Sikap antikorupsi menjadi barang mewah di tengah korupsi yang seolah telah menjadi budaya. Terlebih sikap antikorupsi tak melulu diapresiasi, banyak pula yang justru dirundung malang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Penghasilan rendah tak meluruhkan niat mereka untuk menjauhi korupsi. Justru, berkat nilai kejujuran yang terus dipegang teguh, hal-hal baik terus mengalir dengan sendirinya. Namun, tak dimungkiri, banyak pula orang yang bersikap antikorupsi justru dirundung malang. Imbas dari pimpinannya yang justru berlomba-lomba melakukan korupsi.
Halimah (36), petugas kebersihan Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, tetiba dipanggil oleh General Manajer dan Direktur Operasi PT Angkasa Pura Solusi, November lalu. Ia khawatir dan bingung dengan tujuan pemanggilan itu. Namun, setelah keluar dari ruangan, wajahnya semringah. Ia diangkat menjadi supervisor petugas keamanan.
”Saya sungguh enggak menyangka arti dari sebuah kejujuran begitu besar,” ujar Halimah, Minggu (12/12/2021).
Kenaikan jabatan itu tidak terjadi begitu saja. Pada November lalu, Halimah telah membuktikan bahwa dirinya layak mendapatkan penghargaan tersebut. Dengan gaji di bawah Rp 3 juta saat itu, tak sedikit pun ia tertarik mengambil tas berisi cek senilai Rp 35,9 miliar yang ditemukannya di ruang tunggu keberangkatan. Ia langsung menyerahkannya kepada petugas keamanan agar bisa dikembalikan kepada pemiliknya di Jambi.
”Saya juga enggak berharap habis menemukan dompet ini bakal viral atau naik jabatan seperti ini, enggak sama sekali. Makanya, setelah menemukan dan menyerahkan dompet, ya sudah saya seperti biasa, enggak terpikir apa-apa, saya langsung kerja lagi,” katanya.
Gaji Halimah saat ini setidaknya sudah hampir setara upah minimum regional (UMR) Kota Tangerang atau sekitar Rp 4 juta. Lebih dari itu, ia bersyukur, teman-temannya juga mengikuti jejaknya. Pada Kamis (9/12/2021), misalnya, seorang petugas kebersihan Bandara Soekarno-Hatta, Raynaldi, menemukan dompet berisi uang sejumlah 9.500 dollar Amerika Serikat (sekitar Rp 130 juta) di toilet. Tak berpikir lama, Raynaldi langsung menyerahkan dompet tersebut kepada petugas keamanan agar segera dikembalikan kepada pemiliknya.
Abdi negara
Kisah serupa dialami Budi Ali Hidayat (45). Ia tak pernah membayangkan bisa sampai pada posisinya sekarang sebagai Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kota Cimahi. Jika melihat beberapa tahun ke belakang, ia hanya bekerja sebagai penghulu biasa.
Namun, karena ia jujur dengan rutin melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menerima penghargaan dari KPK pada 2020, ia bisa memegang jabatan penting.
Meski demikian, ia menolak menyebut apa yang ia peroleh saat ini sebagai bentuk penghargaan. Sebab, jika dikatakan penghargaan, itu seakan membawanya pada sebuah perlombaan. Sementara semua yang telah dilakukan selama ini, termasuk rutin melaporkan gratifikasi, didasari hati yang jujur dalam bekerja. ”Saya anggap ini memang sudah sepatutnya saya lakukan sebagai tugas saya, sebagai abdi negara. Jadi, saya menjalankan tugas, amanah saja. Naik jabatan ini seperti berkah saja,” ucap Budi.
Kini dengan jabatan yang diembannya, tantangan kian berat dihadapi. Jika saat masih menjadi penghulu, potensi korupsi bisa muncul akibat pemberian gratifikasi dari masyarakat, saat ini potensi benturan kepentingan menjadi lebih besar. Tak jarang, bahkan ia merasa khawatir dengan keamanan istrinya jika terus berada dalam posisi yang benar.
”Semenjak (kisah saya menolak gratifikasi) booming, kalau saya, kan, ya sudah. Tetapi, istri saya malah takut. Kadang, kami berpikir, butuh perlindungan juga,” katanya.
Khaerullah (30), tenaga administrasi honorer SD Negeri Panunggangan 4 Cibodas, Tangerang, bisa merasakan kekhawatiran yang dirasakan Budi. Ia mungkin belum begitu merasakannya karena penolakan gratifikasi yang dilakukan baru sebatas antara orangtua murid dan dirinya.
”Saya belum terlalu merasakan buah pahit dari kejujuran ini, mungkin karena belum ada kegiatan yang bertemu langsung, baik dengan pejabat-pejabat tingkat pemerintahan daerah Kota Tangerang ataupun tingkat bawahnya di kecamatan,” ujar Khaerullah yang pada awal Desember lalu menerima pula penghargaan sebagai Pelapor Gratifikasi Inspiratif dari KPK.
Namun, menurut Khaerullah, selama berada di jalan yang lurus dan benar, tidak perlu ada yang ditakuti. Semua tantangan harus dihadapi. ”Jadi, jalani dan hadapi saja,” ucapnya.
Menjadi lilin
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpandangan, tak mudah menjadi lilin di tengah korupsi yang seolah telah menjadi budaya. Sebut saja, di Kementerian Agama, pada 2019 terkuak kasus suap jabatan hingga melibatkan bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy. Jajak pendapat Litbang Kompas akhir November lalu juga menunjukkan, perilaku korupsi semakin parah di level elite sampai akar rumput.
”Kejujuran pun menjadi hal yang mewah atau langka. Jadi, di dalam situasi seperti itu, orang-orang jujur sering kali akan ajur atau tidak beruntung karena pemimpin mereka berlomba-lomba memperkaya diri sendiri, melakukan korupsi. Padahal, seharusnya jujur itu mujur atau beruntung,” ujar Zaenur.
Oleh karena itu, lanjut Zaenur, selain keteladanan dari masyarakat biasa, seharusnya keteladanan juga diperlihatkan oleh para elite dan pemimpin. Jika mereka memiliki sikap hidup yang sederhana dan menunjukkannya dalam kata, perbuatan, dan kebijakan, itu tentu juga akan diikuti bawahannya.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menambahkan, kehadiran Halimah, Budi, dan Khaerullah menjadi cahaya di tengah buruknya perilaku sejumlah elite. Indonesia rupanya masih memiliki sosok-sosok yang berani memperjuangkan integritas.
”Kan, banyak survei bicara soal pemberantasan korupsi jeblok, itu karena ada berita suap sana-sini, tetapi saya ingin bilang gini, eh, masih ada lho orang bener di Indonesia. Jangan dipikir mau kiamat dunia ini. Masih banyak lho orang di Indonesia ngasih harapan seperti sosok-sosok tadi,” kata Pahala.
Dengan penghargaan terhadap mereka, seperti kenaikan jabatan, diharapkan mereka bisa menjadi terang bagi lingkungan sekitarnya. Pahala meyakini, kejujuran mereka tulus sehingga kebaikan datang dengan sendirinya kepada mereka, tanpa mereka cari.
”Jadi, saya lebih melihat, orang-orang ini kayak lilin saja. Asal dia bisa menerangi selingkungannya saja, cukuplah. Enggak usah mikir nerangin satu stadionlah. Bisa, kok. Kami cuma pengen ngasih lihat bahwa lilin-lilin ini masih hidup dan semoga menyinari yang lain,” ucapnya.