Pertimbangkan Kecukupan Waktu Sengketa dan Pilpres Dua Putaran
Jika pemilu pada 15 Mei 2024, sesuai usulan pemerintah, diperkirakan akan mengganggu tahapan pilkada. Salah satunya karena sengketa pemilu di MK akan final pada Agustus 2024, bersamaan dengan tahapan awal pilkada.
JAKARTA, KOMPAS — Usulan pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilu 2024 pada 15 Mei 2024 dikritisi sejumlah pihak, terutama di tengah belum adanya solusi mengenai risiko sengketa pemilu yang berkepanjangan dan adanya pemilu presiden putaran kedua. Dengan perhitungan waktu tahapan normal selama 20 bulan, penyelenggaraan pemilu pada Mei 2024 membuat jeda waktu yang terlalu dekat dengan masa pendaftaran calon kepala daerah 2024, Agustus 2024.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD dalam keterangannya, Senin (27/9/2021) di Jakarta, mengatakan, pemerintah mengusulkan agar Pemilu 2024 dilakukan pada 15 Mei 2024. Keputusan itu diambil dalam rapat terbatas yang dipimpin langsung Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin. Dalam rapat tertutup yang dihadiri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo itu dibahas beberapa opsi tanggal pemungutan suara.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Melalui keterangan resmi seusai rapat, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah telah melakukan simulasi terhadap empat opsi tanggal pemungutan suara Pemilu 2024. Empat opsi itu adalah 24 April, 6 Mei, 8 Mei, dan 15 Mei 2024.
”Setelah disimulasikan dengan berbagai risiko teknis dan yuridis, pilihan pemerintah adalah 15 Mei 2024. Tanggal itu dianggap paling rasional untuk diajukan pemerintah kepada KPU dan DPR sebelum 7 Oktober nanti (reses DPR),” katanya (Kompas, 28/9/2021).
Menanggapi usulan pemerintah itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim mengatakan, pemerintah sebaiknya meminta pendapat, masukan, dan pertimbangan dari berbagai ahli pemilu, ahli cuaca, ahli kesehatan, masyarakat sipil, pemerhati pemilu, pimpinan partai politik, dan tokoh masyarakat yang kompeten dengan masalah pemilu, sebelum menentukan tanggal pemungutan suara.
“Agar tidak terkesan subyektif memutuskan tahapan dan jadwal pemilu dari hitung-hitungan kepentingan kekuasaan semata. Ingat, pemilu itu harus dipahami hajatnya rakyat yang memegang kedaulatan atas NKRI ini. Pemilu bukanlah hajatnya pemerintah. Pemerintah hanya fasilitator,” katanya, Selasa (28/9/2021) di Jakarta.
Baca juga: Pemerintah Usulkan Pemungutan Suara pada 15 Mei 2024
Jika pemungutan suara dilakukan pada 15 Mei, Luqman mempertanyakan soal ketersediaan waktu untuk penetapan hasil pemilu, pendaftaran sengketa pemilu, waku penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), tahapan pilkada, pengajuan calon independen kepala daerah ke KPU daerah, sampai kesempatan parpol dan masyarakat melakukan seleksi bakal calon kepala daerah. Beberapa tahapan pemilu dan pilkada itu akan tidak memadai jika pemerintah menggelar pemungutan suara pada 15 Mei 2021.
Alasannya, penetapan hasil Pemilu 2024 adalah syarat utama bagi parpol untuk mendaftarkan bakal calon kepala/wakil kepala daerah ke KPU daerah. Secara rasional, pendaftaran calon kepala/wakil kepala daerah ke KPU daerah sudah harus dilakukan pada Agustus 2024, karena pemungutan suara pilkada serentak 2024 menurut UU 10/2016 tentang Pilkda wajib dilaksanakan pada November 2024.
Mengenai kecukupan waktu pemungutan suara 15 Mei itu dengan pendaftaran calon kepala daerah pada Agustus 2024, Luqman meminta semua pihak belajar dari pengalaman Pemilu 2019 yang dilaksanakan pada 17 April 2019. Pada saat itu, KPU menetapkan rekapitulasi hasil pemilu pada 21 Mei 2019, atau memerlukan waktu 1 bulan lebih 4 hari. Artinya, penetapan rekapitulasi hasil Pemilu yang diadakan pada 15 Mei akan dilakukan sekitar 20 Juni 2024.
