Persoalan Kronis Otonomi Daerah
Kemampuan daerah pemekaran menghasilkan pendapatan asli daerah masih rendah. Sementara ketergantungan terhadap dana dari pusat masih tinggi. Dalam kondisi tersebut, korupsi marak terjadi.
Setelah dua dekade otonomi daerah berjalan, kemampuan ekonomi daerah baru hasil pemekaran untuk membiayai sendiri pembangunan di daerahnya masih terbatas. Kemampuan menghasilkan pendapatan asli daerah masih rendah. Sementara ketergantungan terhadap dana dari pusat masih tinggi. Dalam kondisi tersebut, korupsi marak terjadi.
Seiring dengan pelimpahan kewenangan kekuasaan ke daerah, pemerintah pusat juga melakukan perbantuan keuangan bagi pemerintah daerah otonom baru atau DOB melalui transfer dana ke daerah.
Pemerintah pusat ingin DOB yang terbentuk tidak mengalami ketertinggalan setelah berpisah dari kabupaten induknya. Meskipun, semangat awal pemekaran dilandasi oleh pertimbangan daerah memiliki kemampuan ekonomi yang dapat diandalkan untuk berdiri sendiri.
Baca juga : Seperempat Abad Otonomi Daerah, Pemda Masih Bergantung pada Keuangan Pusat
Jumlah dana yang ditransfer ke daerah sejak tahun 2000 hingga tahun ini tumbuh rata-rata 13 persen per tahun. Jika pada tahun 2000 jumlah transfer ke daerah sebesar Rp 33,1 triliun, tahun 2021 jumlahnya menjadi Rp 795,5 triliun.
Angka ini sudah termasuk Dana Desa yang pengalokasiannya dimulai sejak 2015. Di dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), anggaran Dana Desa masuk dalam pos anggaran transfer ke daerah dan Dana Desa (TKDD).
Jumlah total TKDD saat ini mengambil porsi hingga sepertiga dari belanja APBN. Tujuan dikucurkannya TKDD ini antara lain untuk mengurangi ketimpangan pendanaan pembangunan di daerah dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, terutama yang di perdesaan.
Sayangnya, hingga dua dekade berlalu, daerah yang terbentuk dari hasil pemekaran belum menunjukkan kemajuan ekonomi dan kemandirian fiskal yang diharapkan.
Dari analisis Litbang Kompas, DOB yang sudah cukup baik kemampuan keuangan daerahnya dilihat dari indikator pendapatan asli daerah (PAD) dengan kategori tinggi baru sebanyak 2 kota, yaitu Kota Batam (Kepulauan Riau) dan Kota Tangerang Selatan (Banten).
Kedua kota ini menghasilkan PAD yang mencapai 40 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tahun 2019, porsi PAD Kota Batam dibandingkan dengan APBD-nya adalah sebesar 44,7 persen.
Sementara itu di Kota Tangerang Selatan, porsi PAD-nya mencapai 46,5 persen dari total APBD tahun yang sama. Secara nominal, PAD Kota Batam tahun 2019 adalah Rp 1,147 triliun. Sedangkan PAD Kota Tangerang Selatan sebesar Rp 1,817 triliun.
Mayoritas kabupaten/kota DOB memiliki kemampuan menghasilkan PAD yang rendah, yaitu kurang dari 10 persen dari total APBD. Jumlahnya mencapai 186 kabupaten/kota atau 86 persen. Selebihnya, sebanyak 28 kabupaten/kota DOB masuk dalam kemampuan menghasilkan PAD kategori sedang, yaitu antara 10 persen hingga 40 persen.
Ketergantungan DAU
Di sisi lain, ketergantungan daerah hasil pemekaran terhadap dana dari pusat terutama Dana Alokasi Umum (DAU) masih tinggi, yang porsinya mencapai lebih dari 40 persen dari total APBD. Jumlahnya mencapai 169 kabupaten/kota atau 78 persen. Sebanyak 90 kabupaten/kota DOB bahkan tergantungannya sangat tinggi, mencapai 50 persen hingga lebih dari 70 persen.
Sebanyak 40 kabupaten/kota masuk dalam kategori ketergantungan DAU sedang, yaitu antara 20-40 persen. Adapun daerah yang ketergantungannya rendah terhadap DAU, dengan porsi kurang dari 20 persen dari APBD-nya adalah sebanyak 7 daerah.
Sayangnya, hingga dua dekade berlalu, daerah yang terbentuk dari hasil pemekaran belum menunjukkan kemajuan ekonomi dan kemandirian fiskal yang diharapkan.
Ketujuh daerah tersebut adalah Kabupaten Siak (Riau), Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (Sumatera Selatan), Kabupaten Kutai Timur, Penajam Paser Utara, dan Kota Bontang (ketiganya di Kalimantan Timur), Kabupaten Teluk Bintuni (Papua Barat), serta Kota Tangerang Selatan (Banten).
