Seni Komunikasi Memfasilitasi Daerah
Sentralisasi yang begitu kuat di era Orde Baru membuat daerah cenderung tak berkembang. Desentralisasi lantas dipilih agar daerah bisa mandiri dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Namun, jalan itu tak selalu mulus.
Pemerintah menetapkan 25 April sebagai Hari Otonomi Daerah, merujuk pada tanggal pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1995, yaitu pemerintah pusat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada 26 daerah tingkat II percontohan. Kebijakan ini dijadikan tonggak dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Kemudian, pada 7 Februari 1996, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1996 yang menetapkan 25 April sebagai Hari Otonomi Daerah. Di era Reformasi, muncul pengesahan UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan penerapan otonomi daerah pada 1 Januari 2001.
Otonomi daerah diikuti dengan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Meski begitu, acap kali keduanya tak sejalan. Pada 1 Maret 2021, untuk kali pertama dalam sejarah birokrasi di Indonesia, satu daerah memiliki dua orang dengan jabatan sekretaris daerah. Wakil Gubernur Papua melantik Penjabat Sekda Papua Doren Wakerkwa, sedangkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melantik Dance Yulian Flassy sebagai sekda definitif Papua.
Persoalan dualisme sekda ini muncul karena keduanya memiliki keyakinan berbeda. Wagub Papua mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua sehingga pelantikan merupakan kewenangan daerah. Adapun Mendagri harus menjalankan Keputusan Presiden Joko Widodo yang memilih Dance.
Berselang dua hari, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik terjun langsung ke Jayapura. Ia sadar persoalan ini tak bisa diselesaikan dengan surat-menyurat, bahkan pemberian sanksi kepada aparatur sipil negara (ASN) yang tidak patuh pada kebijakan Presiden sebagai panglima tertinggi ASN.
Tiba di Jayapura, Akmal mulai bergerilya. Sesuai arahan Mendagri, ia mendatangi pihak-pihak yang berpengaruh kepada Doren, seperti tokoh-tokoh agama dan sejumlah bupati di Papua. Semua diajak berdiskusi untuk menyamakan persepsi terlebih dahulu dan membantu mengomunikasikannya ke Doren. Wagub Papua pun juga tak luput dari gerilya Akmal.
Setelah semua pihak mulai sepaham, pertemuan pun dilangsungkan antara Doren, Dance, dan Gubernur Papua Lukas Enembe, 5 Maret 2021. Pertemuan berlangsung hangat selama dua jam. Itulah komunikasi awal semua pihak sehingga bisa duduk bersama. Setelah 13 hari, peralihan kekuasaan pun terjadi secara resmi dari Doren ke Dance.
Baca juga: Reposisi Otonomi Daerah
”Menyampaikan hal-hal seperti itu, kan, tidak bisa ketika semua pihak dalam kondisi marah, tunggu cooling down dulu, enggak bisa asal bikin surat. Wah, dirobek (surat) itu. Kalau diberi sanksi, mereka juga langsung marah dan melawan, enggak bisa seperti itu,” ujar Akmal.
Pemetaan daerah
Itu hanya sebagian kecil persoalan di pemda di mana pusat harus ikut ”turun tangan” menjadi fasilitator daerah. Jauh sebelum ini, Kemendagri juga acapkali memfasilitasi kepala daerah yang memiliki hubungan tidak harmonis dengan wakilnya. Ini dilakukan agar kerja pemerintahan tak terganggu.
Biasanya, akar persoalan keributan antara kepala daerah dan wakilnya ini adalah pembagian kewenangan. Namun, terkadang persoalan juga lebih kompleks. Alhasil, beberapa kasus perseteruan kepala daerah yang dimediasi Kemendagri terkadang selesai, tetapi ada juga yang tidak selesai.
”Pernah ada kejadian, saya panggil keduanya. Di sini (kantor Kemendagri) sukses, bersalaman bla bla, tetapi setelah kembali ke daerah malah berantem lagi. Ya, setidaknya saya, kan, sudah mencoba,” ucap Akmal.
Di era otonomi daerah, komunikasi yang efektif menjadi kunci. Namun, seni dalam berkomunikasi itu juga tergantung pada cara pusat membaca dan memetakan kondisi setiap daerah. Sebab, setiap daerah memiliki kekhasan masing-masing.
Ada beberapa pemetaan yang dilakukan. Pertama, daerah baru atau daerah lama. Kedua, daerah otonomi khusus atau bukan. Ketiga, kekuatan aktornya meliputi kepala daerah dan DPRD. Keempat, kekuatan ASN dan kelembagaannya. Kelima, regulasi yang dibentuk daerah.
”Jadi butuh seni. Seni memfasilitasi daerah dengan komunikasi yang efektif. Saya selalu katakan, ratusan regulasi yang pernah kita buat ini belum tentu bisa membuat tujuan tercapai. Tetapi, satu komunikasi yang efektif bisa membuat tujuan tercapai,” ujar Akmal.
