Wacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan harapan bagi kalangan pers untuk melanjutkan perjuangan untuk menghapus pasal-pasal karet yang mengekang kebebasan pers.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Kalangan pers menyambut baik langkah pemerintah mengkaji Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Meski masih sangat awal, langkah ini memberikan harapan untuk memperjuangkan penghapusan pasal-pasal “karet” yang menjadi “alat” untuk mengkriminalisasi masyarakat, termasuk wartawan.
Laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyebutkan, dari 10 kasus kriminalisasi terhadap wartawan yang terjadi pada 2020, delapan di antaranya diproses menggunakan UU ITE. Lima kasus diproses menggunakan ketentuan Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sedangkan tiga kasus lainnya menggunakan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.
Berdasar catatan SAFEnet, pada periode 2008-2018 terjadi 16 upaya kriminalisasi terhadap 14 jurnalis dan 7 media menggunakan pasal-pasal karet UU ITE, yaitu Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 45. Total, jumlah kasus UU ITE per 30 Oktober 2020 sebanyak 324 kasus, sebanyak 209 kasus di antaranya terkait Pasal 27 ayat (3) dan 76 kasus terkait Pasal 28 ayat (3).
Mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id, Diananta Putera Sumedi, misalnya, divonis bersalah melanggar Pasal 28 ayat (2) terkait berita tentang dugaan penyerobotan lahan masyarakat oleh korporasi di Kalimantan Selatan. Mohamad Sadli Saleh, wartawan Liputanpersada.com, juga divonis bersalah melanggar Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) terkait berita dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Buton Tengah.
Pemidanaan terhadap wartawan tersebut menjadi sinyal bahaya kebebasan pers. “Ini merusak ekosistem kemerdekaan pers. Ketika pencemaran nama baik masuk ranah pidana, bukan perdata, maka wartawan akan melakukan swa sensor,” kata wartawan senior Bambang Harymurti dalam diskusi publik tentang UU ITE yang diselenggarakan Dewan Pers secara daring pada Sabtu (20/2/21).
Kedua kasus sengketa pers itu pun seharusnya diselesaikan menggunakan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Apalagi sudah ada nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Polri, serta Dewan Pers dan Kejaksaan Agung, bahwa penanganan kasus dugaan pelanggaran hukum berkaitan dengan pemberitaan pers mendahulukan UU Pers sebelum menerapkan undang-undang lain.
Dalam kasus Diananta, bahkan sudah selesai di Dewan Pers. Pernyataan, Penilaian, dan Rekomendasi Dewan Pers pada 5 Februari 2020 menyatakan bahwa berita yang ditulis Diananta merupakan karya jurnalistik, dan kasus tersebut murni pelanggaran kode etik jurnalistik.
“Namun produk pers yang melanggar kode etik jurnalistik tersebut justru menjadi penguat hakim untuk menjerat saya,” kata Diananta dalam Mimbar Bebas Represi Koalisi Serius yang diselenggarakan secara daring, Sabtu (20/2).
Multitafsir
Sejak diundangkan pada 2008, bahkan setelah direvisi pada 2016, sejumlah pasal di UU ITE memunculkan multitafsir dalam penerapannya. Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan/pencemaran nama baik secara daring diartikan secara luas dan tidak merujuk pada batasan dan pengecualian yang diatur dalam Pasal 310-311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Seharusnya kasus dalam Pasal 27 ayat (3) hanya dapat diproses jika ada pengaduan dari pihak korban langsung, dan tidak bisa dikenai pasal penghinaan/pencemaran nama baik jika dilakukan demi kepentingan umum. Tersangka juga seharusnya tidak ditahan, karena ancaman hukumannya kurang dari lima tahun, tetapi dalam praktiknya para tersangka langsung ditahan.
Demikian juga Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian secara daring, tidak merujuk pada Pasal 156 KUHP. Padahal tujuan pengaturan kriminalisasi ujaran kebencian untuk melindungi kelompok minoritas dari potensi pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan, dan diskriminasi, bukan untuk mengkriminalisasi perbuatan “menghina” individu maupun produk jurnalistik.
Tafsir pasal-pasal tersebut pun menjadi tergantung aparat penegak hukum. “Dalam kasus Diananta misalnya, benarkah berita Diananta menimbulkan unsur kebencian, ini sepenuhnya wewenang aparat penegak hukum. Kemudian, unsur kesengajaan dibuktikan dengan sengaja menulis dan mencetak. Ini penafsiran yang sangat konyol,” kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan, Sabtu.
Pasal-pasal yang multitafsir inilah yang sejak awal dipersoalkan masyarakat sipil dan kalangan pers. Undang-undang yang awalnya dirancang sebagai payung hukum untuk mengatur transaksi bisnis melalui dunia maya ini justru lebih banyak menjadi “alat” untuk mengkriminalisasi masyarakat termasuk wartawan.
Upaya kandas
Upaya-upaya untuk membatalkan pasal-pasal yang multitafsir tersebut melalui pengujian yudisial (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) selalu kandas. Pasal-pasal tersebut, berdasar putusan MK, telah sesuai konstitusi sehingga tidak bisa dibatalkan.
Tak kurang fakta-fakta akibat multitafsir UU ITE yang tidak hanya mengancam kebebasan pers tetapi juga mengancam demokrasi diserukan kalangan pers dan masyarakat sipil, tetapi selama ini seolah membentur tembok tebal. Karena itu, ketika Presiden Joko Widodo membuka wacana revisi UU ITE (Kompas, 16/2/2021), ada harapan untuk melanjutkan perjuangan-perjuangan tersebut.
Pasal-pasal karet tersebut harus dicabut dari UU ITE melalui revisi. Undang-undang ini, kata konsultan ahli pers dari Persatuan Wartawan Indonesia Wina Armada Sukardi, harus dikembalikan ke khittahnya untuk mengatur transaksi bisnis melalui dunia maya.
Karena itu, bagi kalangan pers, fokus pemerintah hendaknya pada kajian rencana revisi UU ITE. Upaya menyusun pedoman pelaksanaan UU ITE, menurut Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin, tidak akan mengubah kondisi tanpa didahului revisi UU ITE.
Menurut Edmon Makarim, pakar hukum telematika dari Universitas Indonesia, tidak ada masalah dalam UU ITE, yang telah dikuatkan juga dengan putusan MK. Pelaksanaan UU ITE-lah yang bermasalah, karena itu yang harus diutamakan memperbaiki kinerja aparat penegak hukum, bukan mengubah undang-undangnya.
Pemerintah telah membentuk dua tim pengkaji UU ITE, yaitu tim kajian rencana revisi UU ITE dan tim penyusun pedoman pelaksanaan UU ITE. Pedoman pelaksanaan UU ITE akan menjadi pegangan dalam proses penyelidikan dan penyidikan di kepolisian.
Perjuangan baru dimulai. Dewan Pers tengah menghimpun masukan dari pakar, kalangan pers, maupun masyarakat sipil terkait revisi UU ITE ini. Masukan-masukan ini, kata anggota Dewan Pers Asep Setiawan, akan diformulasikan untuk memberi masukan dalam revisi UU ITE.