Terdakwa Kasus UU ITE Stella Monica Divonis Bebas, Jaksa Tak Perlu Banding
Jaksa penuntut umum dalam kasus Stella Monica diminta tidak mengajukan banding atas vonis bebas majelis hakim PN Surabaya terhadap Stella. Putusan hakim telah menjunjung tinggi hak atas kebebasan berpendapat.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Vonis bebas majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya atas terdakwa kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, Stella Monica, diapresiasi. Majelis hakim telah mengambil putusan yang melindungi kebebasan berpendapat. Proses hukum kasus itu pun diminta tak dilanjutkan dengan jaksa penuntut umum tak perlu mengajukan banding.
”Kami menyambut baik vonis bebas yang diberikan kepada Stella dan mengapresiasi majelis hakim yang telah mengambil putusan yang melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat,” ujar Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena, Selasa (14/12/2021).
Jaksa penuntut umum pun diharapkan bisa menerima putusan pengadilan tersebut atau dengan kata lain tidak perlu mengajukan banding. ”Putusan pengadilan telah menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat,” jelasnya.
Vonis terhadap Stella dibacakan majelis hakim yang dipimpin Imam Supriyadi dalam sidang dengan agenda putusan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa. Tak hanya memvonis bebas Stella, hakim meminta Stella dibebaskan dari segala tuntutan jaksa dan dipulihkan nama baiknya.
”Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa penuntut umum dan memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya,” kata Imam, seperti dikutip dari Kompas.com.
Atas putusan itu, jaksa penuntut umum Rista Erna Soelistiowati menyatakan pikir-pikir untuk banding atau tidak. Jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut Stella satu tahun penjara dan denda Rp 10 juta subsider dua bulan kurungan penjara. Jaksa menilai terdakwa terbukti melanggar pasal pencemaran nama baik yang tertera pada Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Kasus Stella bermula saat ia menjadi pasien klinik kecantikan L’viors pada Januari hingga September 2019. Pada Desember 2019, Stella menggunggah komentar dalam Instagram pribadinya tentang pengalamannya memperoleh perawatan dari klinik L’viors yang kemudian direspons oleh teman-temannya yang memiliki pengalaman buruk hampir sama.
Pada Juni 2020, anggota kepolisian dari Tim Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Timur mendatangi rumah Stella membawa surat laporan dari pihak klinik. Kasusnya lantas bergulir di persidangan dengan Stella didakwa dan dituntut oleh jaksa penuntut umum.
Selain meminta jaksa untuk tidak banding, Wirya mengatakan, kasus Stella kembali menunjukkan pentingnya revisi UU ITE. Sebab, dengan keberadaan pasal karet dalam UU ITE, Stella yang hanya mengungkapkan ketidakpuasan atas layanan yang diperolehnya justru bisa dijerat dengan pasal karet tersebut. ”Kasus ini juga menunjukkan bagaimana UU ITE berpotensi terus berulang dan berujung pemidanaan bagi siapa pun, bukan hanya jurnalis, aktivis, ataupun akademisi,” tambahnya.
Tak hanya kasus Stella, vonis tiga bulan penjara yang dijatuhkan kepada jurnalis Arsul bulan lalu kian menunjukkan urgensi revisi UU ITE. Revisi harus bisa memprioritaskan perlindungan hak warga atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, bukan hanya mementingkan ketertiban umum.
”Kami juga mendesak agar Asrul dan semua orang yang dipidana dengan UU ITE hanya karena menggunakan haknya untuk berekspresi dan berpendapat dibebaskan dengan segera dan tanpa syarat,” ujarnya.
Pemerintah telah memutuskan merevisi UU ITE sejak Juni lalu. Revisi UU ITE pun sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021. Namun, hingga kini, pemerintah belum menyerahkan draf revisi ke DPR. Pertengahan November lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan, surat presiden sebagai pengantar revisi UU ITE ke DPR sedang disiapkan. Adapun naskah akademik dan draf revisi UU ITE sedang diteliti ulang kata per kata.
Secara terpisah, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Adhigama Budiman, mengkritisi penyidik dan jaksa penuntut umum dalam kasus Stella. Berbasiskan analisis ICJR, proses pidana tidak dapat dijerat kepada Stella. Maka, penyidik dan penuntut umum dinilai telah melakukan kesalahan dan tidak mengindahkan hukum yang ada.
Beberapa kesalahan itu seperti penyidik dan penuntut umum tidak memahami konstruksi hukum Pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang menyertakan syarat harus merujuk pada Pasal 310/311 KUHP, yakni pasal tersebut tak dapat dikenakan jika berkaitan dengan kepentingan publik. Selain itu, penyidik dan penuntut umum dinilai tidak memahami bahwa Stella adalah konsumen sehingga sikap tindaknya berkaitan dengan layanan L’viors adalah pelaksanaan hak konsumen.
”Ketiga, teknis penafsiran dan analisis hukum penggunaan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE oleh penuntut umum tidak tepat, mulai dari menggunakan penafsiran gramatikal hingga penggunaan rujukan putusan yang tidak tepat,” ujarnya.
Oleh karena itu, ICJR meminta agar Kapolri dan Jaksa Agung memeriksa dan mengevaluasi polisi dan jaksa yang bertugas. Perlu ada langkah tegas kepada aparat yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Terlebih kasus Stella menunjukkan usaha baik yang telah dilakukan pemerintah dengan menghadirkan pedoman UU ITE tidak dipedulikan oleh penyidik dan penuntut umum. UU ITE masih menjadi ancaman serius bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat.