Ombudsman dan Hal-hal yang Belum Selesai
Tantangan strategis layanan di masa pandemi, transformasi digital, dan hadirnya omnibus Cipta Kerja disadari sebagai ”the game changers” baru yang mengubah lanskap dan langgam kerja Ombudsman RI.
Tugas utama pemerintah adalah mengadministrasikan keadilan. Terhadap tugas ini, Ombudsman RI atau ORI dibentuk untuk mengawasi aparat negara atas malaadministrasi pelayanan publik dan memastikan tegaknya keadilan administratif bagi warga negara.
Konstatasi demikian menjadi alas di atas mana semua konsepsi dan regulasi lalu diletakkan. ORI yang mengalami evolusi kelembagaan dari komisi independen (2000-2008) menjadi lembaga negara (2008-sekarang) dibekali mandat dan otoritas kuat. Penyelenggara negara yang memiliki kesadaran hukum dan keutamaan etis yang jernih niscaya bergetar mata batin dan sikap profesionalnya saat membaca isi UU No 37/2008 tentang Ombudsman RI dan UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Pertama, belum ada presedennya dalam sejarah negeri ini, untuk pertama kalinya relasi negara dengan warga diatur menjadi begitu politis. Hubungan kontinum mandat dan akuntabilitas ditarik dalam selarik garis tebal. Implikasi logis dari mandat politik (pemberian suara elektoral) dan mandat ekonomi (pembayaran pajak) mesti bisa terlihat konversinya pada akuntabilitas kinerja aparat negara lewat layanan publik.
Dengan itu, pemenuhan layanan publik bukan semata meresonansi komitmen dan kemauan politik, tetapi merupakan kewajiban konstitusional, legal, dan etis sekaligus.
Kedua, sebagai tanggung jawab negara dan atas urgensinya bagi hidup rakyat, pelayanan publik jelas tanda par excellence hadirnya negara, menjadi inti dari seluruh proses berpemerintahan di pusat hingga daerah.
Lewat pendidikan, kesehatan, atau jaminan sosial, negara membuka akses keadilan (access to justice) bagi warganya. Tanpa afirmasi dalam meretas struktur kesempatan yang inklusif, lapisan masyarakat tertentu tak saja kehilangan bantalan sosio-ekonomi, sistem kehidupannya juga terancam.
Di sanalah negara hadir sebagai kemestian etis dan kewajiban hukum.
Baca juga : Mempertanyakan Kewenangan Ombudsman
Ketiga, sebagaimana diatur amendemen kedua UUD 1945, pelayanan publik dibaca dalam perspektif hak rakyat. Kedua UU tadi mengatur hak prosedural dan hak substantif rakyat atas tata kelola, capaian, dan keluaran dari kerja layanan publik, baik yang diselenggarakan pemerintah, badan usaha negara, maupun swasta.
Secara prosedural, hak itu mewujud dalam pemenuhan keterbukaan informasi hingga akses partisipasi/representasi. Rakyat adalah warga, bukan konsumen; sebagai subyek yang berkehendak, bukan penikmat semata, apalagi menjadi obyek. Kehendak rakyat itu berpuncak pada tindakan politik kewargaan: kontrol atas negara!
Pada titik ini, almarhum Gus Dur sebagai presiden yang melahirkan ORI mendaulatnya sebagai lembaga pengawasan rakyat. Genealogi asali ORI adalah mewakili rakyat mengawasi (mala)administrasi pelayanan publik. Akar historis lembaga dan basis sosiologis pimpinannya terpatri di rahim rakyat.
Gagasan kerakyatan dan demokratisasi pelayanan publik mengamanatkan ORI menjadi mata dan telinga rakyat bekerja (mengawasi) dari dalam ranah sektor publik. Secara politik, ORI diusulkan presiden dan dipilih DPR guna mewakili warga mengontrol laku birokrasi yang mencederai hukum dan etika kala mengadministrasi keadilan dan mengelola layanan.
Ekosistem instrumental dan substansial
Mandat, otoritas, dan posisi itu tentu tak beroperasi dalam ruang kosong. Batu uji perwujudannya terletak pada daya pikul internal organisasi dan daya dukung lingkungan eksternal. Kurun 20 tahun keberadaannya, fondasi ORI relatif kokoh.
Mental model dan budaya kerja ORI sudah terbangun solid sebagai cerminan nilai dan karakter Ombudsman Way yang terinternalisasi. Sistem integritas yang melapisi proses bisnis yang penuh checks and balances membuat konflik kepentingan gampang dimitigasi. Fondasi itu jelas amat penting bagi lembaga pengawas agar tahan godaan.
Namun, modalitas lanjutan berupa rancang bangun organisasi masih jauh dari selesai. Perluasan titik akses pengaduan bagi warga, terutama di 508 kabupaten/kota, sungguh pekerjaan rumah krusial. Kantor perwakilan ORI yang hanya berada di ibu kota provinsi jelas sulit dijangkau para petani, nelayan, atau guru honorer, bahkan setelah ORI menyiapkan omnichannel layanan digital.
Menambah kantor pembantu di provinsi besar dan wilayah kepulauan serasa misi sulit di tengah anggaran cekak yang tak cukup membiayai aktivitas sekitar seribu personel saat ini.
ORI tentu tetap berusaha adaptif dan lincah.
