Ilmuwan dan Penjaga Nurani Hukum-Politik, JE Sahetapy, Berpulang
Dunia ilmu hukum Indonesia kehilangan sosok berintegritas tinggi dengan kepergian Jacob Elfinus Sahetapy, guru besar emeritus di Universitas Airlangga dan Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Oleh
AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Jacob Elfinus Sahetapy, Guru Besar Emeritus Ilmu Hukum Universitas Airlangga, berpulang di Rumah Sakit Katolik Vincentius A Paulo (RKZ), Surabaya, Jawa Timur, Selasa (21/9/2021) pukul 06.57.
Kepergian JE Sahetapy dalam usia 89 tahun ini menjadi kehilangan besar bagi dunia ilmu hukum, khususnya pidana, di Indonesia. Lelaki kelahiran Saparua, Maluku, 6 Juni 1932, ini amat dikenal sebagai sosok ilmuwan, pendidik, pejuang kemanusiaan, pembaru ilmu hukum, dan organisatoris andal.
Informasi Prof Sahetapy berpulang dibenarkan oleh sang putri, Elfina Lebrine Sahetapy. Menurut Elfina, ayahanda berpulang dalam perawatan di RKZ. Dari RKZ, jenazah akan disemayamkan di Grand Heaven, Sidoarjo. Pukul 17.00 direncanakan diadakan kebaktian.
”Semoga diampuni segala dosa, diterima amal ibadahnya, dan diberi tempat terbaik di rumah Bapa di surga,” ujar Elfina melalui pesan WA.
Dalam keterangan tertulis, Rektor Universitas Kristen Petra, Djwantoro Harjito, menyatakan, sivitas kampus berduka dan merasa kehilangan amat besar. Jelang ulang tahun ke-60, UK Petra kehilangan sosok yang pernah membesarkan dan memimpin kampus tersebut.
”Sangat kehilangan sosok yang berkontribusi besar dalam perjalanan UK Petra hingga saat ini,” ujar Djwantoro.
Prof Sahetapy mulai terlibat di UK Petra sejak 1963 dengan merintis pendirian Yayasan Perguruan Tinggi Kristen (YPTK) Petra yang terpisah dari Perhimpunan Pendidikan dan Pengajaran Kristen Petra. Pemisahan itu bertujuan agar penyelenggaraan dan tata kelola pendidikan tinggi lebih baik. Almarhum adalah penulis syair ”Himne UK Petra”.
Prof Sahetapy, bapak dari tiga anak ini, adalah anggota pengurus YPTK Petra 1968-1970 dan 1979-1984. Jabatan Ketua Pengurus YPTK Petra diemban pada kurun 1986-2018. Prof Sahetapy adalah Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan UK Petra 1962-1966, Rektor UK Petra 1966-1969, dan Pembantu Khusus Rektor UK Petra 1969-1986.
”Terima kasih Prof Sahetapy telah setia mengawal proses perkembangan UK Petra sehingga menghasilkan lulusan berkualitas dan menjadi terang bagi masyarakat,” kata Djwantoro.
Almarhum adalah sosok yang tanpa tedeng aling-aling alias pengkritik yang tegas dan tanpa kompromi. Kehidupannya tetap sederhana dan bersahaja meski banyak orang menganggapnya sosok yang hebat.
Ketika Prof Sahetapy mengangkat tentang mafia hukum, keterpurukan hukum di bawah politik, itu bukan mengada-ada, melainkan kritik yang tajam, tegas, tanpa komproni, karena memang benar terjadi.
Salah satu anak didiknya, Herlambang Wiratraman, peneliti senior Center of Human Rights Law Studies Universitas Airlangga, menyatakan, Prof Sahetapy merupakan pendidik yang berintegritas, selalu aktual, mudah dipahami, dan piawai berbahasa Belanda. ”Saya pernah mendampingi Prof Sahetapy sebagai tim peneliti KHN 2010-2012 sebelum lembaga ini dibubarkan,” katanya.
