Berdasarkan data Satgas BLBI, setidaknya delapan obligor/debitor sudah dipanggil untuk melunasi utang mereka. Namun, belum semua obligor tersebut hadir.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI telah memanggil sejumlah obligor atau debitor untuk melunasi utang mereka. Namun, belum semua obligor dan debitor tersebut patuh. Oleh karena itu, pemerintah didorong untuk melakukan upaya penagihan melalui jalur pengadilan.
Berdasarkan data Satgas BLBI, setidaknya delapan obligor/debitor sudah dipanggil untuk melunasi utang mereka. Pada 26 Agustus, Satgas memanggil Agus Anwar yang memiliki utang Rp 104,63 miliar dan pengurus PT Timor Putra Nasional Tommy Soeharto, serta Ronny Hendrato yang memiliki utang Rp 2,61 triliun. Kemudian, pada 7 September, Satgas memanggil Kaharudin Ongko yang berutang Rp 8,18 triliun.
Pemangilan dilanjutkan pada 9 September kepada Kwan Benny Ahadi dengan nilai utang Rp 157,72 miliar; Setiawan dan Hendrawan Harjono dengan utang Rp 3,57 triliun; debitor PT Era Persada dengan utang Rp 130 miliar; dan Ronny HR dengan utang Rp 2,61 triliun. Mereka diminta menghadap Ketua Pokja Penagihan dan Litigasi untuk memenuhi penyelesaian hak tagih negara dalam dana BLBI.
”Pihak yang tidak hadir saat pemanggilan di antaranya Setiawan Harjono atau Hendrawan Harjono, debitur atas nama PT Era Persada, dan Agus Anwar. Khusus untuk Agus Anwar itu belum hadir, tetapi sudah ada komunikasi dengan satgas,” ujar Direktur Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan melalui keterangan tertulis, Minggu (12/9/2021).
Sebelumnya, Satgas BLBI yang dibentuk pemerintah dengan melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga menargetkan penagihan hak tagih utang negara senilai Rp 110,454 triliun. Aset tersebut diketahui berupa aset kredit Rp 101,8 triliun; aset properti Rp 8,06 triliun, aset surat berharga Rp 489,4 miliar; aset saham Rp 77,9 miliar; aset inventaris Rp 8,47 miliar; serta aset rekening atau valuta asing (nostro) senilai Rp 5,2 miliar.
Di dalam agenda penanganan hak tagih utang tersebut, Satgas BLBI menargetkan pelacakan aset dan data debitor/obligor. Data itu baik berupa data kependudukan, badan hukum, jaminan dan harta kekayaan lain, data perpajakan, serta data keuangan debitor. Hingga akhir tahun 2021 ini ada tujuh obligor atau debitor yang menjadi prioritas penagihan.
Debitor atau obligor itu di antaranya adalah Trijono Gondokusumo dari Bank Surya Putra Perkasa dengan utang Rp 4,89 triliun; Kaharuddin Ongko dari Bank Umum Nasional dengan utang Rp 7,83 triliun; Sjamsul Nursalim dari Bank Dewa Rutji dengan utang Rp 470,65 miliar; Sujanto Gondokusumo dari Bank Dharmala dengan utang Rp 822,25 miliar; Hindarto dan Anton Tantular dari Bank Central Dagang dengan utang Rp 1,47 trilun; Marimutu Sinivasan dari Group Texmaco dengan utang Rp 31,72 triliun; serta Siti Hardianti Rukmana dari PT Citra Cs dengan utang sekitar Rp 676 miliar.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD selaku Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI mengatakan, pemulihan hak negara dari dana BLBI dilakukan tidak hanya kepada para pemilik perusahaan, tetapi juga ahli waris atau pihak-pihak lain yang bekerja sama dengannya. Para debitor atau obligor diimbau untuk kooperatif karena pemerintah telah memiliki daftar utang mereka.
Jika sampai terjadi pembangkangan, dan sengaja melanggar, bukan tidak mungkin perkara bisa berbelok ke ranah pidana. Misalnya, jika debitor atau obligor memberikan bukti palsu, mengingkari kewajibannya, sehingga merugikan negara, mereka bisa dijerat memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga arah penegakan hukumnya bisa berbelok ke korupsi.
Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, apabila sudah berkali-kali debitor atau obligor tidak hadir memenuhi panggilan, satgas dapat menggugat mereka secara perdata ke pengadilan. Menurut Kurnia, gugatan melalui jalur pengadilan dapat menjadi bentuk keseriusan pemerintah untuk menagih aset negara tersebut.
Sebab, jika hanya mengandalkan itikad baik, tentu prosesnya akan lama dan berbelit-belit. Padahal, satgas diberi tenggat bekerja hingga Desember 2023. Satgas harus mengambil langkah strategis yang efektif dan efisien.
”Kami melihat perkara ini sulit dibelokkan ke jalur pidana karena putusan Mahkamah Agung pada mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung jelas mengatakan bahwa perkara itu adalah ranah perdata, bukan pidana. Jadi, menurut kami kenapa pemerintah tidak menggugat saja secara perdata ke pengadilan?” kata Kurnia.
Kurnia juga meminta pemerintah untuk lebih terbuka kepada publik terkait perhitungan nilai aset milik obligor dan debitor yang bisa ditagih, apakah para debitor itu benar-benar memiliki jaminan yang cukup untuk melunasi utangnya. Jika tidak, kemudian bagaimana skema yang akan ditempuh pemerintah agar utang tersebut bisa dilunasi. Hal ini penting dijelaskan secara terbuka kepada publik agar ada jaminan pengembalian uang negara serius dilakukan, bukan hanya gimik politik.
”Jangan sampai langkah yang dilakukan Satgas BLBI ini hanya untuk menutup kegagalan mereka mengusut secara pidana dugaan korupsi yang dilakukan debitor dan obligor yang menjadi buronan KPK bertahun-tahun,” kata Kurnia.
Sementara itu, peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola menambahkan, dalam skema perdata, obligor atau debitor gagal bayar dapat dikategorikan sebagai bentuk wanprestasi. Setelah itu, baru bisa diambil langkah hukum selanjutnya untuk proses hukum wanprestasi.
Menurutnya, pemerintah bisa saja merampas aset debitor atau obligor sebagai bentuk sanksi wanprestasi tersebut. Namun, upaya itu juga masih terganjal karena Indonesia belum memiliki UU Perampasan Aset. Ketiadaan payung hukum itu akan menyulitkan terutama jika aset disimpan di luar negeri.
”Satgas BLBI seolah bekerja tanpa peta jalan yang komprehensif. Seharusnya, untuk keperluan penagihan hak tagih utang dana BLBI ini, pemerintah perlu segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Agar ada payung hukum kuat untuk memulihkan hak negara tersebut,” kata Alvin.