Kasus kriminalisasi wartawan memakai UU ITE terus terjadi. Kali ini, Muhammad Asrul, wartawan di Makassar, dijerat dengan Pasal 28 Ayat (3) karena berita yang ditulisnya. Kasus ini seharusnya masuk ranah sengketa pers.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik kembali menjerat wartawan. Muhammad Asrul, wartawan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dijerat dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian dan akan mulai menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Palopo pada Selasa (16/3/2021).
Kasus ini terjadi setelah Asrul memberitakan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan di Palopo yang dimuat di Beritanews.com pada 10 Mei 2019, 24 Mei 2019, dan 25 Mei 2019. Dalam kasus ini, Asrul sempat ditahan selama 36 hari di Polda Sulsel, kemudian dibebaskan dan dijadikan sebagai tahanan kota dengan wajib lapor ke Polda Sulsel.
Koordinator Koalisi Kebebasan Pers (KPKP) Sofyan Basri menyayangkan kasus ini tetap dibawa ke ranah pidana meskipun Beritanews.com telah memuat hak jawab pelapor dan tulisan Asrul merupakan produk jurnalistik. ”Surat keterangan Dewan Pers dengan nomor 187/DP-K/III/2020 tertanggal 4 Maret 2020 menyatakan tulisan Asrul adalah karya jurnalistik,” kata Sofyan ketika dihubungi dari Jakarta, Senin (15/3/2021). Tim KPKP akan mendampingi Asrul selama persidangan.
Kasus Asrul, kata Muhammad Arsyad, Koordinator Tim Hukum Koalisi Advokat untuk Kebebasan Pers dan Berekspresi dan Tim Hukum Koalisi Pembela Kebebasan Pers (KPKP) untuk Asrul, dalam keterangan persnya, seharusnya diselesaikan dengan mekanisme sengketa pers melalui Dewan Pers. Ini sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kepolisian RI Nomor 2/DP/MOU/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan juga menyebutkan bahwa penanganan seluruh dugaan tindak pidana di bidang pers dilakukan berdasarkan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan peraturan-peraturan Dewan Pers terkait. Jika kasusnya di luar dugaan tindak pidana, di luar sengketa pers, baru penanganannya sesuai hukum yang berlaku.
Kriminalisasi
Menurut Jane Tedjaseputra dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dalam rilis Koalisi Masyarakat Sipil pada 9 Maret 2021, Pasal 28 Ayat (2) seharusnya menjadi pencegahan ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Namun, dalam praktiknya, pasal ini justru lebih banyak digunakan untuk mengkriminalisasi individu-individu yang menyatakan pendapatnya secara sah dan konstitusional, hanya karena pendapat ini tidak disukai oleh ormas atau kelompok tertentu.
Sebelumnya, wartawan Banjarhits, Diananta Putra Sumedi, juga dijerat dengan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE dan divonis 3 bulan 15 hari penjara pada Agustus 2020. Sebelum dibawa ke ranah pidana, kasus sengketa pers ini bahkan telah selesai di Dewan Pers, sebagai kasus pelanggaran kode etik jurnalistik.
Adapun wartawan Merdiarealitas.com, M Reza alias Epong, dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan penghinaan. Epong divonis 1 tahun penjara karena terbukti bersalah menulis berita tentang dugaan penyalahgunaan wewenang dan menyebarkan tautan berita tersebut di akun Facebook pribadinya.
Kasus Asrul ini menambah panjang kasus kriminalisasi wartawan menggunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE. Data Southeast Asia Freedom of Expression (SAFENet) menunjukkan, sejak UU ITE ditetapkan tahun 2018 hingga 2020 lalu, terdapat paling tidak 19 kasus pemidanaan terhadap wartawan dan media menggunakan undang-undang ini. Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat paling tidak ada lima pasal karet dalam UU ITE yang rawan berdampak kepada wartawan dan media, yaitu Pasal 26 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (3), Pasal 8 Ayat (3), Pasal 36, serta Pasal 40 Ayat (2b).
Karena itu, komunitas pers mendorong pemerintah segera merevisi UU ITE, dengan mencabut pasal-pasal karet dalam undang-undang terebut. Koalisi Masyarakat Sipil juga meminta pemerintah merevisi total UU ITE. Koalisi Masyarakat Sipil menyesalkan revisi UU ITE tidak masuk prioritas Program Legislasi Nasional 2021, yang menunjukkan pemerintah dan DPR kurang serius merevisi UU ITE.