Mematangkan Persiapan Pemilu
Mengacu pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, ada kecenderungan tahapan pemilihan yang dilakukan jauh-jauh hari sebelum pemungutan suara lebih dipilih dibandingkan dengan durasi tahapan yang lebih pendek.
Jika merujuk pengalaman pelaksanaan pemilihan umum sebelumnya, ada kecenderungan tahapan pemilihan yang dilakukan jauh-jauh hari sebelum pemungutan suara lebih dipilih dibandingkan dengan durasi tahapan yang lebih pendek.
Masih belum jelasnya jadwal pemungutan suara Pemilu 2024 karena ada beberapa opsi jadwal yang ditawarkan, baik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun oleh Kementerian Dalam Negeri, membuka diskusi publik soal perlunya jadwal pemilu segera ditetapkan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Urgensi penetapan jadwal ini tentu demi kepastian hukum agar pelaksanaan pemilihan umum yang diatur dalam undang-undang dasar dilakukan setiap lima tahun sekali lebih terjamin.
Seperti yang diberitakan Kompas, kepastian ini untuk menepis isu-isu dan spekulasi yang beredar terkait perpanjangan masa jabatan presiden, sehingga pemilihan umum diundur, hingga isu amandemen yang mengubah durasi periode jabatan presiden. Dengan memastikan jadwal pemungutan suara, diharapkan isu-isu ini akan reda dan berakhir (Kompas, 23/9/2021).
Jadwal pemungutan suara pemilu juga penting dipastikan lebih dini untuk menjamin pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang di undang-undang sudah dikunci pada November 2024.
Apalagi, pelaksanaan pilkada itu bergantung pada hasil Pemilu 2024. Bisa dibayangkan jika jadwal pemilu belum pasti, pada akhirnya akan berdampak juga pada ”kepastian” pelaksanaan pilkada serentak nasional.
Pada rapat bersama Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, dan penyelenggara pemilu, 16 September lalu, usulan KPU menyelenggarakan pemungutan suara pemilu pada 21 Februari 2024.
Usulan ini tidak disetujui pemerintah. Sebaliknya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengusulkan skenario baru, pemungutan suara digelar pada 24 April, 8 Mei, atau 15 Mei 2024. Artinya, usulan Mendagri berpengaruh pada durasi tahapan yang cenderung lebih pendek dengan usulan KPU.
Jika merujuk usulan KPU, tahapan pemilu akan dimulai pada Januari 2022 atau 25 bulan sebelum pemungutan suara. Durasi ini memang lebih lama dari syarat paling lambat yang disebutkan dalam undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan, tahapan pemilihan umum paling lambat dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara (Pasal 167 Ayat [6]).
Sementara usulan Mendagri memang cenderung lebih pendek durasinya sesuai dengan undang-undang, yakni 20 bulan jika tahapan pemilu dimulai pertengahan 2022.
Salah satu pertimbangan Mendagri adalah agar suhu politik pemilu di tengah masyarakat yang masih dihadapkan pada pandemi ini tidak terlalu lama panasnya. Selain itu, faktor keamanan juga menjadi pertimbangan agar pelaksanaan pemilu lebih kondusif.
Baca Juga: Kepastian Hukum Jadwal Pemilu
Tahapan panjang
Jika kita mengacu pengalaman pelaksanaan pemilihan umum sebelumnya, memang ada kecenderungan semakin panjang durasi tahapan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pemilihan umum.
Kita lihat sejak pemilu era Reformasi saja. Di Pemilu 2004, durasi waktu dimulainya tahapan pemilihan umum hanya 12 bulan dari hari pemungutan suara. Saat itu tahapan dimulai April 2003 dan pemungutan suara dilakukan 5 April 2004 untuk pemilu legislatif.
Tiga bulan kemudian, KPU harus menggelar pemilihan presiden. Artinya, jika dihitung sejak awal tahapan, pilpres ini hanya dipersiapkan 15 bulan atau konsentrasi pada pilpres ini hanya 3 bulan setelah pemilu legislatif.
Di tiga bulan ini hal yang utama dilakukan adalah pemutakhiran data pemilih karena asumsinya dengan penambahan waktu tiga bulan ada perubahan komposisi pemilih.
Terutama bagi pemilih yang saat pemilu legislatif belum berhak memilih karena belum cukup usia, bisa saja di pemilihan presiden dia sudah cukup memenuhi syarat minimal usia sebagai pemilih.
