Kerja Nyata Tim Penyidikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai Ditunggu
Menko Polhukam Mahfud MD menyebutkan, Presiden Jokowi memiliki keinginan agar kasus Paniai diadili. Biarkan pengadilan yang memutuskan. Jangan lagi ditunda-tunda penyelesaiannya.
Oleh
Rini Kustiasih/IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerja nyata tim penyidikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai, Papua, pada 2014 ditunggu realisasinya oleh publik. Sebab, kasus ini telah berproses lama dan belum ada kejelasan kelanjutannya oleh penegak hukum. Perintah Presiden Joko Widodo agar kasus ini dibawa ke pengadilan HAM harus direalisasikan.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, mengatakan, langkah Kejaksaan Agung yang membentuk tim penyidik umum untuk kasus Paniai memang sudah seharusnya diambil. Bahkan, mestinya sejak dulu kasus ini dituntaskan.
”Sebenarnya apa yang menjadi masalah sehingga kasus ini lama tidak berproses di Kejagung. Inilah yang tidak pernah diketahui oleh publik. Apakah bukti-buktinya kurang, penyelidikannya masih perlu didalami, atau bagaimana, dan itu yang harus dibuka ke ruang publik,” katanya.
Pembentukan tim penyidik itu harus pula disertai komitmen yang kuat untuk menuntaskan dugaan pelanggaran HAM berat itu. ”Kalau sekadar membentuk tim, memang sesuai prosedur harus dibentuk tim penyidik setelah penyelidikan oleh Komnas HAM. Masalahnya, apakah tim penyidik ini nanti benar-benar bekerja membawa ini ke pengadilan HAM atau hanya menjadi wacana,” katanya, Selasa (14/12/2021), saat dihubungi dari Jakarta.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat ditemui di kantornya, Senin (13/12/2021), mengatakan, peristiwa Paniai dipilih untuk dituntaskan terlebih dulu dibandingkan 12 kasus pelanggaran HAM berat lainnya karena peristiwa itu relatif baru sehingga bukti dan saksi masih memungkinkan untuk didalami. Peristiwa itu juga terjadi di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, yakni 8 Desember 2014.
”Mengapa ini lama, yakni dari 2014 ke 2021, karena dari teknis peradilan itu bagi Kejaksaan Agung sulit sekali. Sebab, tersangkanya siapa, buktinya siapa, dan apakah temuan dari Komnas HAM itu sudah melalui berita acara yang benar ataukah tidak. Tetapi, Presiden mempunyai keinginan agar pelanggaran HAM itu diadili, biar pengadilan yang memutuskan, dan jangan lagi kita menunda-nunda penyelesaian Paniai,” ujarnya.
Mahfud menjelaskan, total ada 13 kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang dilaporkan Komnas HAM kepada pemerintah. Dari 13 kasus itu, sembilan kasus terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disahkan dan empat lainnya setelah UU itu disahkan.
Khusus untuk sembilan kasus yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM, prosesnya diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc. Sembilan kasus itu ialah peristiwa 1965, penembak misterius (petrus) 1982-1984, penghilangan orang tahun 1998, kerusuhan Mei 1998, penembakan Trisakti 1998, tragedi Semanggi I dan II tahun 1998, penembakan Simpang KKA di Aceh Utara 1999, peristiwa rumah geudong di Pidie (Aceh) 1988-1989, serta peristiwa pembunuhan ”dukun santet” di Banyuwangi 1998.
Adapun untuk empat peristiwa sesudah UU Pengadilan HAM disahkan, penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan HAM, bukan pengadilan HAM ad hoc. Empat kasus itu ialah peristiwa Jambu Keupok di Aceh Selatan 2003, peristiwa Wasior di Papua 2001, peristiwa Wamena di Papua 2003, dan peristiwa Paniai 2014.
”Untuk peristiwa sebelum tahun 2000, mekanisme pembentukan pengadilan HAM ad hoc itu dibuat atas usul DPR. DPR selanjutnya mengusulkan kepada pemerintah. Oleh karena itu, kurang tepat jika Komnas HAM atau masyarakat mendesak-desak pemerintah, karena proses pembentukannya tidak langsung oleh pemerintah, melainkan atas usul DPR,” katanya.
Adapun untuk peristiwa setelah tahun 2000, Mahfud mengatakan, kasus itu akan berusaha diselesaikan oleh pemerintah melalui pengadilan HAM. ”Sekarang kita akan ke sana arahnya. Mulai 2000 ke atas kita bawa ke pengadilan HAM, dimulai dari yang paling dekat, yakni Paniai,” ujarnya.
Mahfud mengatakan, tim bentukan Kejagung untuk penyidikan kasus Paniai terdiri atas 22 jaksa senior. Mereka akan bekerja profesional dengan menguatkan bukti dan saksi di lapangan sebelum membawa kasus itu ke pengadilan HAM. Bukti dan saksi yang dikumpulkan harus kuat agar pelaku sebenarnya dari peristiwa ini dapat diadili.
Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab mendukung penuh langkah pemerintah untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai. Upaya penyidikan yang akan dilakukan Kejaksaan Agung menunjukkan ada harapan pengadilan HAM bisa berjalan jika hasil penyidikannya baik dan diterima oleh masyarakat.
”Namun, sejak Kejagung membentuk tim penyidikan kasus pelanggaran HAM berat awal Desember lalu, belum ada komunikasi secara formal antara Jaksa Agung dan Komnas HAM,” ujarnya.
Menurut dia, berkas penyelidikan dari Komnas HAM yang menunjukkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat sudah lebih dari cukup. Jaksa dari Kejagung mestinya sudah paham apa saja yang harus dilengkapi dan ditindaklanjuti.
”Komnas HAM tidak bisa menyita dokumen di instansi lain. Itu hanya bisa dilakukan oleh penyidik. Silakan penyidik dari Kejagung mendatangi pihak-pihak yang direkomendasikan oleh Komnas HAM untuk dimintai keterangan lebih dalam tentang dugaan-dugaan itu,” tutur Amiruddin.
Terkait kasus pelanggaran HAM berat lainnya di Papua, yakni peristiwa Wasior dan Wamena, Komnas HAM memandang Jaksa Agung berwenang penuh untuk menindaklanjutinya secara terpisah. Sebab, berdasarkan paripurna komisioner Komnas HAM saat itu, kedua peristiwa diusut oleh satu tim penyelidik.
”Tahun lalu berkasnya sudah dikembalikan lagi ke pemerintah, ada sekitar satu truk. Jaksa agung sebagai penyidik memiliki kewenangan penuh untuk menindaklanjuti kasus itu secara bersama-sama atau terpisah,” katanya.
Berkas kasus Jambo Keupok, Aceh Selatan, pun telah diserahkan kepada pemerintah. Sama dengan kasus di Paniai, Komnas HAM berharap kasus lain seperti di Jambu Keupok, Wasior, dan Wamena juga bisa segera dituntaskan.
”Peristiwa di Jambu Keupok itu peristiwanya sudah sangat solid karena terjadi di satu lokasi. Semestinya bisa segera ditindaklanjuti,” ucap Amiruddin.