Sejumlah pihak menanti komitmen Panglima TNI menggunakan pendekatan berbeda mengatasi masalah keamanan di Papua. Saat komitmen itu dinanti, Kasad TNI mulai menginstruksikan agar aparat TNI tak lagi berpikir menembak KKB.
Oleh
Edna C Pattisina/Reny Sri Ayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa melakukan pendekatan berbeda untuk menjaga keamanan di Papua dan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, memperoleh apresiasi dari sejumlah pihak. Namun, Andika diingatkan pula bahwa perlu mewujudkan komitmennya itu menjadi kenyataan.
”Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) mengapresiasi. Namun, Panglima TNI perlu modalitas yang tinggi untuk bisa meraih kembali kepercayaan masyarakat Papua,” kata Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab, Kamis (26/11/2021).
Amiruddin mengatakan, pihaknya menyambut baik rencana Andika untuk membuat pendekatan yang berbeda dalam menyelesaikan masalah keamanan di Papua. Namun, untuk melakukan hal itu, Andika perlu melakukan aksi nyata agar rakyat Papua percaya. ”Misalnya, menjalankan proses hukum dalam kasus tewasnya Pendeta Yeremia Zanambani,” kata Amiruddin.
Amiruddin mengatakan, pihaknya menyambut baik rencana Andika untuk membuat pendekatan yang berbeda dalam menyelesaikan masalah keamanan di Papua. Namun, untuk melakukan hal itu, Andika perlu melakukan aksi nyata agar rakyat Papua percaya.
Pendeta Yeremia ditemukan tewas di Kabupaten Intan Jaya, Papua, pada 19 September 2020, dengan luka tembak. Tim Polisi Militer TNI AD telah memeriksa puluhan prajurit terkait pembunuhan tersebut.
Kasus lain yang perlu segera diselesaikan secara transparan adalah hilangnya dua orang keponakan pendeta Yeremia dari Koramil Sugapa. Polisi Militer TNI AD sempat menetapkan sembilan prajurit menjadi tersangka pada Desember 2020. ”Kami harapkan hal ini segera dijelaskan Panglima,” kata Amiruddin.
Sebelumnya, pada Kamis pagi, seusai bertemu Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan, ia dan Andika bertemu untuk membahas berbagai isu. Namun, ada dua isu yang ingin disampaikan ke publik. Yang pertama, terkait pendekatan di Papua. Yang kedua, pelanggaran HAM berat di masa lalu yang terjadi di era Presiden Joko Widodo, yaitu Pelanggaran HAM Berat di Paniai, Papua.
Komnas HAM telah menyatakan, peristiwa di Paniai di Papua, 7-8 Desember 2014, sebagai pelanggaran HAM berat. Komnas HAM mencatat empat orang tewas karena tembakan dan luka tusuk. Sementara itu, 21 orang lainnya terluka karena penganiayaan. Diduga anggota TNI sebagai pelaku yang bertanggung jawab.
Hingga saat ini tercatat ada 13 kasus pelanggaran HAM yang dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat di masa lalu. Mahfud mengatakan, sembilan kasus terjadi sebelum UU 26/2000 tentang Peradilan HAM sehingga penyelesaiannya tergantung pada DPR. Satu dari empat kasus lain terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. ”Baru diumumkan oleh Komnas HAM Juni lalu. Nah itu ada yang melibatkan TNI,” kata Mahfud.
Mahfud menyatakan, ada komitmen dari Andika untuk menyelesaikan hal itu. Prosedur dan pembuktian akan dilaksanakan sesuai undang-undang. Hal ini dibenarkan Andika. ”Saya menggunakan dasar hukum yang sudah dikeluarkan pemerintah. Nanti secara detail akan saya jelaskan di Papua minggu depan,” kata Andika.
Kesejahteraan Papua
Mahfud dan Andika juga membahas pendekatan penyelesaian masalah di Papua. Mahfud mengatakan, secara prinsip pendekatan di Papua buka senjata, tetapi pembangunan kesejahteraan yang komprehensif dan strategis. Hal ini sudah dituangkan di Inpres 9/2020 yang dilanjutkan Keppres 20/2020. Semua harus bekerja sama.
Dari sisi TNI, pendekatan teknisnya adalah operasi teritorial, bukan operasi tempur. ”Pendekatan baru itu akan disampaikan pada saatnya,” kata Mahfud.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Jan Christian Warinussy mengatakan, pihaknya memandang baik kemauan Panglima TNI. Namun, ia meminta Panglima TNI mau menyerahkan perkara dugaan pelanggaran HAM Berat Paniai 2014 tersebut diselesaikan sesuai mekanisme Pengadilan HAM menurut UU No 26 Tahun 2000.
Dengan demikian, anggota TNI yang diduga terlibat dapat segera dimintai keterangannya oleh Komnas HAM RI sebagai penyelidik. Ini karena kuat dugaan bahwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai sangat menjurus kepada keterlibatan anggota TNI.
Ditambahkan Amiruddin, pihaknya juga menunggu aksi nyata Andika terkait hal ini. Ia meminta Andika bisa mendorong Jaksa Agung untuk segera menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai.
Tanpa menembak
Di Makassar, Sulawesi Selatan, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Dudung Abdulrachman meminta aparat TNI untuk tak lagi berpikir menembak dan membunuh anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Sebaliknya, aparat TNI diminta hadir menjadi solusi atas berbagai persoalan masyarakat Papua.
Hal itu disampaikan Kasad saat melaksanakan kunjungan kerja di Makassar. Kunjungannya ke Makassar itu pun dilakukan setelah ia melakukan kunjungan ke Papua. Selama di Makassar, Kasad bertemu dengan pimpinan dan jajaran prajurit Kodam XIV Hasanuddin.
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Dudung Abdulrachman meminta aparat TNI untuk tak lagi berpikir menembak dan membunuh anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Sebaliknya, aparat TNI diminta hadir menjadi solusi atas berbagai persoalan masyarakat Papua.
”Saya sudah melakukan kunjungan ke Papua. Di sana saya sampaikan kepada aparat, kalian jangan sedikit pun berpikir membunuh KKB. Mereka masih saudara kita. Jangan arogan dan kerasi masyarakat, tapi dilindungi. Masyarakat Papua banyak dan begitu cinta mereka pada negeri ini. KKB itu hanya sebagian kecil dari masyarakat Papua. Saya minta ciptakan suasana harmonis,” kata Dudung.
Kasad meminta kehadiran TNI di Papua hendaknya menjadi solusi. Bahkan sekecil apa pun hambatan masyarakat Papua, kasad meminta TNI hadir. Dalam kunjungannya ke Papua, Dudung mengatakan membantu memberikan bibit untuk pertanian, peternakan, hingga bantuan untuk kesehatan.