Apa yang terjadi di Pemilu 2004 juga kembali dilakukan di Pemilu 2009. Tahapan pemilu dimulai 12 bulan sebelum hari pemungutan suara. Di Pemilu 2009 ini relatif lebih ringan karena pemilihan presiden berlangsung hanya satu putaran dibandingkan di 2004 yang digelar dengan dua putaran.
Tentu, kompleksitas pemilu dan pilpres ini sedikit banyak menjadi bahan perbaikan, terutama yang dituangkan dalam revisi undang-undang pemilu.
Menjelang pelaksanaan Pemilu 2014, aturan soal durasi tahapan pemilihan umum dituangkan secara jelas dalam UU No 8/2012 tentang Pemilu. Hal ini disebutkan di Pasal 4 Ayat (5) yang menyatakan tahapan pemilihan umum paling lambat dimulai 22 bulan sebelum hari pemungutan suara.
Batasan undang-undang ini kemudian dipraktikkan dalam pelaksanaan Pemilu 2014 yang durasi tahapannya dimulai sejak Juni 2012 atau 22 bulan sebelum hari pemungutan suara pemilu legislatif 9 April 2014.
Aturan ini kembali dituangkan dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu, terutama di Pasal 167 Ayat (6) yang menyebutkan bahwa tahapan pemilu dimulai paling lambat 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.
Jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya, memang agak lebih pendek dua bulan. Namun, semangatnya tetap agar pelaksanaan pemilu bisa dipersiapkan lebih baik lagi di jauh-jauh hari.
Urgensi penetapan jadwal ini tentu demi kepastian hukum agar pelaksanaan pemilihan umum yang diatur dalam undang-undang dasar dilakukan setiap lima tahun sekali lebih terjamin.
Semangat mempersiapkan pemilu lebih matang inilah yang menjadi alasan mengapa batasan waktu paling lambat tahapan pemilihan umum dimulai perlu dituangkan dalam undang-undang.
Sebelumnya, batasan waktu ini tidak pernah tercantum dalam undang-undang. Selain agar lebih matang, kompleksitas pelaksanaan pemilu semakin tinggi, terutama dengan pelaksanaan pemilihan umum serentak nasional, baik pemilu umum legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah.
Baca Juga: Memperkuat Pemilu Melalui Teknologi
Kompleksitas
Tentu kompleksitas Pemilu 2024 lebih tinggi dibandingkan dengan pelaksanaan pemilu-pemilu sebelumnya. Hal ini tidak saja terkait keserentakan antara pemilu, pilpres, dan pilkada, tetapi juga karena adanya irisan tahapan yang saling memengaruhi. Irisan itu terkait syarat pencalonan kepala daerah yang akan berlaga di pilkada pada November 2024.
Bagi kepala daerah yang maju melalui jalur dukungan partai politik, tentu partai politik yang berhak mengajukan pasangan calon di Pilkada 2024 adalah partai politik peraih kursi DPRD hasil Pemilu 2024.
Jika melihat pengalaman pilkada serentak 2020 yang digelar pada Desember, pembukaan pendaftaran pasangan calon dilakukan 3 bulan sebelumnya. Jika mengacu pengalaman ini, pilkada yang akan digelar pada November 2024 semestinya sudah jelas pasangan calon yang ada pada Agustus 2024.
Nah, jika mengacu Agustus 2024 sudah ada pasangan calon, usulan pemungutan suara yang makin mendekati Agustus bisa disimpulkan akan menyulitkan untuk memenuhi kebutuhan akan kepastian kursi partai politik.
Sebab, perlu alokasi waktu bagi proses sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Artinya, semakin ada alokasi waktu bagi proses pemungutan suara dan sengketa pemilu dengan jarak pengajuan pasangan calon oleh partai politik di pilkada, akan semakin baik pemungutan suara dilakukan lebih di awal tahun 2024 dibandingkan dengan di pertengahan.
Memadukan antara kepentingan tahapan pemilu dan tuntutan tahapan pilkada adalah sebuah keniscayaan. Kuncinya tetap pada rumus awalnya, yakni bagaimana memulai tahapan pemilu lebih awal guna lebih mematangkan persiapan pemilu itu sendiri. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Problematika Pemilu Serentak 2024