Bekas Dirut Sarana Jaya Didakwa Rugikan Negara Rp 152,56 Miliar dalam Pembelian Lahan Rumah DP 0 Rupiah
Jaksa KPK mendakwa bekas Dirut PT Sarana Jaya Yoory Corneles bersama tiga orang lain memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Pembelian tanah di Munjul, Jakarta Timur diduga merugikan negara Rp 152,56 miliar.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proyek pengadaan tanah di Munjul, Jakarta Timur, yang dilakukan Badan Usaha Milik Daerah atau BUMD PT Pembangunan Sarana Jaya diduga merugikan keuangan negara Rp 152,56 miliar. Bekas Direktur Utama PT Sarana Jaya Yoory Corneles bersama tiga orang lainnya diduga melakukan perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi.
Sidang dakwaan perkara tersebut digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (14/10/2021). Sidang dipimpin hakim ketua Saifudin Zuhri, dengan hakim anggota Yusuf Pranowo, Susanti Arsi Wibawani, Ali Muhtarom, dan Mulyono Dwi Purwanto. Berkas dakwaan dibacakan secara bergantian oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi Moch Takdir Suhan dan Sisca Carolina Karubun.
Takdir menyebutkan, terdakwa Yoory bersama-sama dengan Wakil Direktur PT Adonara Propertindo (AP) Anja Runtuwene, Direktur PT AP Tommy Adrian, dan Direktur PT Aldira Berkah Abadi Makmur Rudi Hartono Iskandar melakukan perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri, orang lain, serta korporasi senilai Rp 152,56 miliar pada kurun waktu 2018-2020.
Penyidik KPK menemukan sejumlah pelanggaran hukum dalam proyek pengadaan lahan di Munjul, Pondok Rangon, Cipayung, Jakarta Timur, seluas 41.921 meter persegi atau 4,19 hektar itu. Pertama, lahan yang direncanakan untuk membangun proyek ”rumah DP 0 Rupiah” tidak sesuai dengan zonasi, tetapi tetap dipaksakan. Selain itu, juga dilakukan penggelembungan harga tanah hingga dua kali lipat dari harga wajar.
Awalnya, Yoory selaku Dirut PT Sarana Jaya (PSJ) menginformasikan kepada Tommy Adrian bahwa ia mencari tanah di wilayah Jakarta Timur dengan syarat luas di atas 2 hektar dengan posisi di jalan besar. Namun, tanah yang tersedia adalah di Munjul yang berada di zona hijau dan zona kuning, dan tidak memiliki akses masuk ke jalan utama.
”Namun, terdakwa Yoory tetap memerintahkan kepada tim internal PT Sarana Jaya untuk melengkapi persyaratan pembelian tanah berupa apraisal konsultan penilai agar permasahan zona hijau dapat diatasi dan harga tanah dapat disesuaikan,” kata Takdir.
Selain meminta konsultan untuk mengatasi permasalahan zona hijau, PT Sarana Jaya juga meminta tim penaksir harga tanah (appraisal) menggelembungkan harga tanah yang akan dibeli. Sejak awal, perusahaan itu mematok harga tanah di atas Rp 5,2 juta per meter persegi. Padahal, harga tanah di kawasan itu hanya Rp 2,6 juta-Rp 3 juta per meter persegi.
Dalam proses pembelian tanah, Wakil Direktur PT Adonara Propertindo Anja Runtuwene juga berperan melakukan lobi-lobi agar perusahaannya yang ditunjuk sebagai rekanan pengadaan lahan. Lahan di Munjul awalnya adalah milik Kongregasi Suster-suster Carolus Boromeus (Kongregasi Suster CB).
Walaupun pihak Kongregasi Suster CB belum melego tanah miliknya, PT Adonara Propertindo sudah memasukkan surat penawaran ke PT Sarana Jaya tanggal 4 Maret 2019 dengan harga Rp 7,5 juta per meter persegi. Tanah dicatut milik Andyas Geraldo yang merupakan anak dari Anja Runtuwene. Padahal, tanah itu baru dibeli dari Kongregasi Suster CB pada 25 Maret 2019 dengan harga Rp 2,5 juta per meter persegi.
”Dirut PT Adonara Propertindo Tommy Adrian kemudian menginformasikan kepada Yoory bahwa tanah yang ditawarkan sudah dibuat perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) sehingga bisa dilakukan transaksi jual-beli tanah antara PT Sarana Jaya dan Anja Runtuwene,” kata Takdir.
