Dugaan Korupsi Berjemaah Para Wakil Rakyat Muara Enim
KPK menahan dan menetapkan tersangka sepuluh anggota DPRD Kabupaten Muara Enim dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di Muara Enim pada 2019. Uang yang diterima diduga untuk pemenangan saat Pemilu 2019.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menetapkan tersangka sepuluh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, dan langsung menahan mereka. Uang yang mereka terima dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Muara Enim, diduga untuk pemenangan di Pemilu 2019.
Kesepuluh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Muara Enim dimaksud, adalah Indra Gani BS, Ishak Joharsah, Ari Yoca Setiadi, Ahmad Reo Kusuma, dan Marsito. Selain itu, Mardiansyah, Muhardi, Fitrianzah, Subahan, dan Piardi.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers, Kamis (30/9/2021), mengatakan penetapan tersangka dan penahanan kesepuluh anggota DPRD tersebut merupakan hasil pengembangan penyidikan KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Muara Enim dan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Muara Enim Tahun 2019.
Dalam kasus itu, KPK sebelumnya telah menetapkan enam tersangka. Dari keenam tersangka, lima di antaranya telah divonis bersalah oleh pengadilan dan putusannya berkekuatan hukum tetap. Kelimanya, Ahmad Yani (Bupati Muara Enim 2018-2019), Robi Okta Fahlevi (pihak swasta), Elfin MZ Muchtar (bekas Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim), Aries HB (bekas Ketua DPRD Muara Enim), dan Ramlan Suryadi (bekas Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPR Muara Enim). Adapun satu tersangka lainnya, yakni Juarsah (Wakil Bupati Muara Enim pada 2018-2020), saat ini masih disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang.
Setelah dilakukan pengumpulan informasi dan data yang kemudian ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup dan adanya berbagai fakta hukum selama proses persidangan dalam perkara awal dengan terdakwa Ahmad Yani dkk, KPK melakukan penyelidikan dan meningkatkan status perkara ini ke penyidikan pada September 2021 dengan 10 tersangka baru,” ujar Alexander.
Kasus ini bermula ketika sekitar Agustus 2019, Robi Okta Fahlevi dan Elfin MZ Muhtar menemui Ahmad Yani (saat itu masih menjabat Bupati Muara Enim), untuk mendapatkan proyek pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim Tahun 2019.
Dalam pertemuan, Ahmad Yani menyampaikan agar berkoordinasi langsung dengan Elfin dan nantinya ada pemberian fee sebesar 10 persen dari nilai proyek untuk para pihak yang ada di Pemerintah Kabupaten Muara Enim dan para anggota DPRD Muara Enim periode 2014-2019.
Pembagian proyek dan penentuan para pemenang proyek pada Dinas PUPR Muara Enim diduga dilakukan oleh Elfin dan Ramlan Suryadi sesuai perintah dari Ahmad Yani, Juarsah, Ramlan Suryadi, dan kesepuluh tersangka baru, agar memenangkan perusahaan milik Robi.
Setelah Robi mendapatkan sejumlah proyek di Dinas PUPR Muara Enim Tahun 2019 dengan total nilai kontrak lebih kurang Rp 129 Miliar, fee dibagikan dengan jumlah bervariasi. Uang diserahkan oleh Robi melalui Elfin. Sebanyak Rp 1,8 miliar diterima Ahmad Yani, kemudian sekitar Rp 2,8 miliar diterima Juarsah, dan untuk sepuluh tersangka baru diduga diterima sekitar Rp 5,6 miliar. Uang bagi kesepuluh tersangka itu diberikan secara bertahap. Dengan setiap tahap, berkisar antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta.
”Peneriman uang oleh para tersangka selaku anggota DPRD diduga agar tidak ada gangguan dari pihak DPRD terhadap program-program Pemerintah Kabupaten Muara Enim khususnya terkait pengadaan barang dan jasa di Dinas PUPR Muara Enim Tahun 2019,” kata Alexander.
Uang yang telah diterima oleh para tersangka, lanjutnya, diduga digunakan untuk kepentingan mengikuti Pemilu 2019. Di Pemilu 2019, mereka kembali terpilih menjabat anggota DPRD Muara Enim.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Alexander mengatakan korupsi yang melibatkan para aktor politik, termasuk di dalamnya anggota DPRD, merupakan jenis korupsi yang paling banyak ditangani oleh KPK. Untuk itu, KPK mengingatkan semua aktor politik untuk bersama-sama memiliki komitmen politik yang bersih dan bebas dari korupsi.
”Para anggota DPRD ini telah menerima kepercayaan dari masyarakat. Sudah sepatutnya kepercayaan ini tidak digunakan hanya untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya,” ujarnya.
Ditanyakan soal kemungkinan masih adanya anggota DPRD Muara Enim lain yang ikut terlibat dalam kasus ini, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto mengatakan, KPK akan terus menggali kasus ini, terutama untuk mencari kemungkinan ada pihak lain yang terlibat. ”Nanti setelah kita dapat alat bukti yang cukup pasti akan dinaikkan (ke penyidikan),” ujarnya.