Ombudsman RI Meminta Presiden Mengoreksi Keputusan KPK
Ombudsman RI telah mengirimkan surat rekomendasi terkait tes wawasan kebangsaan pada proses alih status pegawai KPK kepada Presiden Jokowi. Ombudsman meminta Presiden mengoreksi keputusan KPK.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melalui rekomendasi, Ombudsman RI akan meminta Presiden Joko Widodo untuk mengoreksi keputusan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengambil alih proses alih status pegawai KPK. Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta KPK untuk menghormati norma hak asasi manusia.
Pada Rabu (15/9/2021), KPK mengumumkan pemberhentian 50 pegawai KPK yang dinilai tidak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan. Pemberhentian itu merupakan hasil rapat koordinasi KPK yang dihadiri Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, serta Pelaksana Tugas Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana pada 13 September.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, ketika dihubungi pada Kamis (16/9/2021), mengatakan, rekomendasi putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terkait proses alih status pegawai KPK tidak bertentangan dengan rekomendasi dari ORI. Sebaliknya, putusan kedua lembaga negara tersebut memperkuat dasar hukum pemeriksaan yang dilakukan ORI terhadap pelaksanaan tes wawasan kebangsaan dalam proses alih status pegawai KPK.
Robert mengatakan, yang dilakukan MA dan MK adalah uji materi terhadap substansi peraturan perundang-undangan. Sementara pemeriksaan Ombudsman adalah pemeriksaan terhadap ada tidaknya maladministrasi dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Selama ini, lanjut Robert, Ombudsman tidak pernah menyatakan mengenai sah atau tidak sah, melainkan mengenai adanya malaadministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan dalam proses alih status pegawai KPK.
”Putusan MA dan MK memperkuat hasil pemeriksaan kami karena kami ada dasarnya. Maka, kami lanjutkan dengan rekomendasi yang ditujukan kepada atasan terlapor atau KPK, yaitu Presiden,” kata Robert.
Menurut Robert, berdasarkan pemeriksaan Ombudsman disimpulkan bahwa hasil tes wawasan kebangsaan didasarkan pada proses yang penuh malaadministrasi. Untuk itu, Ombudsman meminta agar Presiden mengoreksi keputusan dari pejabat pembina kepegawaian (PPK) KPK yang menetapkan hasil berupa tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan proses yang penuh maladministrasi. Kemudian, Ombudsman juga meminta kepada Presiden untuk mengambil alih kebijakan penetapan alih status pegawai KPK.
Rekomendasi tersebut ditujukan kepada Presiden karena secara kelembagaan, KPK berada di rumpun kekuasaan eksekutif dengan pimpinan tertinggi adalah Presiden. Selain itu, Presiden juga adalah pembina tertinggi dalam hal kepegawaian. Dengan demikian, wewenang yang dimiliki pejabat pembina kepegawaian KPK bukan bersifat absolut, melainkan merupakan pendelegasian dari wewenang yang dimiliki Presiden.
”Rekomendasi Ombudsman RI itu juga merupakan produk hukum yang final, mengikat, dan wajib dilaksanakan para pihak, termasuk atasan instansi terlapor. Putusan MA dan MK tidak bisa menjadi alasan menunda pelaksanaan rekomendasi Ombudsman,” tutur Robert.
Saat ini, lanjut Robert, surat rekomendasi Ombudsman telah dikirimkan kepada Presiden. Dari sisi Ombudsman, batasan bagi pihak atasan terlapor untuk melaksanakan rekomendasi Ombudsman adalah 60 hari. Pihaknya berharap agar Presiden melakukan koreksi sebelum genap dua tahun Undang-Undang 19/2019 tentang KPK diundangkan, yakni pada 17 Oktober mendatang.
Secara terpisah, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, putusan MA dan MK yang dijadikan dasar pimpinan KPK untuk menindaklanjuti hasil tes wawasan kebangsaan dengan memberhentikan KPK merupakan putusan terhadap pengujian norma. Dengan putusan tersebut, tes wawasan kebangsaan tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, lanjut Ahmad, Komnas HAM menyelidiki implementasi dari pelaksanaan tes wawasan kebangsaan. Dari penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM disimpulkan telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sehingga terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Sementara Ombudsman RI menemukan pelanggaran malaadministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan.
”Sudah semestinya lembaga sekaliber KPK menghormati norma hak asasi dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, tidak boleh semena-mena. Kami khawatir dengan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia jika pimpinan KPK tidak peduli dengan norma hak asasi yang itu ada di dalam konstitusi dan perundang-undangan kita,” kata Ahmad.
Menurut Ahmad, Komnas HAM sebagai mitra sesama lembaga negara sangat peduli dengan kepercayaan publik terhadap KPK yang saat ini dinilai menurun drastis. Berbagai kasus yang terjadi belakangan dinilai sebagai penyebab penurunan kepercayaan publik tersebut.
Oleh karena itu, lanjut Ahmad, turunnya kepercayaan publik tersebut semestinya dijawab dengan mengambil langkah kebijakan yang sejalan dengan norma hak asasi manusia maupun tata kelola pemerintahan yang baik. Oleh karena itu, kini menjadi tugas pemerintah dan secara khusus Presiden untuk mengambil kebijakan yang sejalan dengan prinsip hak asasi dan asas pemerintahan yang baik.
”Nilai dan norma itu penting karena akan jadi catatan sejarah yang buruk ke depan kalau diabaikan begitu saja. Kami ingin mengingatkan soal kepatuhan kepada norma dan nilai tersebut,” kata Ahmad.
Adapun pada saat memaparkan keputusan memberhentikan 50 pegawai KPK, Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan, keputusan pemberhentian itu sesuai dengan putusan MK dan MA.
Pada 31 Agustus, MK menolak uji materi UU 19/2019 tentang KPK yang khususnya mempersoalkan inkonstitusionalitas penggunaan hasil tes wawasan kebangsaan untuk alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Pada 9 September, giliran MA menolak uji materi Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.