Pakar hukum JE Sahetapy yang tutup usia hari ini mewariskan setumpuk pemikiran yang kini hidup di sejumlah lembaga negara. Salah satunya, KPK. Ia gigih memperjuangkan agar KPK tetap kuat di tengah berbagai ancaman.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Pakar hukum yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Jacob Elfinus Sahetapy berpulang pada Selasa (21/9/2021) pagi. Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Iman Prihandono ketika dihubungi, Selasa (21/9/2021), membenarkan kabar duka tersebut.
”Beliau meninggal karena usia tua. Pemakaman mungkin dilaksanakan besok dan mungkin akan dilepas di kampus dulu,” kata Iman. Terkait pemakaman, pihak kampus masih terus berkomunikasi dengan pihak keluarga JE Sahetapy.
JE Sahetapy lahir pada 6 Juni 1932 dan meninggal di usia 89 tahun. Selain berkiprah sebagai akademisi, Sahetapy juga pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Hukum Nasional.
Dua dasawarsa yang lalu, Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur membentuk Komisi Hukum Nasional pada 18 Februari 2000. Lembaga nonstruktural negara ini mendapatkan tugas mendesain reformasi hukum pasca-Orde Baru.
Enam ahli hukum ditunjuk Gus Dur untuk mengisi Komisi Hukum Nasional. Pakar hukum JE Sahetapy menjadi ketua, Mardjono Reksodiputro sebagai sekretaris, dan Frans Hendra Winarta, Mohammad Fajrul Falaakh, Harkristuti Harkrisnowo, serta Suhadibroto menjadi anggota.
Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Hukum Nasional mengkaji atau meneliti hal-hal terkait reformasi hukum. Beberapa rekomendasi Komisi Hukum Nasional menjadi cikal bakal lahirnya pengadilan tindak pidana korupsi dan Komisi Yudisial, pemisahan kepolisian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), serta tetap dipertahankannya kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyadap sambungan komunikasi (Kompas, 18/2014).
Setelah berusia kurang lebih 14 tahun, lembaga tersebut akhirnya dibubarkan Presiden Joko Widodo. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 176 Tahun 2014 tanggal 4 Desember 2014, KHN menjadi satu dari sepuluh lembaga nonstruktural yang dibubarkan Presiden Joko Widodo. Tugas dan fungsi KHN diserahkan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pemikiran soal KPK
JE Sahetapy juga pernah terjun ke dunia politik. Ia menjadi bagian dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan menjadi anggota DPR dari Fraksi PDI-P pada periode 1999-2004. Sebagai akademisi, JE Sahetapy juga menyumbangkan pemikirannya ke publik melalui tulisan, termasuk di harian Kompas. Terakhir, Sahetapy menulis opini berjudul ”Raison D’être KPK” yang terbit pada Rabu, 31 Agustus 2016.
Dalam opininya tersebut, Sahetapy menyoroti tidak kunjung surutnya perilaku koruptif di Indonesia dan proses terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Sahetapy, perkembangan zaman dan teknologi digital mengharuskan KPK bukan lagi ad hoc, melainkan harus dimasukkan dalam konstitusi atau UUD 1945 sebagai suatu conditio sine qua non (tindakan, kondisi, atau unsur yang sangat diperlukan dan penting).
Demikian pula mengenai mekanisme penyadapan oleh KPK, Sahetapy menegaskan bahwa mekanisme penyadapan harus dimiliki KPK.
”Para akademisi dan entah politikus di Senayan berpendirian agar mekanisme penyadapan dicabut. Pendirian ini sudah saya bantah semasih jadi Ketua Komisi Hukum Nasional RI. Penyadapan adalah conditio sine qua non untuk KPK. Tanpa itu, KPK akan lumpuh,” tulis Sahetapy.
Menurut pengajar Fakultas Hukum Unair, Herlambang P Wiratraman, berpulangnya JE Sahetapy merupakan kehilangan besar bagi negara ini, khususnya di bidang hukum. Sebab, JE Sahetapy merupakan sosok yang berani menerjang dan melawan ketidakadilan di negeri ini.
”Bicara lantang, kerap tanpa tedeng aling-aling mengkritik penguasa, kebijakan pidana, dan bahkan praktik koruptif. Bahasa yang digunakan pun begitu mudah dicerna publik, sekalipun kerap menyematkan dengan bahasa asing,” tutur Herlambang.
Hingga akhir hayatnya, lanjut Herlambang, JE Sahetapy tetap konsisten dengan kritik yang tajam dan lugas. Kritik itu tampak terutama ketika dia melihat ketidakadilan yang ditampilkan penguasa.