Kepatuhan pada Rekomendasi Ombudsman Tunjukkan Moralitas Tinggi
Di luar negeri, lembaga negara yang dinilai Ombudsman melakukan malaadministrasi pasti akan mematuhi rekomendasi perbaikan yang diminta. Berbeda di Indonesia, masih banyak rekomendasi tak dipatuhi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia diharapkan makin bertaji sebagai lembaga pengawas instansi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Namun, sayangnya, hasil rekomendasi Ombudsman masih banyak yang belum dipatuhi.
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Universitas Mataram Galang Asmara dalam diskusi daring bertajuk ”13 Tahun UU 37/2008: Penguatan Peran Ombudsman dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik”, Kamis (21/10/2021), mengatakan, mahkota dari Ombudsman RI (ORI) adalah kemandirian atau independensi lembaga. ORI tidak boleh dipengaruhi dan harus bebas dari campur tangan lembaga kekuasaan lain.
Kedudukan ORI sejajar dengan lembaga negara yang diatur di konstitusi, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Sebagai lembaga negara yang setara, ORI juga bisa mengawasi lembaga negara yang diatur di konstitusi itu. Bedanya, di Indonesia, ORI bisa mengawasi kegiatan pemerintahan baik cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Sementara itu, di luar negeri, rata-rata dipisah antara ombudsman parlemen dengan ombudsman eksekutif.
”Ombudsman RI berbeda dengan ombudsman di negara lain. Sifatnya yang mandiri dan karakter rekomendasinya bersifat mengikat secara moral ataupun secara legal, walaupun secara legal, ORI bukanlah lembaga eksekutor. Dia hanya bersifat sebagai pemberi rekomendasi, sementara yang mengeksekusi adalah pihak lain,” tutur Galang.
Secara spesifik, lanjut Galang, sifat rekomendasi dari ORI adalah mengikat secara moral. ORI didirikan untuk memperkuat moralitas birokrasi di Indonesia dalam melakukan pemerintahan yang baik. Oleh karena itu, ketika ORI mengeluarkan rekomendasi, seharusnya lembaga negara lain menaatinya. Ketaatan pada rekomendasi ORI menunjukkan bahwa lembaga tersebut memiliki moralitas yang tinggi.
”Di luar negeri, lembaga negara yang melakukan malaadministrasi menurut Ombudsman setempat pasti akan tertib melaksanakan rekomendasi. Ini karena di sana moralitas tinggi. Mereka malu jika disebut tidak melakukan pemerintahan yang baik,” kata Galang.
Ketaatan kurang
Realitasnya, di Indonesia, rekomendasi yang dikeluarkan ORI belum efektif dipatuhi. Berdasarkan data dari ORI pada 2019, hanya 40 rekomendasi yang dilaksanakan sepenuhnya; 18 persen dilaksanakan sebagian; dan 26 persen tidak dilaksanakan. Baru 58 persen rekomendasi yang dipatuhi oleh penerima. Sisanya, sebanyak 42 persen rekomendasi tidak dilaksanakan.
Yang terbaru, rekomendasi Ombudsman RI terkait dengan malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi tak dipatuhi oleh KPK.
Galang merekomendasikan agar ORI memperbaiki sejumlah hal. Pertama, ORI harus meningkatkan kualitas rekomendasi baik secara prosedur maupun substansi. Oleh karena itu, ORI harus juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia insan ORI. Selain itu, perlu ketegasan dari presiden sebagai kepala negara untuk meminta pelaksanaan rekomendasi dari ORI. Sistem bisa dibangun secara simultan dengan revisi UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, serta memasukkan ORI dalam UU Administrasi Pemerintahan dan UU Pemerintahan Daerah.
”Ini penting untuk meningkatkan kesadaran moral dan kesadaran hukum penyelenggara negara dan pemerintah untuk mematuhi rekomendasi dari ORI,” kata Galang.
Sementara itu, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi, menambahkan, keberadaan ORI sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sebab, tugasnya untuk menguji kualitas pelaksanaan pelayanan publik yang bersumber baik dari APBN maupun APBD. Lembaga negara diminta untuk menjalankan fungsi sebagai pelayan rakyat dengan baik. ORI juga tidak hanya pasif menerima laporan, tetapi juga bisa melakukan audit prakarsa atas inisiatif sendiri.
”Kalau pemerintah ingin memperbaiki kualitas pelayanan publik, perkuatlah ORI,” kata Qosasi yang dulu ikut membidani UU ORI saat masih menjadi anggota DPR.
Untuk memperkuat fungsi itu, Qosasi menyarankan agar ORI berkolaborasi dengan lembaga lain. Kolaborasi bisa dilakukan dengan mengolah analisis big data (mahadata) untuk memperkuat mekanisme pengaduan masyarakat, pelatihan teknis dan keterampilan penanganan laporan, penguatan akses pengaduan daring, dan percepatan tindak lanjut penanganan pengaduan.
”Selain itu, dalam laporan hasil pemeriksaan BPK tahun 2016 dan 2017, BPK merekomendasikan agar Ketua Ombudsman RI mengusulkan peraturan pemerintah yang menyangkut susunan organisasi dan tata kerja di lingkungan ORI, uraian tugas, tanggung jawab, dan kewenangan masing-masing agar lebih jelas,” kata Qosasi.
Ketua ORI Muhammad Najih mengatakan, selama 13 tahun, ORI telah dipercaya oleh masyarakat untuk menyelesaikan keluhan atas pelayanan publik. Temuan ORI, masih banyak penyelenggara pelayanan publik melakukan maladministrasi. Bahkan, ada kecenderungan temuan maladministrasi itu meningkat.
”Ini menunjukkan bahwa Ombudsman memiliki peran yang strategis untuk melakukan tindakan korektif terjadinya malaadministrasi,” kata Najih.
Najih mengusulkan agar pemerintah dapat memperkuat ORI secara kelembagaan. ORI perlu diperkuat agar memiliki perwakilan di provinsi, kabupaten, dan kota. Ini untuk mengoptimalkan pengawasan ORI di seluruh wilayah di Indonesia.