Putusan Banding Edhy Jadi Momentum Kebangkitan Penegakan Hukum
Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan pidana penjara 9 tahun kepada bekas Menteri Edhy Prabowo, atau lebih berat dari vonis majelis hakim Tipikor Jakarta yang menghukum Edhy 5 tahun.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketegasan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat hukuman bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo patut diikuti hakim-hakim lain, mulai dari lembaga peradilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Dengan begitu, semua hakim memiliki spirit yang sama untuk memberikan efek jera terhadap koruptor, sekaligus mencegah orang lain melakukan tindakan serupa.
Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjatuhkan pidana penjara 9 tahun terhadap bekas Menteri Edhy Prabowo, atau lebih berat dari vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada pertengahan Juli 2021, yakni 5 tahun penjara. Bahaya korupsi terhadap sendi-sendi kedaulatan negara menjadi salah satu pertimbangan hakim.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (12/11/2021), mengatakan, ketegasan majelis hakim tersebut harus diikuti oleh hakim-hakim lain di seluruh lembaga peradilan. Artinya, hal ini menjadi momen baru kebangkitan penegakan hukum, yang selama ini dinilai lemah oleh publik.
”Paling tidak, menjadikan suatu inspirasi bagi penegak hukum lain. Jadi, semua hakim memiliki semangat yang sama dalam pemberantasan korupsi dan harus menjadi prioritas. Makanya ini harus dijadikan momentum untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegakan hukum, salah satunya di Mahkamah Agung,” ujar Hibnu.
Paling tidak, menjadikan suatu inspirasi bagi penegak hukum lain. Jadi, semua hakim memiliki semangat yang sama dalam pemberantasan korupsi dan harus menjadi prioritas.
Namun, menurut Hibnu, semua tetap kembali ke diri setiap hakim. Ia hanya mengingatkan, hakim tidak boleh melihat suatu hukuman dari sebuah angka atau lamanya hukuman, tetapi hukuman tersebut harus mampu memberikan efek jera bagi koruptor. Lebih dari itu, hukuman terhadap koruptor tersebut juga harus bisa memberikan efek gentar (deterrent effect) sehingga orang lain tidak melakukan hal yang sama.
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto menambahkan, harapan rakyat terhadap pemberantasan korupsi harus dihidupkan kembali. Ia menyebutkan, putusan majelis hakim PT DKI yang memutus perkara Edhy merupakan kesadaran baru lembaga pengadilan di lingkungan MA yang kerap ”banjir diskon” putusan perkara korupsi.
”Jangan sampai putusan PT DKI direnggut pada tingkat kasasi. Harapan itu akan semakin suram. Spirit pemberantasan korupsi harus dihidupkan,” kata Aan.
Lagi-lagi, lanjutnya, semua kembali pada diri setiap hakim. Sebab, Indonesia menganut prinsip kebebasan hakim. Ini berbeda dengan Amerika Serikat yang menganut asas preseden. Artinya, hakim yang memutus perkara setelah hakim lainnya wajib mengikuti putusan yang dibuat hakim terdahulu.
”Jadi satu-satunya cara di sini, ya, spirit para hakim ini harus sama pada pemberantasan tindak pidana korupsi. Sense itu yang harus dimiliki,” ucap Aan.
Pencabutan hak remisi
Aan menyampaikan, jika Edhy mengajukan kasasi, MA patut mempertimbangkan pencabutan remisi bagi Edhy. Menurut dia, hal tersebut sudah memenuhi penalaran hukum yang wajar bila sampai ada pemberatan dengan penambahan hukuman saat kasasi atau minimal sama dengan putusan banding.
Berdasarkan putusan tersebut, jelas bahwa remisi dapat dicabut berdasarkan putusan pengadilan.
Untuk diketahui, dalam putusan MA yang mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak-hak Narapidana, tertulis bahwa sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan kepada warga binaan tanpa terkecuali, yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama (equality before the law), kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.
”Berdasarkan putusan tersebut, jelas bahwa remisi dapat dicabut berdasarkan putusan pengadilan,” ujar Aan.
Hibnu sependapat dengan Aan bahwa MA bisa memperberat hukuman bagi Edhy dengan menambah hukumannya atau menambah pencabutan putusan remisinya. Dengan begitu, hukuman tersebut baru akan menimbulkan efek jera bagi pelaku.
”Paling tidak, dengan hukuman yang sudah diputuskan PT DKI itu ditambah tanpa remisi, dicabut hak mendapatkan remisinya. Ini saya kira baru akan menjadi terobosan baru kalau itu menjadi putusan hakim MA nanti. Terlihat, mereka akan mempunyai spirit yang sama dalam rangka pemberantasan korupsi. Artinya pula, pengadilan masih bisa diandalkan,” tutur Hibnu.
Namun, jika yang terjadi malah sebaliknya atau pengurangan hukuman, berarti hakim tidak melihat adanya politik hukum pemberantasan tindak pidana korupsi. Mereka tidak melihat kepedulian masyarakat selama ini terhadap pemberantasan korupsi.
”Seharusnya, korupsi itu dilihat sebagai kejahatan luar biasa. Dengan demikian, hukumannya pun luar biasa. Tidak boleh hanya ditangani biasa-biasa saja,” kata Hibnu.
Sementara itu, kuasa hukum Edhy, Soesilo Aribowo, mengatakan, hingga saat ini, pihaknya belum memutuskan bakal mengajukan kasasi atau tidak. ”Belum tahu,” ujarnya.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri juga mengaku belum memutuskan bakal mengajukan kasasi atau tidak. Sebab, ia menyebutkan, yang mengajukan upaya hukum banding dalam perkara ini adalah Edhy. Untuk itu, saat ini KPK tentu menunggu sikap terdakwa atas putusan tersebut.