Seperempat Abad Otonomi Daerah, Pemda Masih Bergantung pada Keuangan Pusat
Kepala daerah harus dapat berinovasi dan berkreasi dalam mengelola dan menggali sumber daya di daerahnya, terutama untuk meningkatkan pendaptan asli daerah mereka. Ini penting untuk mewujudkan kemandirian fiskal.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan seperempat abad otonomi daerah di Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah yang harus dipikirkan solusinya oleh pemerintah daerah. Salah satunya, daerah masih bergantung pada keuangan pusat.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dalam peringatan 25 tahun Otonomi Daerah yang diselenggarakan secara daring, Senin (26/4/2021), mengatakan, sesungguhnya, salah satu harapan penerapan otonomi daerah adalah daerah bisa mandiri secara fiskal. Namun, nyatanya, setelah 25 tahun berjalan, masih banyak daerah yang sangat tergantung dari transfer pusat.
”Banyak daerah belum mampu mengembangkan pendapat asli daerahnya dan ditambah lagi kebocoran-kebocoran karena malapraktik sehingga pembangunan berjalan lambat,” ujar Tito.
Hadir dalam peringatan 25 tahun Otonomi Daerah, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dan seluruh kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten/kota, DPRD, serta Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).
Berdasarkan data Kemendagri terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi seluruh Indonesia tahun anggaran 2021, terdapat sejumlah daerah yang pendapatan asli daerahnya di bawah 30 persen, misalnya Papua Barat (6,15 persen), Papua (11,96 persen), Maluku (16,03 persen), Aceh (16,93 persen), Sulawesi Barat (18,87 persen), Maluku Utara (19,79 persen), Gorontalo (21,16 persen), Sulawesi Tengah (26,59 persen), Bangka Belitung (29,18 persen), dan Sulawesi Tenggara (27,82 persen).
Ke depan, kepala daerah harus dapat berinovasi dan berkreasi dalam mengelola dan menggali sumber daya di daerahnya, terutama untuk meningkatkan pendaptan asli daerah mereka.
Tito berharap, ke depan, kepala daerah harus dapat berinovasi dan berkreasi dalam mengelola dan menggali sumber daya di daerahnya, terutama untuk meningkatkan pendaptan asli daerah (PAD) mereka. Dengan begitu, daerah dapat lebih mandiri secara fiskal.
”Ini membutuhkan kemampuan khusus, seni entrepreneurship, kewirausahaan. Semua kepala daerah kami harapkan tidak hanya memiliki kemampuan pemerintahan, tetapi juga memiliki kemampuan kewirausahaan, berpikir secara business untuk konteks mendapatkan pendapatan yang lebih, dibandingkan belanja untuk daerahnya,” ujar Tito.
Namun, Tito melihat, ada banyak daerah pula yang mampu mencatat kesuksesan. Itu terlihat dari kapasitas fiskal yang cukup baik, bahkan PAD mereka melebihi dana transfer pusat. Daerah-daerah tersebut, misalnya, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
”PAD mereka lebih tinggi dari transfer pusat. Jadi, gejolak yang terjadi di pusat tidak banyak pengaruh pada daerah tersebut,” tutut Tito.
Efek negatif pilkada
Selain itu, Tito juga menyoroti soal pergelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) yang lahir akibat penerapan otonomi daerah. Sebenarnya, ada sisi baik dari pilkada ini di mana rakyat dapat memilih langsung kepala daerahnya. Dengan sistem ini, kepala daerah yang terpilih memiliki legitimasi yang sangat kuat.
”Pilkada ini juga menimbulkan fenomena baru, melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang cemerlang, yang tadinya tersembunyi yang mungkin tidak bisa dicapai dengan sistem sentralisasi,” ujar Tito.
Namun, kata Tito, ada beberapa hal yang menjadi catatan dan perlu diperbaiki dengan penerapan pilkada. Pilkada melahirkan politik biaya tinggi. Biaya yang tinggi tersebut mungkin tidak seimbang dengan pendapatan yang legal dari kepala daerah sehingga melahirkan akar masalah tindak pidana korupsi oleh kepala daerah.
Kedua, pilkada juga melahirkan potensi konflik dan keterbelahan masyarakat. Pilkada, menurut Tito, adalah pembelahan masyarakat yang dilegalisir.
”Kita harus berpikir dan berusaha agar mengurangi efek-efek negatif pilkada. Bagaimana membangun format agar biaya politik menjadi tidak tinggi, bagaimana mengelola potensi konflik agar tidak menjadi konflik yang saling menghancurkan,” ujar Tito.
Daerah otonom baru
Tito juga menyampaikan bahwa ada sisi minus yang lain dari penerapan otonomi daerah, yakni terjadinya euforia pembentukan daerah otonom baru (DOB). Pembentukan DOB sebenarnya ada baiknya, yakni untuk mempercepat pembangunan, mempermudah pelayanan publik, dan memotong birokrasi.
Namun, di sisi lain, terkadang ada daerah yang latah untuk membuat DOB. Padahal, pembentukan DOB ini akan memerlukan biaya yang sangat tinggi sehingga pemda harus memperhitungkan kemandirian fiskal mereka. Pembentukan DOB, misalnya, pasti akan memerlukan biaya untuk membentuk pemerintahan baru, membentuk infrastruktur, dan melakukan rekrutmen sumber daya manusia.
”Ini semua perlu diperhitungkan,” ujarnya.
Atas segala persoalan itu, Tito mengungkapkan, desain besar otonomi daerah perlu dipikirkan. Ia menyebut, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri kini tengah menyusun Desain Besar Penataan Daerah (Desartada).
”Ini agar daerah otonom baru, pembangunan daerah otonom baru tidak latah tetapi betul-betul karena kepentingan dan keperluan yang betul-betul sangat rasional,” ujarnya.
Kebijakan perlu diperbaiki
Secara terpisah, Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan berpandangan, ke depan kebijakan otonomi daerah perlu diperbaiki. Pertama, transfer urusan pemerintahan dari pusat ke daerah janganlah bersifat simetrik, tetapi disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah otonom masing-masing atau asimetrik.
Kedua, untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pusat, kata Djohermansyah, sekiranya tetap diperlukan perangkat dekonsentrasi. Ketiga, untuk mengefektifkan fungsi pembimbingan dan pengawasan (binwas) pusat, gubernur sebaiknya tidak lagi merangkap sebagai wakil pemerintah pusat.
”Gubernur menjadi kepala daerah otonom saja sebagaimana halnya dengan bupati dan wali kota,” tutur Djohermansyah.
Selanjutnya, untuk melaksanakan kewenangan binwas desentralisasi di tingkat provinsi/kabupaten/kota, menurut Djohermansyah, dibutuhkan koordinasi sesama aparat dekonsentrasi dan juga koordinasi dengan aparat desentralisasi. Selain itu, perlu juga dibentuk kepala pemerintahan wilayah (perfek) di setiap pulau besar, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Papua, yang diangkat oleh Presiden dari orang-orang yang berpengalaman di dunia pemerintahan.
”Dengan koreksi kebijakan otonomi daerah seperti itu, saya yakin 25 tahun ke depan, insya Allah otonomi daerah bisa sehat dan defisiensi pemerintahan lenyap,” kata Djohermansyah.