Hipotesis awal dari riset CSIS terkait otonomi daerah menemukan bahwa keberhasilan otonomi daerah dipengaruhi faktor kepemimpinan kepala daerah, kelembagaan politik, dan stabilitas politik lokal.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Semakin ketat kompetisi politik di tingkat lokal, semakin besar pula peluang untuk mendapatkan kepala daerah yang kompeten. Selain itu, dibutuhkan oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat sipil yang kuat untuk memastikan keberhasilan otonomi daerah.
Hal itu mengemuka dalam diskusi hasil riset awal Centre for Strategic and International Studies (CSIS) terkait ”Pencapaian dan Tantangan Otonomi Daerah: Faktor Kepemimpinan, Kelembagaan, dan Stabilitas Politik Lokal”, Senin (13/9/2021). CSIS mengkaji pelaksanaan otonomi daerah di lima wilayah, yaitu Serang, Palembang, Yogyakarta, Denpasar, dan Semarang.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes mengatakan, riset ini merupakan awal dari pembuatan Indeks Otonomi Daerah. Pada tahun pertama, peneliti melakukan kajian literatur dan mengumpulkan data lapangan. Kemudian, hal itu akan dilanjutkan dengan pengembangan dimensi, variabel, dan indikator untuk Indeks Otonomi Daerah.
Hipotesis awal dari riset itu adalah keberhasilan otonomi daerah dipengaruhi oleh setidaknya tiga faktor, yaitu kepemimpinan kepala daerah, kelembagaan politik, dan stabilitas politik di tingkat lokal. ”Dari ketiga dimensi tersebut, kami melihat bahwa semakin ketat kompetisi politik di tingkat lokal, semakin kompetitif juga kepala daerahnya. Bagaimana hubungan kepala daerah dengan wakilnya juga ikut menentukan efektivitas kepemimpinan. Selain itu, dibutuhkan peran oposisi DPRD dan masyarakat sipil yang kuat,” kata Arya.
Selain oleh Arya, riset juga dipaparkan oleh peneliti CSIS, Edbert Gani. Adapun, penanggap diskusi tersebut adalah Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, dan dosen FISIP Universitas Andalas Asrinaldi.
Erbert Gani menambahkan, selama 20 tahun otonomi daerah, terbukti sudah banyak kepala daerah inovatif yang dihasilkan. Inovasi itu tidak hanya menghasilkan kebijakan daerah yang populis, tetapi juga bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Namun, sayangnya, inovasi ini juga masih sangat bergantung pada sumber pendanaan dari pemerintah pusat. Keterbatasan dana selalu menjadi alasan mengapa daerah tidak bisa berinovasi. Padahal sebenarnya, pola pikir itu bisa diubah, misalnya dengan mencontoh program dan capaian di daerah lain. Di sini, faktor pengalaman dari kepala daerah itu menjadi penentu untuk menciptakan inovasi pelayanan publik.
”Faktor kepemimpinan daerah ini menjadi kunci. Ketika kepala daerahnya berinisiatif melakukan inovasi, maka akan muncul kebaruan dalam pelayanan publik di daerah,” kata Erbert.
Selain itu, kepemimpinan di daerah juga masih terkendala sejumlah hal. Misalnya, soal logika politik dan logika teknokratis. Terkadang, program inovatif dari kepala daerah berbenturan dengan logika parpol. Kepentingan parpol di pusat terkadang berbenturan dengan agenda pembangunan daerah.
Ganjalan lain adalah rivalitas kepala daerah dan wakil kepala daerah. Terkadang, karena ”dijodohkan” secara paksa, hubungan harmonis mereka hanya terjadi sesaat. Mereka kemudian bermusuhan yang dapat mengganggu kepentingan daerah. Hubungan tak sehat ini juga bisa menyebabkan polarisasi di level birokrasi.
Akmal Malik mengatakan, rekrutmen politik bisa mendukung pemerintahan daerah yang memiliki legitimasi kuat. Syaratnya, pemimpin harus memiliki kekuasaan serta pengikut yang loyal. Dengan demikian, diharapkan dia tidak hanya mengejar kekuatan politik, tetapi juga memunculkan program-program inovatif di daerah.
”Pemimpin harus menyadari bahwa dia sudah mendapatkan kepercayaan publik melalui pemilihan kepala daerah. Sehingga dia juga harus bekerja untuk melayani publik dengan optimal,” katanya.
Terkait dengan persoalan hubungan kepada daerah dan wakilnya yang tidak harmonis, Akmal menyebut bahwa persoalannya biasanya dipicu oleh dua perkara utama, yaitu kewenangan dan keuangan. Ini harus diatasi dengan komunikasi dan pembagian kewenangan yang baik di antara keduanya. Kepala daerah harus mampu membagi kewenangan dengan wakilnya.
Penguatan kapasitas
Adapun, menurut Bima Arya, terkadang kepala daerah terpilih terjebak pada orientasi jangka pendek sehingga memilih kebijakan yang populis. Oleh karena itu, kepala daerah seharusnya mendapatkan penguatan kapasitas sejak tahap pencalonan. Sehingga, saat dia terpilih sudah dibekali dengan program-program inovatif bagi kepentingan publik.
”Otonomi daerah sudah terbukti banyak menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Sehingga jika ada permasalahan di dalamnya, terapinya bukan resentralisasi,” kata Bima.
Bima juga menjelaskan bahwa untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, modal yang harus dikeluarkan oleh kepala daerah tidak sedikit. Sudah bukan rahasia, ada mahar agar seseorang bisa dipilih untuk maju dalam pilkada oleh parpol. Inilah yang terkadang menyandera kepala daerah setelah terpilih terhadap kepentingan para broker-broker politik seperti pengusaha lokal.
Menurut dia, masih banyak yang harus dibenahi dari level parpol yang menjadi aktor utama penentu calon-calon kepala daerah. Harus ada mekanisme agar calon yang muncul bebas dari utang dan beban lainnya. Sehingga dia memiliki semangat untuk bisa memajukan daerahnya.
”Semoga riset ini bisa memotret semuanya sehingga bisa menjadi peta jalan dan pembenahan pemilihan kepala daerah dan otonomi daerah yang sudah berjalan selama 20 tahun terakhir,” kata Bima.