Pernyataan Presiden Terkait TWK KPK Abaikan Temuan Ombudsman dan Komnas HAM
Pernyataan Presiden Jokowi terkait alih status pegawai KPK dinilai sebagai pengabaian atas temuan Ombudsman dan Komnas HAM. Presiden seharusnya mengambil alih proses itu sesuai rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo seharusnya mengambil alih proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini karena Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah memiliki kewenangan penuh dalam aspek kebijakan, pembinaan, dan manajemen aparatur sipil negara.
Demikian antara lain mengemuka pada diskusi Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Constitutional Forum bertajuk ”Pertanggungjawaban Presiden dalam Kasus Pegawai KPK” yang digelar secara daring dan ditayangkan langsung kanal Youtube PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas, Minggu (19/9/2021).
”Saya pikir, fokus kita pada surat pemecatan, ya. Bagi saya, sih, ini adalah pemecatan terhadap kawan-kawan 56 pegawai KPK,” kata pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah.
Pada kesempatan tersebut, Herdiansyah menyampaikan bahwa dasar polemik adalah pimpinan KPK telah secara resmi mengeluarkan surat keputusan pemecatan terhadap 56 pegawai KPK yang sebelumnya dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Surat Keputusan Nomor 1354 tahun 2021 itu ditetapkan pada 13 September 2021 dan efektif mulai berlaku pada 30 September 2021.
Herdiansyah menuturkan, hal yang menjadi persoalan adalah pemecatan tersebut mengabaikan temuan Ombudsman dan Komnas HAM bahwa telah terjadi cacat administrasi atau malaadministrasi dan pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan TWK.
Baca Juga: Berhentikan 50 Pegawai, KPK Dinilai Mendahului Sikap Presiden Jokowi
”(Hal) yang menjadi problem kemudian, dalam satu kesempatan, Pak Presiden sendiri, Pak Jokowi, malah memberikan statement yang menurut saya adalah statement (yang) tidak menggambarkan pemahaman Presiden sebagai seorang Presiden an sich yang memegang jabatan tertinggi kekuasaan eksekutif yang seharusnya mengambil alih kendali dalam proses alih status pegawai KPK ini,” tuturnya.
Ia merujuk pada pernyataan Presiden Jokowi saat pertemuan dengan pemimpin redaksi sejumlah media, beberapa waktu lalu, yang menyatakan tak semua persoalan, termasuk problem kepegawaian di KPK, perlu ditarik ke Presiden. Presiden menyatakan menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
Padahal, menurut Herdiansyah, sekalipun Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memutuskan TWK adalah proses yang sah, tidak berarti temuan pelanggaran oleh Ombudsman dan Komnas HAM diabaikan begitu saja. ”Pernyataan Presiden sebenarnya secara politik bisa dimaknai pengabaian terhadap temuan, baik Ombudman maupun Komnas HAM, terkait dengan proses pelaksanaan TWK yang dianggap maladministrasi dan sarat dengan pelanggaran hak asasi para pegawai KPK,” ujarnya.
Secara terpisah, anggota Ombudsman Republik Indonesia, Robert Na Endi Jaweng, menuturkan, pihaknya sudah mengirimkan rekomendasi kepada para pihak terlapor dan atasan dari terlapor, dalam hal ini adalah Presiden Republik Indonesia.
”Sudah diterima oleh Sekretariat Negara dan juga kepada Ketua DPR karena memang perintahnya ke sana,” katanya pada diskusi publik bertajuk ”September Kelabu di KPK: Akhir Nasib Pemberantasan Korupsi” yang ditayangkan melalui kanal Youtube Sahabat ICW, Minggu.
Robert menuturkan, rekomendasi dikirimkan kepada Presiden dan Ketua DPR karena, pertama, memang kerangka kerja Ombudsman mengarahkannya ke sana. ”Jadi, tidak bisa kemudian Bapak Presiden mengatakan atau menyampaikan bahwa ’tidak boleh semuanya ke saya’. Ya, ini bukan kemauan Ombudsman, ini perintah undang-undang. Kami justru salah kalau tidak kemudian bermuara ke Bapak Presiden rekomendasinya,” ujarnya.
Kedua, di luar peran terkait penegakan hukum, KPK secara organisasi atau kelembagaan merupakan rumpun kekuasaan eksekutif. ”Dan, saya kira, tegak lurus komando tertinggi ada pada Presiden. Dan, jangan lupa, bahwa yang paling penting dari sisi substansi kasus ini adalah soal kepegawaian. Dan, pemegang kekuasaan tertinggi dalam pembinaan kepegawaian itu Presiden,” kata Robert.
Baca Juga: Ombudsman RI Meminta Presiden Mengoreksi Keputusan KPK
Adapun PPK (pejabat pembina kepegawaian) yang ada di KPK, kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah (pemda), Robert menuturkan, menerima delegasi kewenangan dari Presiden. Ketika kemudian PPK tidak mengeluarkan kebijakan atau keputusan yang sejalan dengan apa yang menjadi rekomendasi Ombudsman, Presiden sebagai sumber kewenangan yang memberikan delegasi harus melakukan langkah-langkah lebih lanjut.
Robert pun memberikan catatan atas pemberhentian 56 pegawai KPK yang tak lolos TWK. ”Apa yang diputuskan di KPK itu sendiri juga, dalam konstruksi kepegawaian, itu salah. Saya harus katakan seperti itu karena yang punya kewenangan untuk memutuskan; apakah pemindahan, apakah pemberhentian, apakah pengangkatan pegawai yang kemudian berkategori ASN (aparatur sipil negara), itu adalah PPK,” katanya.
