Penanganan Kasus Paniai Memasuki Babak Baru, Kejaksaan Agung Bentuk Tim Penyidik
Jaksa Agung memutuskan untuk membentuk tim yang terdiri dari 22 orang jaksa senior untuk menyidik dugaan pelanggaran HAM Berat di Paniai, Papua, Tahun 2014.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai, Papua, memasuki babak baru. Kejaksaan Agung akhirnya membentuk tim penyidik untuk mengusut pelanggaran HAM berat dalam insiden kekerasan yang terjadi pada 2014. Setidaknya 22 orang jaksa senior dilibatkan dalam tim yang dipimpin Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus atau Jampidsus tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan tertulis, Jumat (3/12/2021), mengatakan, Jaksa Agung selaku penyidik pelanggaran HAM berat telah membentuk tim untuk menuntaskan dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai.
Pembentukan tim tersebut didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 tanggal 03 Desember 2021 tentang Pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Yang Berat di Paniai Provinsi Papua Tahun 2014 serta Surat Perintah Penyidikan Nomor Print-79/A/JA/12/2021 tanggal 03 Desember 2021.
”Dengan dikeluarkannya Keputusan Jaksa Agung dan Surat Perintah Penyidikan tersebut, telah terbentuk Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai, Papua, Tahun 2014 yang terdiri dari 22 orang jaksa senior dan diketuai oleh Jampidsus,” kata Leonard.
Menurut Leonard, keputusan dan surat perintah Jaksa Agung tersebut dikeluarkan dengan memperhatikan surat Ketua Komnas HAM Nomor 153/PM.03/0.1.0/IX/2021 tanggal 27 September 2021 yang berisi tanggapan atas pengembalian berkas perkara terhadap hasil penyelidikan pelanggaran HAM yang berat untuk peristiwa Paniai 2014 di Provinsi Papua.
Namun, permintaan agar hasil penyelidikan tersebut dilengkapi ternyata belum dipenuhi adanya alat bukti yang cukup. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyidikan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti.
Dengan dikeluarkannya Keputusan Jaksa Agung dan Surat Perintah Penyidikan tersebut, telah terbentuk Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai, Papua, Tahun 2014 yang terdiri dari 22 orang jaksa senior dan diketuai oleh Jampidsus
Sebelumnya, Jaksa Agung telah membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat. Kemudian, sebanyak 13 berkas penyelidikan HAM berat dari Komnas HAM telah diverifikasi oleh tim khusus tersebut.
Kasus tersebut, antara lain, peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; dan kasus Rumah Geudong pada era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh 1989-1998. Selain itu, kasus kerusuhan Mei 1998; peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II pada 1998-1999; peristiwa Simpang KKA 1999; pembunuhan dukun santet di Banyuwangi 1999; peristiwa Wasior 2001; peristiwa wamena 2003; Jambu Keupok, Aceh 2003; dan peristiwa Paniai 2014.
Secara terpisah, Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, ketika dihubungi, mengatakan, pembentukan tim penyidik untuk menyidik peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut merupakan langkah Jaksa Agung yang baik dan patut diapresiasi. Kini, yang dinantikan adalah bagaimana proses penyidikan tersebut dilaksanakan oleh penyidik.
”Kita harus apresiasi setiap langkah yang ada. Ini langkah extrajudicial. Ini langkah yang tidak main-main, meskipun hasil dari tim ini nanti seperti apa masih belum bisa dikatakan,” kata Amiruddin.
Meski demikian, Amiruddin memberikan catatan tentang tim penyidik yang seluruhnya berasal dari kejaksaan. Sementara, Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang 26/2000 tentang Pengadilan HAM menyatakan, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah atau masyarakat.
Menurut Amiruddin, salah satu tujuan dibukanya ruang bagi unsur masyarakat untuk masuk ke dalam tim penyidik adalah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penyidikan yang dilangsungkan. ”Makanya UU Pengadilan HAM memberikan ruang agar tim penyidik memberi ruang bagi pihak dari luar,” ujar Amiruddin.
Terkait dengan peristiwa Paniai yang dipilih untuk disidik, lanjut Amiruddin, hal itu kemungkinan karena peristiwa itu terjadi belum terlalu lama. Dengan demikian, kemungkinan mendapatkan saksi-saksi dan bukti-bukti akan menjadi lebih besar.
Faktor lainnya, Amiruddin menduga pemilihan peristiwa Paniai yang terjadi di Papua untuk dilakukan penyidikan karena untuk memulihkan kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah. Dengan demikian, masyarakat akan melihat bahwa persoalan HAM di Papua ditangani pemerintah. Di sisi lain, penanganan peristiwa Paniai merupakan janji Presiden kepada masyarakat Papua.