ORI tentu tetap berusaha adaptif dan lincah. Tantangan strategis layanan di masa pandemi, transformasi digital, dan hadirnya omnibus Cipta Kerja disadari sebagai the game changers baru yang mengubah lanskap dan langgam kerja.
Pola respons pengaduan harus makin berkarakter gerakan sosial, bukan program/proyek, dan berbasis kolaborasi multiaktor dalam wadah Sahabat Ombudsman, jejaring media, sinergi dengan focal point di berbagai lini birokrasi, dan seterusnya. Segenap fitur perubahan terus digerakkan guna membuka akses pengaduan yang inklusif dan penanganannya secara kian efektif.
Di luar sketsa situasi internal tersebut, sekaligus menjadi fokus discursive appeal tulisan ini, adalah konstruksi relasi dan interaksi pengaruh dengan pemangku peran lain. Hal-hal yang belum selesai pada aras eksternal ini terungkap gamblang dalam banyak kejadian, termasuk kala menangani aduan alih status pegawai KPK.
Independensi dan kewenangan pemeriksaan memang tegak adanya. Mahkota ORI mewujud dalam kemandirian struktural (tak berhubungan organik dengan lembaga lain) dan fungsional (bebas dari campur tangan kekuasaan lain). Sementara dalam pemeriksaan kasus, kami memiliki modalitas ”padat kewenangan” pada fase proses kerja: pemanggilan para pihak (termasuk sub-poena power), hak imunitas di muka pengadilan, dan seterusnya.
Tantangan, untuk tak menyebut pertarungannya, terjadi pada fase lanjutan terkait daya eksekusi. Terhadap kasus-kasus berkelas low politics, tuah persuasif ORI sebagai rezim pengaruh (magistrature of influence) amat efektif menggerakkan para pihak guna merumuskan langkah bersama dan mengeksekusi penyelesaian ribuan masalah.
Lain nasibnya dengan sebagian kasus yang high politics, kompleks secara administratif, atau membetot perhatian publik. Ada saja pihak pelapor (korban malaadministrasi) yang mengajukan sanggah, bahkan dalam kasus alih status pegawai KPK justru pihak terlapor (pelaku malaadministrasi) menyampaikan nota keberatan, dan memang tersedia ruang bagi hak prosedural itu.
Eskalasi masalah jadi rumit kala taktik keberatan itu berlanjut. Serasa yang tampak adalah perlawanan. Alih-alih berfokus pada substansi hasil pemeriksaan, muncul segala upaya delegitimasi berupa sikap sangsi atas kewenangan ORI atau ”gugatan” atas legal standing dari para pihak dan obyek perkara.
Fatsun ketatanegaraan dalam merawat pergaulan sesama lembaga negara hingga kepatuhan terhadap rekomendasi Ombudsman (berlaku wajib/mengikat) sungguh berada di titik nadir. Bahkan, putusan lembaga peradilan dipakai sebagai pembenar untuk emoh, suatu sikap janggal lantaran UU No 25/ 2009 menegaskan, proses hukum tak menghapus kewajiban melaksanakan hasil ORI.
Eskalasi masalah jadi rumit kala taktik keberatan itu berlanjut.
Lebih-lebih lagi, putusan atas isi norma dari lembaga peradilan justru selaras hasil pemeriksaan atas pelaksanaan (malaadministrasi) norma oleh Ombudsman.
Dalam kerangka kerja ORI, penyelesaian akhir suatu kemelut bermuara ke atasan terlapor, termasuk penjatuhan sanksi administrasi.
Dalam kasus KPK, tak pelak Presiden jadi muara akhir: pemegang komando puncak rumpun kekuasaan eksekutif (dimensi kelembagaan) dan pemangku kuasa administrasi tertinggi pembinaan ASN (dimensi kepegawaian).
Jauh dari gemar agar ”semua persoalan lari ke Presiden”, ketika tak bergayutnya harapan terbaik agar titik penyelesaian berhenti di level terlapor, maka Presiden diminta: (1) melakukan koreksi atas putusan pimpinan KPK; (2) mengambil alih keputusan penetapan hasil final peralihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN.
Belum selesai
Sekitar 180 negara yang punya ombudsman mendudukkan pranata pengawasan tersebut di atas paradigma kerja yang relatif sama. Tetapi, tantangan acap datang beragam, terutama terkait derajat keberadaban sektor publik itu sendiri.
Pada dasarnya, tingkat efektivitas dan daya pengaruh ombudsman secara linear merefleksikan cara kita melihat mandat rakyat berdaulat dan bagaimana negara akuntabel mematuhinya lewat layanan. Terbentang sepanjang proses merelasikan mandat rakyat dan akuntabilitas negara itu adalah titik-titik potensial (mala)administrasi keadilan.
Sepanjang 20 tahun ORI berada, masih banyak hal besar belum beres.
Sepanjang 20 tahun ORI berada, masih banyak hal besar belum beres. Pada aras instrumental, dukungan politik DPR terasa begitu kuat. Namun, resonansinya di bilik kementerian yang mengelola portofolio keuangan, kepegawaian, kelembagaan, bahkan aset perkantoran masih berdenyut lemah.
Sementara aras substansial, komitmen penyelenggara negara dan aparat birokrasi atas martabat diri dan amanah jabatan terus menjadi batu uji tak berkesudahan. Afirmasi kepemimpinan Presiden dan kepala daerah diharapkan jadi alas kokoh bagi ekosistem instrumental dan substansial tersebut.
Robert Na Endi Jaweng, Anggota Ombudsman RI