Kalau coblosan Pemilu 15 Mei 2024, penyelesaian sengketa pemilu oleh MK akan final pada pertengahan Agustus 2024. Jika ini yang terjadi, kita harus bersiap menghadapi kekacauan tahapan Pilkada 2024.
Adapun penyelesaian sengketa hasil pemilu 2019 oleh MK baru rampung seluruhnya pada Agustus 2019. Artinya sekitar 3 bulan dari penetapan rekapitulasi hasil pemilu, atau 4 bulan setelah pemungutan suara. Dengan memerhatikan rangkaian waktu itu, alur tahapan antara Pemilu 2019 dengan Pemilu 2024 relatif sama, karena UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih dipakai.
“Maka, kalau coblosan Pemilu 15 Mei 2024, penyelesaian sengketa pemilu oleh MK akan final pada pertengahan Agustus 2024. Jika ini yang terjadi, kita harus bersiap menghadapi kekacauan tahapan Pilkada 2024 dan sangat mungkin berdampak Pilkada serentak November 2024 gagal dilaksanakan,” katanya.
Baca juga: MK Diminta Memformat Ulang Keserentakan Pemilu 2024
Usulan pemilu pada 15 Mei ini, menurut Luqman, didasari pada argumentasi agar penetapan pasangan capres-cawapres terpilih tidak terlalu jauh dari akhir periode Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2024. Ia mensinyalir hal itu dilakukan agar “kekuatan dari kekuasaan” pemerintah sekarang masih kokoh sampai hari-hari akhir masa periode.
“Nampaknya pemerintah khawatir, jika coblosan dilaksanakan 21 Februari 2024 maka sudah akan ada pasangan capres-cawapres terpilih di sekitar bulan Maret 2021. Ini dengan asumsi pilpres hanya 1 putaran. Kehadiran capres-cawapres terpilih, mungkin dianggap akan mengganggu efektifitas pemerintah yang akan berakhir 20 Oktober 2024,” katanya.
Menurut Luqman, pertimbangan seperti itu bisa dikesampingkan. Selama capres-cawapres terpilih belum dilantik oleh MPR sebagai Presiden/Wakil Presiden RI 2024-2029, kekuasaan pemerintah yang dipimpin Presiden Jokowi tetap sah dan tidak berkurang sedikit pun untuk menjalankan berbagai program dan kegiatannya.
“Saya berharap dan berdoa, semoga simulasi pemerintah yang menginginkan coblosan Pemilu 15 Mei 2024 tidak dijadikan rangkaian strategi oleh pihak tertentu untuk menggagalkan pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak 2024,” katanya.
Potensi perppu
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, fraksinya setuju usulan pemilu pada 15 Mei 2024. Dengan usulan itu, pemerintah berarti telah menyimulasikan semua kemungkinan jika pemilu dilakukan pada 15 Mei 2021, termasuk dengan tahapan pilkada yang mulai berjalan Agustus 2024.
Saan mengatakan, jika pemilu dilakukan Mei 2024, jangka waktu penentuan capres dan cawapres terpilih itu tidak akan terlalu lama dengan waktu pelantikan pada Oktober. Jangka waktu yang terlalu lama itu dinilai akan berdampak pada efektvitas pemerintahan lantaran situasi politik sudah memasuki masa transisi kepemimpinan.
“Biasanya kita melakukan pilpres itu kan Juli, lalu diubah jadi April, 2019, karena dibarengkan dengan pemilu legislatif. Jarak antara hasil dengan penetapan pemilu dulu rata-rata 3 bulan. Kalau Pemilu 2024 dilakukan Mei, ada waktu sekitar 5 bulan dengan waktu penetapan setelah hasil pemilu diketahui, jadi tidak terlalu lama. Kalau terlalu lama, dinamika politik yang terjadi akan mengganggu efektivitas pemerintahan,” ucapnya.
Baca juga: Mencari Titik Temu Jadwal Pemilu
Mengenai jeda waktu untuk penyelesaian sengketa pemilu dan pilpres dua putaran, menurut Saan, itu dapat dibicarakan di dalam konsinyering, termasuk opsi membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU Pemilu. Salah satu yang muncul ialah aspirasi memperpendek waktu kampenye yang selama pengaturannya dikunci di dalam UU. Jika kampanye dapat dipersingkat, ada potensi tahapan pemilu lebih efisien dari sisi waktu maupun anggaran.