PPK di kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian adalah menteri dan kepala lembaga. PPK di tingkat daerah; yakni di level provinsi, kabupaten, dan kota, adalah gubernur, bupati, dan wali kota. ”Tetapi khusus untuk lembaga negara dan lembaga nonstruktural, PPK-nya itu bukan ketua Ombudsman, bukan ketua KPK, bukan ketua Komnas HAM. PPK-nya itu adalah Sekjen (sekretaris jenderal),” ujarnya.
Perspektif Ombudsman dalam melihat kasus ini adalah bahwa ini bukan sekedar soal TWK, bukan juga sekadar soal KPK. Saya kira ini soal simbol harapan publik dan soal Indonesia.
Robert juga menyampaikan bahwa dalam pekerjaannya Ombudsman melihat pula masalah administrasi kepegawaian. ”Tetapi, sejak awal, ini juga penting buat kami, perspektif yang diletakkan oleh Ombudsman dalam melihat kasus ini adalah bahwa ini bukan sekadar soal TWK, bukan juga sekadar soal KPK. Saya kira ini soal simbol harapan publik dan soal Indonesia,” katanya.
Tritunggal masalah publik
Robert menuturkan, di Ombudsman ada tiga problem utama yang selalu ditemukan atau sering disebut tritunggal masalah sektor publik. Pertama, soal malaadministrasi. Kedua, soal inefisiensi yang merupakan soal teknokratik. Dan, ketiga, soal korupsi.
”Sulit sekali dibayangkan bagaimana Indonesia bisa hebat, mencapai visi 2045, ketika kemudian ada pelemahan di sisi institusi. Bagaimana institusi-institusi yang inklusif, seperti KPK ini, kemudian diperlemah begitu rupa dan apa yang ada adalah hadirnya berbagai kekuatan yang sangat ekstraktif, yang mungkin kita kemudian bisa bahasakan sebagai oligarki atau apa pun,” kata Robert.
Menurut Robert, perspektif ini penting untuk dilihat. ”Bahwa kerja-kerja terkait penanganan masalah malaadministrasi itu bukan kerja di ruang hampa. Bukan kerja yang kedap dari perspektif besar terkait masalah-masalah mendasar kita,” katanya.
Baca Juga: Ombudsman RI: Ada Potensi Malaadministrasi
Sebagai lembaga negara, hal yang dikeluarkan Ombudsman berada pada pagar-pagar atau koridor yang menjadi kewenangan, tugas, dan fungsi. ”Kenapa saya sampaikan ini? (Hal ini) karena dalam proses yang saya alami, selama kurang lebih dua bulan ini, saya terus terang tidak terlalu bermasalah di sisi substansi sebenarnya,” ujarnya.
Menurut Robert, hal yang menjadi masalah adalah berhadapan dengan para pihak yang memang sedikit banyak juga membuat dirinya menyadari bahwa isu TWK ini bukan sekadar isu kepegawaian, tetapi isu yang sangat besar.
”Bagaimana kemudian para pihak berupaya untuk, dari yang paling sederhana, melakukan pendekatan sampai kepada sesuatu yang agak bersifat tekanan dan sebagainya, begitu ya. (Hal) yang membuat kemudian memang ini menjadi sangat tinggi profile politiknya. Dan kita semua bisa tahu yang melakukan itu juga adalah orang-orang sekitar kita juga yang kita semua bisa petakan secara sangat jelas,” katanya.
Robert menuturkan isu TWK bukan sekadar soal administrasi kepegawaian. ”(Hal) ini adalah isu yang sangat penting, yang perlu dilihat, dalam konteks masa depan negeri ini terkait dengan praktik-praktik ekonomi politik ataupun juga agenda-agenda perbaikan tata kelola,” ujarnya.
Isu TWK bukan sekadar soal administrasi kepegawaian. Ini adalah isu yang sangat penting, yang perlu dilihat, dalam konteks masa depan negeri ini terkait dengan praktik-praktik ekonomi politik ataupun juga agenda-agenda perbaikan tata kelola.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menuturkan bahwa semua yang belajar hukum pasti tahu bahwa hal yang disidangkan di peradilan konstitusi bukan fakta, melainkan norma. ”(Hal) yang disidangkan itu adalah soal bagaimana cara pandang hakim konstitusi terhadap sebuah ketentuan, norma,” katanya.
Apabila putusan MK dibaca baik-baik, Zainal mengatakan, MK itu sederhananya mengatakan bahwa penyelenggaraan TWK itu konstitusional. ”Tetapi, tidak berarti MK secara langsung membenarkan bagaimana proses yang terjadi ketika melaksanakan sesuatu yang konstitusional itu. Itu, kan, dua hal yang berbeda,” ujarnya.
MK itu sederhananya mengatakan bahwa penyelenggaraan TWK itu konstitusional, tetapi tidak berarti MK secara langsung membenarkan proses yang terjadi ketika melaksanakan sesuatu yang konstitusional itu. Itu dua hal yang berbeda.
Zainal mengatakan bahwa hal yang dibenarkan oleh MK adalah kegiatannya. Kegiatan melakukan TWK itu konstitusional. ”Kewenangan bahwa KPK bolehkah melakukan (TWK)? Ya, boleh. Namun, bahwa dalam melaksanakan kewenangan itu dilakukan secara keliru dan tidak benar, nah, itu temuan berbeda. Itu yang dilakukan temuannya oleh Ombudsman dan Komnas HAM,” katanya.