Skala superprioritas
Akmal menyadari, di era otonomi daerah ini, pemda memiliki kewenangan yang besar. Namun, kewenangan yang besar itu tak akan mampu dijalankan secara optimal ketika sumber daya mereka terbatas, seperti sumber daya manusia, finansial, serta sarana dan prasarana.
Di tengah keterbatasan ini, pemda harus mampu menentukan skala prioritas, bahkan superprioritas. Artinya, sumber daya yang ada diarahkan terlebih dahulu pada kegiatan atau program yang superprioritas. Pemda harus menghilangkan seluruh kepentingan personal, kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, dan kepentingan suku.
”Jadi, persoalannya adalah tidak semua daerah cakap dalam menentukan mana program-program yang prioritas dan mana yang superprioritas karena ada sejumlah kendala, seperti sosial, politik, dan budaya,” ujarnya.
Dengan kondisi seperti ini, pusat terkadang harus melakukan intervensi. Namun, itu sebatas arahan penetapan skala prioritas. Misalnya, di Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri memastikan pengalokasian anggaran penanganan pandemi.
”Kalau daerah ambil keputusan sendiri, kadang tidak selesai-selesai karena ada beberapa kendala, seperti sosial, politik, dan budaya itu,” kata Akmal.
Belum otonom
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, berpandangan otonomi daerah lahir atas problem disintegrasi serta korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang mengakar di masa Orde Baru. Hingga hari ini, otonomi menjadi instrumen resolusi konflik regional di saat daerah menuntut keadilan akses politik dan ekonomi.
Dua dekade perjalanan otonomi, tujuan politik relatif tercapai. Namun, keadilan ekonomi ini belum terdistribusi dengan baik. Beberapa daerah masih belum memiliki kemandirian fiskal. Mengacu pada standar internasional, daerah dianggap otonom secara fiskal apabila pendapatan asli daerahnya mencapai minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
”Nyatanya, masih banyak daerah yang belum (otonom secara fiskal). Pendapatan mereka baru 5-10 persen dari APBD,” kata Robert.
Namun, kemandirian fiskal ini juga tidak bisa hanya ditopang oleh satu sektor. Di Kabupaten Badung, Bali, misalnya, postur pendapatannya hanya bergantung pada sektor pariwisata. Akibatnya, saat diterpa pandemi seperti sekarang, kondisi keuangan daerah itu pun goyah.
Tak berhenti di sana, pelaksanaan otonomi ternyata juga masih menyisakan sejumlah persoalan, mulai dari kualitas layanan publik yang belum prima hingga kasus korupsi yang kian merajalela.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari 2004 sampai 2020, setidaknya terdapat 561 kasus korupsi yang melibatkan pemda. Tak hanya itu, di banyak daerah pula, pemda kerap kali menggunakan kewenangannya untuk memboroskan anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan publik.
”Ini menunjukkan ada gap bahkan keterputusan mandat rakyat yang diberi lewat suara dan pajak tetapi akuntabilitas tidak seimbang. Berarti akuntabilitas itu masih menjadi masalah,” ujar Robert.
Pengajar pada Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Abdul Gaffar Karim, mengatakan, otonomi daerah juga sering kali melahirkan kepala daerah yang tidak sesuai dengan karakter daerah tersebut. Pemilihan kepala daerah sejak awal sangat sentralistik. Akibatnya, pemimpin tidak berpijak atas kepentingan masyarakat, tetapi lebih mengutakan kepentingan kelompok elite.
Ia mengusulkan agar format desentralisasi diubah menjadi desentralisasi asimetris. Hal ini untuk mengakomodasi keragaman karakter daerah sehingga pemimpin yang lahir bisa sesuai karakter dan kebutuhan daerahnya.
”Desentralisasi asimetris lebih sesuai dengan keberagaman karakter daerah di Indonesia. Nantinya derajat otonomi setiap daerah bisa berbeda-beda,” kata Gaffar.
Dilihat dari kaca mata daerah, otonomi daerah juga menyisakan persoalan lain, yaitu kebijakan pusat kerap tidak sejalan dengan aspirasi daerah. Wacana impor beras oleh pusat beberapa waktu lalu, misalnya, ditolak oleh sejumlah kepala daerah yang sedang panen raya, seperti Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Jawa Tengah.
Selain itu, ada pula soal wacana perekrutan 1 juta guru dengan sistem pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja pada Mei 2021. Namun, perekrutan tersebut masih menyisakan persoalan bagi pemda karena anggaran mereka terbatas.
”Kebijakan-kebijakan strategis pusat seperti ini tidak melihat kondisi lokal dan pusat tidak melibatkan kepala daerah dalam pembahasan. Padahal, itu isu krusial dan menyangkut ketersediaan dana daerah. Jangan sampai ujung-ujungnya daerah menjadi pihak yang dirugikan dan pontang-panting cari sumber pendanaan, padahal pendapatan mereka sedang tertekan di tengah pandemi,” kata Robert.
Dari refleksi seperempat abad ini, jalannya otonomi daerah belum mencapai paripurna yang diharapkan. Pembagian kewenangan ke daerah harus mampu dibuktikan dengan penyejahteraan masyarakat.