DPR Setujui RUU Kejaksaan, Jaksa Agung Bisa Diberhentikan Presiden
Sebelumnya jaksa agung diberhentikan sesuai masa jabatan Presiden dalam satu periode masa jabatan kabinet. Dengan aturan baru, jaksa agung dapat diberhentikan tak bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan kabinet.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan setelah melalui pembahasan sekitar tiga pekan. Sejumlah hal krusial diatur dalam revisi UU Kejaksaan, termasuk pemberhentian jaksa agung tanpa harus menunggu habisnya masa jabatan kabinet pemerintahan.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kejaksaan Adies Kadir mengatakan, ada beberapa perubahan yang dilakukan di RUU Kejaksaan. Pertama, panja menyepakati perubahan usia syarat menjadi jaksa. Sebelumnya, usia menjadi jaksa di UU Kejaksaan ialah minimal 25 tahun dan maksimal 35 tahun. Kini di dalam revisi UU Kejaksaan, aturan itu diubah menjadi minimal 23 tahun, dan maksimal 30 tahun.
”Selain itu, panja juga menyepakati batas usia pemberhentian jaksa dengan hormat diubah. Di Pasal 12 UU Kejaksaan, semula usia pemberhentian jaksa ialah 62 tahun, kini menjadi 60 tahun,” katanya, saat menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR, Selasa (7/12/2021) di Jakarta.
Selain perubahan, panja juga menambahkan sejumlah ketentuan. Salah satunya ialah mengenai pemberhentian jaksa agung. Sebelumnya jaksa agung diberhentikan sesuai masa jabatan Presiden dalam satu periode bersama-sama masa jabatan kabinet. Dengan aturan baru, jaksa agung dapat diberhentikan tak bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan kabinet.
”Jaksa agung diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan. Ini untuk menentukan Presiden RI memiliki diskresi dalam menentukan siapa saja yang akan memperkuat kabinetnya. Salah satunya jaksa agung,” katanya.
Dalam peningkatan sumber daya manusia, RUU Kejaksaan juga mengatur adanya lembaga pendidikan khusus kejaksaan. Lembaga ini berfungsi mengembangkan pendidikan di bidang profesi demi keahlian dan kedinasannya. RUU Kejaksaan mengatur pula adanya perlindungan terhadap jaksa dan keluarganya dengan standar sebagaimana yang berlaku di dunia internasional.
Dalam peran sebagai pengacara negara, kewenangan jaksa agung ditegaskan di dalam RUU Kejaksaan. Selaku pengacara negara, jaksa agung dapat mewakili negara, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam konteks sebagai pengacara negara, jaksa agung juga diberi perluasan kewenangan sebagai kuasa hukum penanganan perkara di Mahkamah Konstitusi. Tugas ini dijalankan jaksa agung bersama-sama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum atau menteri lain yang ditunjuk oleh pemerintah.
Ada pula penambahan kewenangan kepada jaksa dalam pemulihan aset, bidang intelijen, mediasi penal, sita eksekusi, melakukan penyadapan berdasarkan UU yang mengatur khusus soal itu, dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.
RUU Kejaksaan juga memodifikasi pelaksanaan tugas dan wewenang jaksa, seperti penegasan pelaksanaan diskresi jaksa dalam menjalankan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang berlaku. Selain itu, untuk mewujudkan asas peradilan cepat, mudah, dan berbiaya ringan, penuntut umum juga dapat mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada penyidik untuk perkara tindak pidana ringan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, salah satu aspek penting dalam revisi UU Kejaksaan ialah adanya penguatan prinsip keadilan restoratif dalam peran dan kewenangan jaksa. Sistem keadilan yang berorientasi pada pemulihan keadaan semula dinilai menjadi arah perubahan dari keadilan retributif yang bernuansa penghukuman balas dendam.
”Dalam revisi UU Kejaksaan itu diberikan peran untuk mengedepankan dan menggunakan keadilan restoratif dalam penegakan hukum, termasuk dalam kasus-kasus beraspek kemanusiaan,” ucap Yasonna.
Masukan tidak diakomodasi
Dihubungi terpisah, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi mengatakan, ketentuan di revisi UU Kejaksaan yang disetujui DPR itu belum memuat perubahan aturan soal pemilihan calon jaksa agung. Artinya, pemilihan jaksa agung masih berpedoman pada UU yang lama, yakni merupakan hak prerogratif Presiden melalui penunjukan langsung.
”Kami pernah mengusulkan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR beberapa waktu lalu, yakni agar ada mekanisme seleksi dan pemilihan yang transparan dan dilakukan oleh tim seleksi yang kompeten dalam pemilihan jaksa agung. Tujuannya ialah agar menjadikan jaksa agung lebih independen,” katanya.
Namun, dengan tidak adanya perubahan ketentuan mengenai mekanisme pemilihan jaksa agung, menurut Fajri, tidak ada jaminan akan ada prosedur yang akuntabel dan terbuka dalam pemilihan jaksa agung dengan mekanisme itu. Padahal, dalam kedudukannya yang sangat penting selaku penuntut umum dalam penegakan hukum, jaksa agung harus lebih independen.
Fajri juga menyoroti cepatnya RUU itu diketok persetujuannya oleh DPR. Revisi UU itu baru berproses pada pertengahan November 2021 di DPR, dan dalam waktu sekitar tiga minggu telah disepakati untuk disetujui. Adapun masukan dari kalangan masyarakat sipil dalam prosesnya sekalipun diundang dalam RDPU, tetapi kenyatannya masukan dari masyarakat sipil juga tidak banyak diakomodasi. Salah satunya mengenai mekanisme pemilihan jaksa agung yang lebih terbuka dan akuntabel.
Pembetulan, 7/12/2021 pukul 20.00.
Di alinea enam tertulis: "Selain itu, saat ini juga ada aturan tambahan yang menyebutkan jaksa agung juga dapat diberhentikan karena melanggar larangan rangkap jabatan. Sebelumnya, di dalam UU Kejaksaan, jaksa agung dapat diberhentikan jika melakukan tindak pidana, dan melakukan perbuatan tercela."
Alinea ini dihapus karena tidak relevan. Sebab, di Undang Nomor 16 Tahun 2004 hal tersebut juga sudah diatur.