Aturan Terkait Tes PCR yang Berubah-ubah Membingungkan Publik
Aturan terkait kewajiban tes PCR untuk perjalanan darat dan udara berubah-ubah dalam sepekan. Perubahan menunjukkan lemahnya koordinasi antarinstansi pemerintah, tak adanya perencanaan, dan minim partisipasi publik.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan pemerintah terkait dengan kewajiban tes usap reaksi berantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) yang berubah-ubah dinilai membingungkan publik. Selain terlihat tidak adanya koordinasi di antara instansi pemerintah, kebijakan yang berubah-ubah itu juga menunjukkan perencanaan yang tidak matang dan minim partisipasi publik.
Kebijakan yang berubah-ubah itu salah satunya terlihat dari aturan kewajiban PCR untuk perjalanan darat minimal 250 kilometer atau waktu perjalanan empat jam dari dan ke Pulau Jawa-Bali. Awalnya, melalui Surat Edaran (SE) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Nomor 90 Tahun 2021 yang terbit pada 27 Oktober 2021, PCR diharuskan. Kemudian, terbit Instruksi Mendagri Nomor 57 Tahun 2021 pada 1 November 2021 yang mencabut syarat itu dan menggantinya dengan cukup tes antigen. Kemudian, terbit lagi SE Kemenhub No 94/2021 pada 2 November 2021 yang isinya menyesuaikan dengan instruksi Mendagri.
Tak hanya untuk perjalanan darat, aturan pemerintah terkait PCR atau antigen sebelum naik pesawat terbang juga berubah-ubah.
Menurut anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, kebijakan yang berubah-ubah menunjukkan kegamangan pemerintah dalam menangani pandemi. Akibatnya, publik pun kebingungan terkait dengan kebijakan itu. ”Ini terjadi karena tidak adanya koordinasi antarinstansi,” kata Robert saat dihubungi di Jakarta.
Ia menduga, kebijakan yang berubah-ubah ini terjadi karena ada indikasi pemerintah bergerak untuk kepentingan pebisnis.
Robert menegaskan, pemerintah harus konsisten dengan kebijakan yang dikeluarkan dan penegakannya di lapangan. Ia mencontohkan, ketika rombongan Ombudsman melakukan perjalanan dinas ke Jambi, mereka wajib tes PCR. Padahal, berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri sudah diperbolehkan menggunakan tes antigen.
Ia pun mempertanyakan siapa yang memimpin penanganan pandemi Covid-19 ini. Seharusnya Kementerian Kesehatan yang mengeluarkan kebijakan penanganan pandemi Covid-19, salah satunya aturan kewajiban PCR. Kemendagri tidak bisa mengatur penanganan pandemi Covid-19.
Robert mengimbau agar pemerintah mengurangi diskresi eksekutif dalam bentuk instruksi atau surat edaran. ”Kebijakan masyarakat itu harus levelnya produk hukum yang kuat. Seharusnya ada undang-undang. Karena kebutuhan kecepatan, paling tidak peraturan menteri kesehatan atau syukur-syukur peraturan presiden. Instruksi itu rendah sekali,” katanya.
Ia berharap Presiden atau Wakil Presiden menertibkan penanganan pandemi Covid-19 dengan kebijakan yang kredibel. Kepentingan kesehatan berada di garda terdepan.
Hal senada diungkapkan anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Netty Prasetiyani. Ia mengatakan, penggunaan PCR adalah kebijakan yang membingungkan. Jika calon penumpang berstatus negatif Covid-19 menjadi kepentingan negara dalam pengendalian pandemi, seharusnya pemerintah memastikan kebijakan dan regulasi yang dibuat berdasarkan pandangan ilmiah agar tidak membingungkan dan memantik polemik.
Ia menegaskan, capaian vaksinasi seharusnya menjadi pertimbangan dalam membuat kebijakan. Sebab, selama ini masyarakat diiming-imingi bahwa vaksinasi dapat membentuk antibodi dan mencegah penularan.
”Sebaiknya pemerintah membatalkan atau menunda pemberlakuan kebijakan yang membuat kegaduhan. Kalaupun akhirnya ditetapkan perlu ada penyaringan, pilih metode yang mudah, murah, terjangkau, dan tidak memberatkan,” kata Netty.
Ia menuturkan, komponen vaksin seharusnya juga dipertimbangkan sebagai apresiasi kepatuhan masyarakat dalam penanganan pandemi. Jangan sampai masyarakat ”terhukum” oleh kebijakan pelonggaran kapasitas moda transportasi yang dibuat oleh pemerintah. Buktikan bahwa pemerintah berpihak pada keselamatan rakyat dan tidak ada motif bisnis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Trubus Rahadiansyah, kebijakan yang berubah-ubah tersebut terjadi karena tidak melalui perencanaan yang matang dan lemahnya kolaborasi serta koordinasi antara kementerian dan lembaga.
”Mereka justru berkompetisi dan mencari panggung sehingga masyarakat jadi bingung. Menurut saya, kebijakan (terkait PCR) yang dibuat pemerintah minim partisipasi publik,” kata Trubus.
Ia menambahkan, masyarakat menjadi semakin bingung karena komunikasi publik dari pemerintah sangat lemah. Di sisi lain, publik sudah cerdas, bahkan ada yang melakukan riset.
Trubus mengungkapkan, minimnya partisipasi publik membuat kebijakan yang dikeluarkan menjadi tidak transparan. Hal tersebut terlihat dari harga PCR dan kewajiban penggunaannya yang berubah-ubah.
Ia menegaskan, aturan kewajiban PCR seharusnya dikeluarkan Kemenkes, bukan Kemendagri. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Segala urusan kesehatan ada di bawah wewenang Kemenkes.
Trubus mengatakan, setiap kementerian memiliki tugas pokok dan fungsi masing-masing. Mereka tidak boleh mengeluarkan kebijakan yang menjadi wewenang kementerian lain.
Kompas sudah meminta tanggapan terkait aturan PCR kepada Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro dan Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal ZA, tetapi tidak direspons.