responden (63,8 persen) puas dengan penuntasan kasus hukum, seperti perampokan, pembunuhan, perjudian, dan narkoba. Sebanyak 59,7 persen responden puas dengan kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang ditangani oleh aparat. Selain itu, 59,6 persen responden juga merasa aparat penegak hukum telah memberikan perlakuan yang sama kepada semua warga negara. Bahkan, 77 persen responden menilai citra Polri baik. Penilaian itu menempatkan Polri berada di posisi kedua lembaga negara dengan citra baik setelah TNI.
Rupanya di tengah banyaknya kritik, Polri masih menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat. Pekerjaan rumah Polri saat ini adalah menjaga citra baik agar tak tercoreng dengan mendengarkan kritik dan masukan masyarakat.