Realisasi Belanja APBD Masih Jauh di Bawah Tahun Lalu
Realisasi belanja APBD provinsi dan kabupaten/kota per 2 Desember 2021 sebesar Rp 853,67 triliun atau 67,19 persen. Persentase itu lebih rendah dibandingkan realisasi APBD per 31 Desember 2020 yang mencapai 82,69 persen.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi belanja APBD hingga awal Desember ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu. Pemda diharapkan mengoptimalkan realisasi belanja di akhir Desember 2021. Rendahnya realisasi belanja APBD pada tahun ini dinilai terjadi karena perencanaan yang buruk.
Pelaksana Harian Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Agus Fatoni menyampaikan, realisasi belanja APBD provinsi dan kabupaten/kota per 2 Desember 2021 sebesar Rp 853,67 triliun atau 67,19 persen. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan dengan realisasi APBD per 31 Desember 2020 yang mencapai Rp 1.021,26 triliun atau 82,69 persen.
”Secara persentase, realisasi belanja daerah bulan Desember Tahun Anggaran 2021 lebih rendah dibandingkan dengan bulan Desember Tahun Anggaran 2020. Hal itu disebabkan penghitungan realisasi 2021 pada awal Desember, sedangkan pada 2020 data realisasi akhir Desember. Diharapkan adanya peningkatan yang optimal realisasi belanja di akhir Desember 2021,” kata Agus dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/12/2021).
Agus menjelaskan, penyebab rendahnya realisasi anggaran, yakni umumnya tagihan dari pihak ketiga baru disampaikan pada akhir tahun. Selain itu, belum bisa segera direalisasikan transfer Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) tahap terakhir karena menunggu proses administrasi dan dokumen pertanggungjawaban sebagai dasar pengajuan pencairan dana.
Terjadinya gagal lelang, putus kontrak, atau penundaan bayar (kurang bayar) juga berpengaruh pada rendahnya realisasi anggaran. Selain itu, beberapa kegiatan juga belum selesai karena masalah teknis, seperti pembebasan lahan yang belum selesai dalam pembangunan jalan.
Agus menyebutkan, penyebab lainnya, yakni penerimaan daerah yang tinggi akibat pemda menggenjot pendapatannya secara maksimal di akhir tahun. Dengan begitu, terjadi peningkatan pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah, serta hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dari target awal yang ditetapkan.
Selain itu, terdapat sisa dana hasil penghematan, Dana Bagi Hasil (DBH) dana reboisasi, dan DBH cukai hasil tembakau dari penerimaan tahun lalu yang belum dimanfaatkan dalam APBD 2021. Ia menuturkan, sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) anggaran daerah setiap tahun akan digunakan untuk kegiatan rutin dua bulan tahun berikutnya.
Agus mengatakan, solusi jangka pendek untuk mengatasi persoalan rendahnya belanja daerah, yakni setiap organisasi perangkat daerah (OPD) melakukan langkah inovatif dan kreatif dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Pemda diharapkan mempercepat realisasi penggunaan anggaran kesehatan, termasuk penanganan pandemi Covid-19, sarana dan prasarana kesehatan, serta bidang kesehatan lainnya yang prioritas.
Pemda harus segera merealisasikan belanja tidak terduga (BTT) terutama untuk pemberian bantuan sosial (bansos) dan/atau jaring pengaman sosial dan/atau pemulihan ekonomi beserta dampaknya. Selain itu, mempercepat penyelesaian pencairan insentif tenaga kesehatan di daerah yang terkait dengan penanganan pandemi Covid-19.
”(Pemda) mempercepat penyelesaian pembayaran atas tagihan belanja pengadaan barang/jasa, sesuai dengan kemajuan fisik pekerjaan dan/atau termin terakhir sesuai perjanjian/kontrak dengan pihak ketiga,” kata Agus.
Adapun beberapa solusi jangka panjang, di antaranya pemda melakukan pengadaan dini atas pengadaan barang/jasa yang sudah bisa dimulai pada Juli atau Agustus tahun sebelumnya, yakni sebelum APBD TA 2022 ditetapkan. Demikian juga untuk tahun 2023, sudah bisa dimulai pada Juli atau Agustus 2022, dan seterusnya.
Agus menuturkan, Pemda wajib menyiapkan jadwal subkegiatan yang dikaitkan dengan anggaran kas yang sudah final dan didukung dengan tersedianya dana di kas daerah. Pemda membentuk Tim Asistensi dan Evaluasi (Anev) Penyerapan Anggaran yang dipimpin sekretaris daerah (Sekda) di setiap pemda, serta dilakukan rapat secara periodik bulanan yang dipimpin kepala daerah sekaligus memberikan teguran dan sanksi bagi OPD yang rendah realisasi anggaran belanjanya. Pada akhir tahun, rapat evaluasi dilakukan setiap minggu.
Sementara itu, pemerintah pusat membentuk Tim Anev yang beranggotakan Kemendagri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan kementerian/lembaga terkait dalam menyiapkan kebijakan teknis, melakukan monitoring dan evaluasi (monev) guna mendukung percepatan pengadaan barang/jasa, dan mencarikan solusi terhadap kendala yang sering dihadapi pemda.
Kompas sudah meminta tanggapan kepada pemda yang realisasi belanjanya terendah seperti Provinsi Papua dan Kabupaten Tolikara, tetapi tidak direspons.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, belum ada perubahan dari kebiasaan pola kerja pemda yang berdampak pada penyerapan anggaran. Pemda agak lamban sehingga menumpuk pekerjaan di akhir tahun. Mereka akan mengebut di kuartal terakhir, bahkan pada Desember. Alhasil, anggaran tidak terserap maksimal.
Pola kerja yang buruk tersebut terjadi karena perencanaan yang lemah. Dengan adanya situasi pandemi sehingga prioritas berubah pada penanganan pandemi seperti untuk kesehatan dan bantuan sosial, seharusnya pemda meresponsnya dengan perencanaan yang lebih baik.
Menurut Faisal, dua kali lonjakan Covid-19 di Indonesia berdampak pada aktivitas penyerapan anggaran. ”Yang tadinya kunjungan lapangan, jadi tidak bisa. Rapat jadinya pakai online, padahal anggarannya offline,” katanya.
Selain itu, eksekusi program ke masyarakat dan belanja modal juga banyak tertunda akibat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat. Akhirnya, pekerjaan tersebut menumpuk ketika ada kelonggaran.
Faisal mengungkapkan, dengan sisa waktu yang ada, sulit bagi pemda untuk mengejar serapan APBD. Jika dipaksakan, hasilnya buruk dan terjadi pemborosan seperti mengeluarkan anggaran yang besar untuk rapat atau bahkan terjadi pemahalan harga (mark up).
Ia menegaskan, seharusnya pemda belajar dari penanganan pandemi pada tahun lalu sehingga perencanaan dan program yang dibuat lebih efektif. Faisal berharap, kejadian pada tahun ini tidak terulang pada tahun depan. Pemerintah pusat harus melakukan tindakan yang lebih aktif lagi di tahun depan. Bukan hanya menghukum dengan pemotongan anggaran, tetapi juga pemantauan dan pendampingan untuk percepatan program.
Menurut Faisal, dengan adanya silpa yang tinggi pada tahun ini, hal itu menunjukkan bahwa perencanaan dan efektivitas program yang dilakukan pemda buruk. Tingginya silpa juga menunjukkan bahwa efektivitas pembangunan dan penanggulangan pendemi rendah.