Setelah itu, PT Adonara kembali memasukkan penawaran, tetapi atas nama pemilik tanah Anja Runtuwene untuk menggantikan surat penawaran atas nama Andyas Geraldo yang telah diajukan sebelumnya. Mereka membuat surat penawaran dengan tanggal mundur (backdate). Tommy Adrian juga meminta harga jual tanah senilai Rp 5,5 juta per meter persegi ke PSJ. Namun, kemudian hanya disepakati harga Rp 5,2 per meter persegi.
”Kesepakatan itu dicapai dengan janji adanya imbalan yang akan diberikan kepada Yoory,” kata Takdir.
Untuk membayar tanah itu, Yoory menggunakan dana Penyertaan Modal Daerah (PMD) yang dianggarkan melalui APBD Pemprov DKI Tahun Anggaran 2019. Terdakwa meminta kepada Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI untuk mencairkan PMD Rp 500 miliar, tetapi hanya disetujui Rp 350 miliar.
Meskipun permohonan PMD belum dicairkan, terdakwa tetap memerintahkan dilakukan proses pembayaran atas tanah di Munjul. Terdakwa memerintahkan stafnya untuk menyiapkan dokumen Bukti Uang Keluar (BUK) dan Memo Internal Permohonan Pembayaran yang dibuat bertanggal mundur (backdate) tertanggal 29 Maret 2019.
Yoory kemudian menandatangani PPJB tanah Munjul bersama dengan Anja Runtuwene di Gedung Sarana Jaya Pusat di hadapan notaris dengan nilai transaksi Rp 217,98 miliar. Yoory juga setuju membayar tahap pertama senilai 50 persen. Selanjutnya terdakwa menyetujui dilakukan pembayaran 50 persen dari total nilai proyek, yaitu sebesar Rp 108,99 miliar. Pembayaran sudah dilakukan meski belum ada kajian dan penilaian apraisal.
Seusai pembayaran itu, terdakwa meminta kepada Tommy Adrian untuk memberikan sejumlah uang untuk doorprize acara HUT Ke-37 PT Sarana Jaya. PT Adonara Propertindo menyetujui pembelian dua unit sepeda motor seharga Rp 56,87 juta dan pembelian satu unit sepeda motor merek Yamaha Rp 27,44 juta.
Setelah pembayaran tahap pertama, tim investasi PT Sarana Jaya menyampaikan hasil kajian bahwa 73 persen lahan tanah Munjul berada dalam zona hijau rekreasi sehingga tidak sesuai peruntukan tata ruang DKI Jakarta. Namun, terdakwa memerintahkan tim untuk mengatasi permasalahan tersebut. Yoory meminta stafnya mencari konsultan yang sanggup memberikan penilaian harga tanah di angka Rp 6,1 juta per meter persegi dan membuat laporan apraisal dengan tanggal mundur untuk menyesuaikan waktu sebelum negosiasi. Akhirnya, disekati penggunaan jasa Wahyono Adi selaku konsultan apraisal.
Wahyono Adi kemudian membuat dokumen surat perjanjian kerja (SPK) dan dokumen progres pekerjaan dengan tanggal mundur pada Maret 2019, dan Laporan Final Hasil Penilaian yang dibuat mundur pada April 2019. Laporan diserahkan kepada PT Pembangunan Sarana Jaya yang isinya adalah penilaian atas harga tanah Munjul sebesar Rp 6,1 juta per meter persegi. Atas pekerjaannya itu, Wahyono Adi mendapatkan fee biaya jasa Rp 53,5 juta.
Setelah itu, secara bertahap Yoory membayar sisa pelunasan pembelian tanah Munjul. Pada tahap kedua, pembayaran dilakukan dua kali masing-masing Rp 21,79 miliar dan Rp 43,59 miliar. Dengan demikian, uang yang ditransfer ke rekening atas nama Anja Runtuwene Rp 152,56 miliar. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam laporan hasil audit tahun 2019 menyebutkan, pembelian tanah di Munjul tidak bermanfaat karena tidak bisa digunakan sesuai tujuan. Pembelian tanah itu juga mengakibatkan negara rugi senilai Rp 152,56 miliar.
Atas perbuatannya itu, JPU menjerat terdakwa dengan dakwaan alternatif. Untuk dakwaan primer, terdakwa didakwa melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Adapun untuk dakwaan subsider, terdakwa dijerat dengan pasal perbuatan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi serta menyalahgunakan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara. Hal itu diatur dalam Pasal 3 juncto Pasal 18 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) tentang KUHP.