Kerja Legislasi Dikritik, tetapi Pengawasan DPR terhadap Penanganan Pandemi Diapresiasi
Formappi menyoroti cepatnya waktu pembahasan RUU yang mengindikasikan lemahnya partisipasi publik dalam prosesnya. Salah satunya ialah cepatnya penyelesaian RUU Cipta Kerja.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Sebagian anggota DPR yang hadir secara langsung dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021). Pada rapat tersebut, antara lain, diputuskan tentang sejumlah RUU usul inisiatif Komisi II DPR menjadi RUU usul DPR, persetujuan perpanjangan waktu pembahasan sejumlah RUU, persetujuan RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dan pidato Ketua DPR tentang penutupan masa persidangan I tahun sidang 2021-2022. Selain itu, rapat tersebut juga menyetujui permintaan Presiden untuk memberikan amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Saiful Mahdi, terpidana kasus pencemaran nama baik.
JAKARTA, KOMPAS — Kerja legislasi, penganggaran, dan pengawasan mendapatkan sorotan tajam dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia atau Formappi. Kerja legislasi diberi nilai merah karena hanya 5 rancangan undang-undang dari 33 RUU Program Legislasi Nasional 2021 yang disahkan oleh DPR. Kendati demikian, apresiasi juga diberikan kepada kerja-kerja pengawasan DPR di dalam penanganan pandemi.
Direktur eksekutif Formappi I Made Leo Wiratma mengatakan, dari lima RUU itu pun, semuanya adalah usulan pemerintah, bukan DPR. Dalam kondisi ini, peran DPR sebagai pembentuk legislasi bisa dipertanyakan. Lima RUU yang disahkan itu ialah RUU tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (21 September 2021); RUU tentang Persetujuan ASEAN tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (7 September 2021); RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2020 (7 September 2021); RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2022 (7 Oktober 2021); dan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
”Dengan hasil itu, pengesahan 4 RUU kumulatif terbuka memang menjadi berkah bagi DPR untuk menutup lemahnya kinerja legislasi. Apalagi pengesahan 2 RUU terkait APBN memang sudah seharusnya terjadi karena tuntutan siklus anggaran yang tak terelakkan dan bagian dari pengejawantahan fungsi anggaran DPR,” kata Leo, Kamis (28/10/2021) di Jakarta, dalam konferensi pers evaluasi kinerja DPR masa sidang pertama 2021/2022.
Satu-satunya RUU dari usulan DPR yang disahkan sejak 2020 ialah RUU Minerba. Itu pun pembahasannya yang sangat cepat mengundang kritik publik. Praktis, sebagian besar dari RUU 2020-2021 yang disahkan menjadi UU oleh DPR adalah usulan dari pemerintah. Komposisi terbesar dari RUU itu ialah RUU kumulatif terbuka, dan bukan inisiatif anggota atau alat kelengkapan dewan (AKD).
Leo mengatakan, minimnya usulan DPR yang disahkan menjadi UU memunculkan pertanyaan mengenai tanggung jawab DPR sebagai pengusul RUU. ”Apakah RUU usulan pemerintah memang dianggap paling mendesak dibandingkan dengan RUU usulan DPR sendiri. Atau apakah DPR sebegitu ’tak berdayanya’ di hadapan pemerintah sehingga memilih menyenangkan pemerintah dengan mendahulukan RUU-RUU dari Pemerintah ketimbang dari DPR sendiri,” ungkapnya.
Minimnya usulan DPR yang disahkan menjadi UU memunculkan pertanyaan mengenai tanggung jawab DPR sebagai pengusul RUU.
Dalam pembahasan sejumlah RUU itu, Formappi menyoroti cepatnya waktu pembahasan yang mengindikasikan juga lemahnya partisipasi publik dalam prosesnya. Salah satunya ialah cepatnya penyelesaian RUU Cipta Kerja. ”Cepatnya penuntasan kelima RUU itu juga bisa mengonfirmasi relasi timpang antara DPR dan pemerintah. Klaim sebagian elemen masyarakat bahwa DPR sekedar menjadi ’tukang stempel’ pemerintah mungkin ada benarnya. DPR yang dikritik memble kinerja legislasinya justru bisa ngebut menyelesaikan RUU permintaan pemerintah,” ujar Leo.
Peneliti Formappi, Lucius Karus, menambahkan, kondisi pandemi Covid-19 tidak dapat dijadikan alasan bagi DPR untuk tidak optimal dalam membahas legislasi. Kemampuan DPR menuntaskan RUU Cipta Kerja dalam waktu enam bulan menunjukkan pembatasan di saat pandemi ternyata tidak banyak berpengaruh pada kerja-kerja legislasi.
Pengawasan diapresiasi
Sementara itu, untuk kerja-kerja penganggaran, DPR berhasil menaikkan besaran pendapatan negara dalam APBN sebesar Rp 5,48 triliun dari usulan pemerintah Rp 1.840,7 triliun menjadi Rp1.846,14 triliun. Namun, keberhasilan ini tidak diikuti keberhasilan menekan pemerintah untuk melakukan efisiensi, karena anggaran belanja negara juga disetujui meningkat dari Rp 2.708,7 triliun menjadi sebesar Rp 2.714,16 triliun atau naik sebesar Rp5,5 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani hadir dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/9/2021). Pada rapat tersebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Pendapatan negara ditetapkan Rp 1.846,14 triliun, belanja negara Rp 2.714,16 triliun, dan defisit APBN Rp 868 triliun.