Daerah-daerah seperti ini umumnya memiliki sumber daya alam atau komoditas yang berlimpah di sektor kehutanan serta batubara, minyak, dan gas bumi, sehingga mendapat bagian Dana Bagi Hasil (DBH) sumber daya alam yang lebih besar dibandingkan DAU.
Dari mendapat bagian DBH sumber daya alam tersebut, porsi total dana perimbangan yang diterima daerah-daerah ini cukup besar yang mencapai kisaran 57-70 persen. Kecuali Kota Tangerang Selatan yang tidak memiliki sumber daya alam, sehingga porsi dana perimbangannya hanya 23 persen.
Meski demikian, Kota Tangerang Selatan merupakan satu-satunya DOB yang memiliki kemampuan fiskal yang baik, dalam artian PAD-nya tinggi dan ketergantungannya terhadap DAU tergolong rendah. Porsi DAU Kota Tangerang Selatan dibandingkan APBD-nya hanya sebesar 15,6 persen.
Kota Batam yang juga masuk kategori tinggi dalam kemampuan PAD, ketergantungannya terhadap DAU termasuk kategori sedang, dengan persentase 25,7 persen.
Adapun Kota Bontang menjadi DOB dengan ketergantungan terhadap DAU yang paling kecil, yaitu sebesar 13,4 persen. Namun, kemampuan PAD-nya masuk dalam kategori sedang, yaitu 12,6 persen. Kondisi agak mirip dialami Kabupaten Siak, dengan DAU 13,8 persen, namun PAD hanya 10,5 persen.
Korupsi Marak
Dengan kondisi yang buruk ini di mana 86 persen kabupaten/kota DOB kemampuan PAD-nya kecil dan 78 persen sangat bergantung pada DAU, situasi daerah pemekaran makin didera yang diakibatkan oleh korupsi kepala daerahnya. Di 70 kabupaten/kota DOB, ditemukan 78 bupati/walikota yang ditangkap KPK karena kasus korupsi dalam rentang 2004 hingga April 2021.
Meski demikian, di daerah yang ketergantungannya terhadap DAU rendah, bukan berarti pula bebas dari korupsi yang melibatkan kepala daerah. Dari 7 kabupaten/kota DOB yang ketergantungan DAU-nya rendah, 5 di antaranya memiliki catatan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Kelima daerah tersebut adalah Kabupaten Siak, Penukal Abab Lematang Ilir, Kutai Timur, Penajam Paser Utara, dan Kota Bontang. Daerah-daerah ini memiliki APBD cukup besar yang bersumber dari DBH, baik DBH pajak maupun DBH sumber daya alam.
Otonomi daerah ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, otonomi daerah membuka peluang kesejahteraan, pelayanan publik, dan kualitas hidup yang lebih baik.
Baca juga : Moratorium Pemekaran Daerah Dikawal
Tetapi, di sisi lain juga membuka peluang bagi segelintir orang, terutama penguasa, untuk memperkaya diri dengan menyalahgunakan wewenang yang dimiliki. Termasuk juga untuk melanggengkan kekuasaan sehingga muncul raja-raja kecil atau dinasti-dinasti politik.
Moratorium pemekaran wilayah yang saat ini sudah berjalan enam tahun lebih, di satu sisi bisa meredam antusiasme pembentukan daerah baru yang bisa menambah beban keuangan negara.
Namun, di sisi lain tidak membuat korupsi oleh penguasa mereda. Hal ini terlihat dari frekuensi kepala daerah hasil pemekaran yang ditangkap KPK sama banyaknya, baik sebelum maupun sesudah moratorium pemekaran diberlakukan.
Sebelum moratorium terdapat sebanyak 48 kasus selama periode 2004-2014 (sebelas tahun). Sementara pada periode 2015-2021 (6 tahun) terjadi sebanyak 30 kasus.
Hanya soal waktu keran pemekaran wilayah dibuka lagi. Sejumlah daerah saat ini sudah mengantri untuk dimekarkan. Pemerintah masih memiliki ketegasan untuk menahan laju pertambahan DOB. Jika keran pemekaran dibuka lagi, diperlukan aturan baru untuk persyaratan pembentukan DOB yang lebih ketat.
Sampai aturan baru ditetapkan, kemungkinan untuk menggabungkan kembali daerah yang gagal berkembang ke daerah induk perlu dipertimbangkan. Tidak lagi sekadar wacana.
Hal ini karena sudah diindikasikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Namun demikian, perlu kehati-hatian dalam melakukan penggabungan wilayah agar tidak menimbulkan masalah baru. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Korupsi Subur di Daerah Pemekaran