Pembaruan hukum
Sebelum dan sesudah di Komisi Hukum Nasional, Prof Sahetapy, lanjut Herlambang, terus mengawal agenda-agenda pembaruan hukum nasional. Bisa dimengerti mengapa Prof Sahetapy juga terjun ke dunia politik untuk mengawal pembaruan hukum dapat diwujudkan sekaligus berperan mengawasi pemerintahan. Prof Sahetapy pernah menjadi anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Prof Sahetapy lugas saat mengutarakan segala hal, terutama ketika melihat permasalahan hukum di Indonesia. Herlambang mengingat, Prof Sahetapy amat berani mengkritik keras perilaku pejabat negara, menteri, Kepala Polri, bahkan Presiden. ”Ketika Prof Sahetapy mengangkat tentang mafia hukum, keterpurukan hukum di bawah politik, itu bukan mengada-ada, melainkan kritik yang tajam, tegas, tanpa komproni, karena memang benar terjadi,” ujar Herlambang.
Secara terpisah, anggota DPRD Jatim, Daniel M Roni, mengatakan, Prof Sahetapy adalah senior dan kebanggaan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Almarhum telah paripurna karena memenuhi Tripanji GMKI, yakni tinggi iman, ilmu, dan pengabdian.
Dalam konteks keimanan, Prof Sahetapy pernah menjadi anggota MP Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Dalam keilmuan, almarhum turut berperan menjadikan UK Petra sebagai salah satu kampus swasta terkemuka di Indonesia. Dalam pengabdian, antara lain, Prof Sahetapy membidani kelahiran dan menjadi Ketua Komisi Hukum Nasional (2000-2014). Selain itu, di bidang politik, almarhum adalah anggota Komisi Hukum DPR (1999-2004).
”Almarhum dikenal sebagai salah satu sosok yang memperjuangkan pemisahan organisasi Polri dari TNI dan perubahan syarat Presiden orang Indonesia,” ujar Daniel, politikus PDI-P.
Prof Sahetapy lahir dari pasangan guru, yakni WA Lokollo dan CA Tomasowa. Semasa kecil, Prof Sahetapy menamatkan sekolah dasar di lembaga yang didirikan ibundanya, yakni Particuliere Saparuasche School. Dari ibunda, almarhum belajar nasionalisme dan keberpihakan terhadap masyarakat tertindas.
Sekitar 1947, menjelang lulus dari pendidikan menengah pertama, meletus Republik Maluku Selatan sehingga memaksa Prof Sahetapy pindah ke Surabaya. Di ”Bumi Pahlawan” inilah pendidikan SMA ditamatkannya pada 1954. Sempat tertarik masuk Akademi Dinas Luar Negeri, tetapi ia akhirnya memilih Jurusan Kepidanaan Fakultas Hukum Unair dan tamat pada 1959. Ketika itu, Fakultas Hukum Unair masih merupakan cabang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Surabaya.
Prof Sahetapy piawai berbahasa Belanda sehingga semasa kuliah sudah dipercaya sebagai asisten dosen. Oleh Kampus Unair, Prof Sahetapy diminta melanjutkan studi ke University of Utah dan tamat pada 1962. Dari Unair, Prof Sahetapy menyelesaikan program doktoral ilmu hukum pada 1978. Setahun kemudian atau 1979, Prof Sahetapy menjabat Dekan Fakultas Hukum Unair.
Almarhum dikenal sebagai salah satu sosok yang memperjuangkan pemisahan organisasi Polri dari TNI dan perubahan syarat Presiden orang Indonesia.
Mantan guru besar tamu di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda, dan Universitas Katolik Leuven di Belgia ini terkenal dengan ucapannya bahwa birokrasi negara ibarat rumah sakit gila. Birokrasi dipenuhi penyelenggara yang gila kuasa, pangkat, jabatan, serta korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Mantan Ketua Asosiasi Kriminolog Indonesia ini tidak berlebihan dan mengada-ada. Rentetan peristiwa penangkapan pejabat tinggi negara karena kasus korupsi atau kejahatan lain menjadi bukti bahwa birokrasi belum bersih, apalagi sembuh dari sakit akibat ”kanker ganas”.