Momentum kenaikan pendapatan negara ini, lanjut Leo, tidak dijadikan kesempatan untuk menurunkan defisit anggaran sekaligus mengurangi utang. Selain itu, belanja pemerintah pusat justru diberikan penambahan dari Rp 1.938,3 triliun menjadi Rp 1,944,54 triliun atau naik Rp 6,24 triliun, sementara Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) justru menurun dari Rp 770,4 triliun menjadi Rp 769,6 triliun atau setara Rp 0,8 triliun.
”Padahal, dana untuk daerah seharusnya lebih mendapat perhatian DPR karena daerah dan desa memerlukan dana besar untuk membangun dan memajukan kesejahteraan masyarakatnya,” ujarnya.
Adapun untuk kerja pengawasan, menurut Formappi, ada catatan kritis sekaligus apresiasi. Catatan kritis dilayangkan pada lemahnya tindak lanjut komisi-komisi di DPR terhadap hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Sejumlah komisi juga tercatat masih sering mengadakan rapat-rapat tertutup yang dinilai mencederai konsep parlemen terbuka (open parliament) yang dicanangkan oleh DPR sendiri.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah (tiga dari kanan) dan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo (empat dari kanan) menghadiri rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (7/4/2021). Rapat salah satunya membahas tentang penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk korban PHK sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
Namun, untuk pengawasan terhadap kebijakan pemerintah di dalam penanganan pandemi Covid-19, kerja pengawasan DPR diapresiasi. DPR dinilai mampu mendesakkan kebijakan penting di bidang kesehatan yang, antara lain, meliputi percepatan vaksinasi, serta peningkatan testing, tracing, dan treatment.
Di bidang kesehatan misalnya, Komisi IX mendesak Kemenkes dan BPJS Kesehatan untuk mengacu kepada peta jalan (roadmap) program Jaminan Sosial dan Kementerian PPN/Bappenas dalam rangka melakukan peninjauan manfaat sesuai Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) dan rawat inap kelas standar, revisi kebijakan tarif JKN, baik kapasitas maupun INA-CBGs dan urun biaya. Terkait penanganan dampak pandemi Covid-19, Komisi IX mendesak Kemenaker dan DJSN agar lebih aktif melakukan pengawasan integrasi data jaminan sosial sejak validasi hingga verifikasi data calon penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU).
”Desakan-desakan DPR tersebut patut diapresiasi karena cukup intens untuk memperhatikan kepentingan masyarakat,” kata Leo.
Namun, untuk pengawasan terhadap kebijakan pemerintah di dalam penanganan pandemi Covid-19, kerja pengawasan DPR diapresiasi.
DPR juga dinilai cukup memedulikan masalah pendidikan, seperti ditunjukkan oleh Komisi X DPR yang cukup responsif membela peningkatan kesejahteraan operator sekolah. Namun, pengawasan terhadap pelayanan publik hanya dilakukan oleh Komisi X terhadap Kemendikbudristek, padahal pelayanan publik juga terjadi hampir di semua kementerian teknis. Namun, pelayanan publik di kementerian teknis ini kurang mendapat perhatian dari lomisi-komisi di luar Komisi X.
Apresiasi juga disampaikan Formappi kepada Komisi IV dalam mendukung petani padi melalui persetujuan Bulog untuk tidak melakukan importasi beras.
Paradigma bergeser
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Willy Aditya mengatakan, kritik yang dialamatkan dalam pembuatan legislasi itu direspons positif sebagai bagian dari refleksi atau cerminan bagi perbaikan kinerja legislasi di masa depan. Namun, ia menilai paradigma parlemen di dunia saat ini tengah bergeser, yakni dari yang mulanya adalah menitikberatkan pada pembuatan legislasi (legislative heavy), kini menjadi menitikberatkan pada peran pengawasan (oversight heavy).
”Perubahan paradigama ini juga mesti dipahami. Kami di DPR berusaha untuk pembuatan legislasi ini diatur supaya tidak berlebihan. Sebab, awal Reformasi memang DPR dituntut memenuhi kebutuhan legislasi yang sangat banyak. Namun, sekarang itu mesti diatur dan disesuaikan dengan kerja-kerja DPR lainnya,” kata Willy.
Kompas
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya
Baleg DPR, misalnya, telah membuat klasifikasi tertentu dalam pembahasan suatu legislasi. Satu komisi di DPR hanya dapat membahas satu usulan legislasi. Ketika usulan itu telah rampung disahkan, baru komisi itu dapat mengusulkan pembahasan RUU lainnya.
”Kedua, pembahasan legislasi di DPR dibatasi hanya dalam tiga kali masa sidang. Kalau AKD atau komisi belum mampu menuntaskan pembahasan itu, selanjutnya RUU itu akan diserahkan kepada Badan Musyawarah (Bamus) untuk diputuskan apakah diteruskan ataukah tidak, dan komisi lain akan ditunjuk untuk membahasnya,” kata Willy.
Menurut Willy, penilaian kinerja DPR tidak bisa hanya dengan melihat produktivitas legislasi DPR dengan membandingkan daftar prolegnas prioritas dan RUU yang berhasil disahkan. ”Pembuatan legislasi itu salah satu dari tugas DPR, tetapi tidak bisa hanya didasarkan pada legislasi di tengah paradigma parlemen dunia yang juga bergeser,” katanya.