“Kita ada komitmen memperpendek masa kampanye, baik untuk pemilu maupun pilkada. Semua ini terkait dua hal, yakni efisiensi anggaran dan lancarnya demokratisasi. Di tengah pandemi, anggaran pemilu dan pilkada yang hampir Rp 120 triliun itu terlalu fantastis. Prinsipnya, demokratisasi tetap dijamin, tetapi harus pula memerhatikan kondisi keuangan negara,” ujarnya.
Saan mengatakan, selain perppu yang memperpendek kampanye, aspirasi untuk membuat kesepakatan dengan MK dan Mahkamah Agung (MA) dalam penyelesaian sengketa juga akan dibahas di dalam konsinyering. Kepastian percepatan penyelesaian sengketa itu diperlukan untuk menjamin sengketa tidak berlarut-larut ketika tanggal pemilu dan pilkada telah disepakati.
“Nanti kita sisir satu per satu bagaimana jalan keluarnya, karena waktu pilkada sudah eksplisit disebutkan November di dalam UU. Bagaimana keseimbangan ini bisa dicapai antara agenda demokrasi kita dengan upaya efisiensi di tengah keuangan negara yang menghadapi pandemi. Apakah akan ada perppu atau kesepakatan dengan pihak-pihak lain, itu akan dibahas di dalam konsinyering,” ucapnya.
Baca juga: Mematangkan Persiapan Pemilu
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Junimart Girsang mengatakan, soal waktu penyelesaian sengketa yang banyak dikhawatirkan tidak memadai, sebenarnya tergantung pada pengaturan tahapan pemilu.
“Kalau dikhawatirkan terjadi irisan tahapan, bagi saya itu hanya istilah saja. Pertengkaran atau selisih itu kita yang buat. Tidak akan ada irisan tahapan dan perselisihan hasil kalau kita tidak mau buat irisan tahapan itu. Itu tergantung kita dalam menyusun tahapan,” ujarnya.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Muhammad Ihsan Maulana mengatakan, pemilu 15 Mei 2024 tidak memadai untuk memastikan tahapan pilkada berjalan lancar. Idealnya, pemilu dilakukan pada akhir Februari atau awal maret 2024, yakni sebelum bulan puasa.
Tidak memadai
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Muhammad Ihsan Maulana mengatakan, pemilu 15 Mei 2024 tidak memadai untuk memastikan tahapan pilkada berjalan lancar. Idealnya, pemilu dilakukan pada akhir Februari atau awal maret 2024, yakni sebelum bulan puasa. Dengan penyelenggaraan pada Februari atau Maret, ada waktu cukup bagi KPU menyiapkan penyelesaian sengketa, maupun pilpres dua putaran.
Baca juga: KPU: Pemungutan Suara April 2024 Akan Problematik
“Maret sampai pertengahan April itu tidak mungkin karena ada puasa. Yang paling ideal dan cukup waktu ialah akhir Februari atau awal Maret, sebelum puasa. Kalau Mei, dengan alur tahapan yang sama dengan Pemilu 2019, waktunya akan terlalu mepet dan bisa mengganggu tahapan pilkada,” katanya.
Tim kerja bersama antara DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu harus merinci tahapan-tahapan mana yang dapat disederhanakan untuk mendorong efisiensi. Tanpa ada rekayasa tahapan yang memungkinkan dilakukan oleh penyelenggara pemilu, menurut Ihsan, mengadakan pemilu pada Mei 2024 berpotensi mengganggu tahapan pilkada 2024.
Di kantor KPU, Jakarta, Ketua KPU Ilham Saputra menyampaikan, terhadap usulan pemerintah, pihaknya akan melakukan simulasi tahapan terlebih dahulu. Ini penting guna memastikan seluruh tahapan dapat berjalan lancar nanti.
“Kami akan mencoba melihat usulan pemerintah itu memungkinkan atau tidak. KPU akan melakukan simulasi tahapan-tahapan sesuai peraturan perundang-undangan. KPU tentu tidak mudah apalagi ini adalah pertama kali dalam sejarah kita pemilu dan pilkada diselenggarakan secara bersamaan,” ucap Ilham.
Dari simulasi tersebut, lanjut Ilham, KPU akan membuat kajian serta usulan yang terbaik. Semua itu akan disampaikan berikutnya.
Namun demikian, untuk tanggal pasti pelaksanaan Pemilu 2024, menurut Ilham, itu baru akan diputuskan dalam rapat dengar pendapat umum pada 6 Oktober 2021 nanti. “Kemudian memastikan bahwa sebetulnya dalam berbagai perspektif tentu saja pemerintah mungkin bicara soal anggaran, kondisi politik,” katanya.