Praktik korupsi masih jamak terjadi, baik pada level elite maupun akar rumput. Responden jajak pendapat ”Kompas” menilai perilaku korupsi di tengah masyarakat sudah pada level mengkhawatirkan.
Oleh
DEDY AFRIANTO/ LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Peringatan Hari Antikorupsi Internasional pekan ini bisa menjadi momentum bersama untuk merefleksikan bagaimana korupsi masih mengancam bangsa. Dalam kondisi pandemi pun, kisah tentang korupsi seolah tak menemui ujung dan terus bergulir mengisahkan lakon baru dari tataran elite di pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.
Menurut catatan arsip Kompas, sepanjang tahun 2020 hingga 2021, kasus yang menjerat para elite beragam, mulai dari suap infrastruktur, jual-beli jabatan, hingga korupsi dana hibah. Menteri, gubernur, hingga bupati dan wali kota pun tak luput dari jeratan korupsi pada periode pandemi Covid-19.
Namun, kondisi ini tidak hanya terjadi di tataran elite. Pada level akar rumput, praktik korupsi juga jamak ditemui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Kondisi ini terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 23-26 November 2021. Sembilan dari 10 responden menganggap perilaku korupsi di tengah-tengah masyarakat saat ini berada pada level mengkhawatirkan.
Kondisi ini diungkapkan responden dari berbagai latar belakang sosial dan daerah. Artinya, korupsi menjadi persoalan yang dirasakan merata oleh masyarakat di banyak daerah di Indonesia. Munculnya penilaian tentang perilaku korupsi ini tentu tidak terlepas dari pengalaman dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Hal ini juga tergambar dalam Indeks Perilaku Antikorupsi 2021 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Jika menilik indikator yang digunakan, terjadi kenaikan persentase masyarakat yang membayar suap atau diminta menyuap petugas saat mengakses layanan publik.
BPS mencatat, jika pada tahun 2020 sebanyak 16,79 persen responden terlibat praktik suap, pada 2021 jumlahnya meningkat menjadi 17,63 persen.
Temuan BPS ini bukan hal baru. Beberapa jajak pendapat Litbang Kompas November 2019, misalnya, menunjukkan sepertiga responden saat itu mengaku pernah memberi uang atau barang saat mengurus dokumen kependudukan. Ini dilakukan responden dari berbagai generasi, baik generasi milenial maupun baby boomers.
Berdasarkan beberapa temuan ini, wajar jika publik menilai perilaku korupsi di masyarakat berada pada level mengkhawatirkan. Bahkan, hampir separuh responden (46,5 persen) menilai perilaku korupsi di tengah masyarakat berada pada kategori sangat parah.
Praktik korupsi memang bukan hal baru yang hadir di tengah masyarakat. Kebiasaan memberi upeti pada periode autokrasi hingga korupsi di zaman kolonial menjadi bagian tidak terpisahkan dari catatan sejarah korupsi di Indonesia. Boleh jadi, catatan sejarah panjang inilah yang akhirnya menyebabkan praktik korupsi terus tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, terjadi ”pewajaran” dalam memberikan hadiah atau uang untuk sejumlah kegiatan.
Pewajaran ini juga terekam dalam Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) 2021 dari BPS. Belum semua warga masyarakat menilai pemberian uang untuk mengurus sesuatu sebagai hal tak wajar. Pada pengurusan SIM, STNK, dan SKCK, misalnya, tujuh dari 10 responden IPAK menilai pemberian uang dalam pengurusan dokumen ini sebagai hal tak wajar.
Selain pembiasaan, responden jajak pendapat Kompas menilai faktor personal tidak kalah penting sebagai aspek yang mendorong terjadinya korupsi. Keinginan untuk mencukupi kebutuhan gaya hidup mewah dinilai sebagian besar responden (73,7 persen) sebagai alasan utama seseorang melakukan korupsi. Artinya, publik menilai pemuasan hasrat memiliki sesuatu di luar kemampuan penghasilan yang diterima menjadi alasan utama praktik korupsi.
Selain faktor personal, faktor lingkungan juga dinilai sebagian responden menjadi penyebab seseorang melakukan korupsi. Tekanan dari atasan, rekan kerja, atau kebiasaan di lingkungan kerja memaksa seseorang masuk pada praktik korupsi akibat dorongan lingkungan sekitar.
Bahu-membahu
Tradisi yang membudaya, faktor personal, dan faktor lingkungan adalah tiga hal yang sulit dilepaskan untuk memahami faktor-faktor pendorong dan penarik terjadinya korupsi. Banyaknya faktor yang memengaruhi perlu disikapi dengan bahu-membahu antara masyarakat dan pemerintah dalam pencegahan ataupun pemberantasan korupsi.
Sayangnya, upaya bahu-membahu ini masih menemui jalan terjal, khususnya dari akar rumput. Pasalnya, belum semua warga bersedia melapor jika menemui tindakan yang mengarah pada praktik korupsi. Hanya 6,9 persen responden jajak pendapat yang mengaku pernah melaporkan tindakan yang diduga terkait korupsi. Adapun dua pertiga responden lain (74,9 persen) mengaku tidak pernah melapor meskipun melihat atau mengalami kerugian akibat praktik korupsi.
Banyaknya warga masyarakat yang tak melaporkan dugaan praktik korupsi yang ditemui mengindikasikan dua hal. Pertama, masih ada ketakutan di tengah masyarakat untuk melaporkan tindakan korupsi. Kedua, masyarakat belum sepenuhnya paham hal yang harus dilakukan jika menemui dugaan praktik korupsi.
Harapan
Selain dari akar rumput, peran pemerintah juga begitu penting sebagai bagian determinan dalam ekosistem pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sosialisasi dan peran aktif pemerintah diperlukan untuk menggandeng masyarakat agar menjadi agen dan garda terdepan dalam memerangi praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Publik juga menaruh sejumlah harapan dan penilaian pada pemerintah yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam mengikis budaya korupsi di Indonesia. Harapan utama tertuju pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Publik berharap penindakan kasus korupsi tetap fokus pada lembaga pemerintah pusat, daerah, lembaga hukum, hingga pelayanan publik yang lain.
Selain itu, publik juga menaruh harapan pada perbaikan kinerja KPK bidang pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pada kedua bidang ini, publik terbelah menilai kinerja KPK. Sebagian menyatakan kinerja KPK telah baik dalam upaya pencegahan ataupun pemberantasan. Namun, sebagian lagi menyatakan perlu upaya peningkatan kinerja KPK agar pencegahan dan pemberantasan korupsi lebih optimal.
Jika harapan publik pada perbaikan kinerja KPK terpenuhi, dengan didukung partisipasi aktif publik dalam mengawasi dan melaporkan dugaan korupsi, budaya korupsi secara perlahan dapat dikikis. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama dari berbagai lapisan masyarakat dan pemerintahan agar korupsi tidak lagi menjadi benang kusut yang membudaya. Semoga....