Pemidanaan terhadap mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id, Diananta Putra Sumedi, karena karya jurnalistiknya menambah panjang kasus kriminalisasi terhadap wartawan menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sejak 2008 hingga 2019, paling tidak 16 wartawan dijerat menggunakan UU ITE.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan, pada Senin (10/8/2020) memvonis Diananta dengan hukuman penjara selama 3 bulan 15 hari. Diananta dinilai melanggar Pasal 28 Ayat 2 UU ITE, yaitu tanpa hak menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian dan permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Diananta divonis atas tulisannya yang berjudul ”Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” di kanal Banjarhits/Kumparan.com pada 8 November 2019. Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sengketa yang muncul atas konten jurnalistik seharusnya cukup diselesaikan melalui hak jawab, koreksi hingga pengaduan ke Dewan Pers.
Kasus Diananta sebenarnya telah diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers. Berdasarkan Pernyataan, Penilaian, dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers pada 5 Februari 2020, berita yang ditulis Diananta tersebut merupakan karya jurnalistik. Dan sesuai Pasal 12 UU Pers, pihak yang bertanggung jawab atas penerbitan berita itu adalah Kumparan.com, bukan Banjarhits.id.
Diananta sebagai jurnalis bekerja dengan Kumparan.com melalui 1001 startup Media Online Kumparan.com dan menerbitkan berita di platform Kumparan.com. Dalam kasus ini, dia menulis berita berdasarkan hasil reportase dan wawancara dengan sejumlah narasumber dari masyarakat adat suku Dayak. Sebelum berita ditayangkan, dia juga berusaha menghubungi pihak PT Jhonlin Agro Raya.
Kasus ini sebenarnya murni pelanggaran Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik, bukan merupakan pelanggaran hukum. Karena itu, kasus ini seharusnya selesai setelah Kumparan.com melalui Banjarhits.id memuat hak jawab pengadu, Sukirman dari Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan. Berita yang dipermasalahkan juga telah dihapus.
Putusan (majelis hakim PN Kotabaru) ini menjadi preseden bahaya bagi pers. (Abdul Manan)
”Putusan (majelis hakim PN Kotabaru) ini menjadi preseden bahaya bagi pers,” kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan dalam diskusi daring bertema ”Darurat Kriminalisasi Jurnalis: Lonceng Kematian Pers Indonesia” yang diselenggarakan AJI Indonesia, Rabu (12/8/2020).
Dengan memvonis Diananta, kata Manan, berarti majelis hakim telah mengadili karya jurnalistik. Majelis hakim telah mengesampingkan UU Pers yang lebih khusus dibandingkan UU ITE. Hal ini bukan hanya mengancam wartawan, melainkan juga mengancam fungsi pers sebagai alat kontrol sosial.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin juga menyatakan, putusan majelis hakim melangkahi UU Pers. Meski mengakui Diananta sebagai wartawan dan berita yang dipersoalkan merupakan kasus pelanggaran kode etik jurnalistik mengacu PPR Dewan Pers, majelis hakim tetap memvonis bersalah Diananta dengan alasan wartawan yang menyajikan berita juga harus tunduk pada UU ITE.
Putusan majelis hakim tersebut, menurut Ade, merupakan pukulan telak bagi kemerdekaan pers. Lembaga pemantau Reporters Without Borders menempatkan kebebasan pers di Indonesia pada 2020 di posisi ke-119 atau meningkat lima poin dibandingkan dengan 2019. Putusan ini meruntuhkan bangunan-bangunan kemerdekaan pers yang dilindungi UU Pers.
Nota kesepahaman
Dewan Pers sebenarnya telah menjalin nota kesepahaman dengan Kepolisian Negara RI pada 2017 dan dengan Kejaksaan Agung pada 2019 untuk koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan. Dengan MOU tersebut, ada kesepakatan bahwa kepolisian jika menerima pengaduan dugaan sengketa pers, maka diserahkan kepada Dewan Pers untuk penyelesaian kasusnya.
Namun dalam praktiknya, banyak kasus sengketa pers berujung ke pemidanaan media ataupun wartawan. Kasus Diananta bukan kasus terakhir. Tahun ini, kata Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Sasmito Madrim, ada beberapa wartawan yang menunggu putusan pengadilan dalam kasus terkait produk jurnalistik mereka.
Baca juga: Wartawan di Kalsel Ditahan, Kesepakatan Dewan Pers-Kapolri Diabaikan
Undang-Undang ITE menjadi momok yang mengancam wartawan. Upaya mengajukan peninjauan kembali (Judicial Review) pasal-pasal karet dalam UU ITE terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian pernah dilakukan, dan tidak berhasil. Karena itu, perlu terobosan untuk membuat payung hukum sengketa pers di luar masalah kode etik jurnalistik.
”Undang-Undang Pers hanya aturan besar, belum ada payung hukum sengketa pers. Kalau ada sengketa pers kembali ke Kitab Undang-undang Hukum Pidana. MOU (Dewan Pers dengan Polri dan Kejaksaan Agung) memang berpengaruh di beberapa kasus, tetapi jebol di kasus-kasus lain,” kata Ade.
Dalam MOU antara Dewan Pers dan Polri memang ada klausul yang memungkinkan pengadu menempuh cara hukum lain jika tidak terima atas penyelesaian sengketa pers di Dewan Pers. Namun berdasar UU Pers, sebagaimana RPP Dewan Pers, seharusnya media yang memublikasikan karya jurnalistik tersebut yang bertanggung jawab, bukan wartawan.
Dari sisi hukum, kata Ade, keberadaan MOU juga sangat lemah karena tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan. Tidak ada konsekuensi kepada para pihak jika tidak melaksanakan MOU. Dalam kacamata hukum positivistik, MOU juga bukan produk hukum.
Baca juga: UU ITE Cenderung Tebar Ketakutan dan Lemahkan Kebebasan Pers
Jadi, meski dimaksudkan untuk upaya perlindungan kemerdekaan pers, nyatanya MOU tersebut bukanlah payung perlindungan. Banyak hal yang harus dibenahi, termasuk merevisi UU ITE untuk menghilangkan pasal-pasal karet yang tidak hanya berpotensi membungkam ekspresi publik, tetapi juga mengancam kebebasan pers.