Satgas BLBI ”Sisir” Ulang Aset BLBI Rp 110 Triliun
Pemerintah mencatat utang perdata debitor dalam kasus BLBI mencapai Rp 110 triliun. Daftar aset tersebut telah dimiliki pemerintah sejak 2004. Dalam waktu dekat, aset itu akan dihitung ulang.
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia akan segera mengeksekusi aset yang dijaminkan ke negara oleh obligor yang jumlahnya mencapai Rp 110 triliun melalui mekanisme hukum perdata. Namun, dalam waktu dekat mereka akan lebih dulu memeriksa kembali nilai debitor BLBI untuk mendapatkan angka yang pasti.
Dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021, susunan organisasi Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI terdiri dari Pengarah dan Pelaksana. Pengarah terdiri dari tiga menteri koordinator ditambah Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, dan Kepala Polri.
Adapun Pelaksana terdiri dari ketua satgas yang adalah Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu dengan wakil satgas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan. Kemudian terdapat sekretaris satgas yang adalah Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta tujuh anggota satgas yang adalah eselon I dari beberapa kementerian dan lembaga.
Dalam melaksanakan tugas, satgas diberi waktu hingga 31 Desember 2023 atau lebih kurang 2,5 tahun sejak keppres ditetapkan, yakni pada 6 April 2021. Ketua satgas diminta melaporkan pelaksanaan tugas kepada Pengarah dan Presiden paling sedikit sekali per enam bulan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Senin (12/4/2021) di Jakarta, mengatakan, Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI akan segera mengeksekusi aset yang dijaminkan ke negara oleh para obligor dalam perkara BLBI.
Data dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan serta Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung mencatat, utang perdata debitor dalam kasus BLBI mencapai Rp 110 triliun. Menurut Mahfud, daftar aset tersebut telah dimiliki pemerintah sejak 2004.
Baca juga : Menanti Strategi Satgas BLBI Buru Rp 110 Triliun dalam 2,5 Tahun
Namun, selama ini, aset yang berupa jaminan surat, uang, dan deposito belum bisa dieksekusi karena menunggu putusan dari Mahkamah Agung. Pada Juli 2019 MA dalam putusannya menyebutkan, tidak ada unsur pidana dalam kasus dana BLBI pada saat krisis moneter 1998. Kebijakan tersebut dianggap selesai dan benar meskipun negara merugi. Sebab, situasi saat itu menghendaki demikian.
”Karena MA menyatakan tidak ada unsur pidana dalam perkara BLBI, kemudian peninjauan kembali (PK) yang diajukan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tidak diterima oleh MA, sekarang negara menagih utang debitor itu sesuai dengan mekanisme hukum perdata,” kata Mahfud.
Mahfud menambahkan, pemerintah tetap akan menghitung ulang nilai utang debitor BLBI untuk mendapatkan angka yang pasti. Salah satu kendalanya adalah nilai suatu aset sudah tidak sesuai dengan yang tertera di sertifikat, sementara aset yang dijaminkan ke negara bisa jadi sudah berkembang atau malah menyusut.
Di sisi lain, meskipun KPK tidak masuk ke dalam satgas, mereka tetap diminta mengawasi perkembangan kasus tersebut. Termasuk kemungkinan satgas meminta data dari KPK karena KPK memiliki data lain di luar hukum pidana yang bisa ditagihkan dan digabungkan ke utang perdata.
Menurut Mahfud, Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI mulai bekerja sejak Juni 2020 atau setelah upaya PK KPK tidak diterima MA. Mahfud memastikan satgas akan bekerja secara transparan kepada masyarakat, antara lain dengan mengumumkan nilai aset BLBI yang dapat langsung dieksekusi maupun aset yang tidak dapat dieksekusi.
”Semuanya harus dihitung oleh satgas dan harus jelas dulu posisi hukumnya. Apa yang bisa dikembalikan ke negara harus diserahkan menjadi aset negara,” terang Mahfud.
Kompas mencoba menghubungi Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu Rionald Silaban dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak. Namun, keduanya tidak merespons.
RUU Perampasan Aset
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengatakan, sebagai bagian dari Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI, PPATK terus berkoordinasi dengan satgas. Di satgas, PPATK bertugas menelusuri aset dengan menggunakan jaringan domestik maupun lembaga intelijen keuangan di negara-negara lain.
Untuk itu, PPATK akan mengoptimalkan kewenangan yang dimiliki berdasarkan Undang-Undang No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan menelusuri adanya dugaan pencucian uang dan tindak pidana ekonomi lainnya. PPATK juga akan membantu Jaksa Pengacara Negara dan Ditjen Kekayaan Negara dengan memberikan informasi intelijen keuangan terkait keberadaan aset BLBI.
”Namun, upaya dari PPATK ini akan semakin optimal jika ada UU Perampasan Aset. Sekarang, PPATK sedang mendorong agar RUU itu segera dibahas di DPR,” kata Dian.
Hal senada diungkapkan peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola. Menurut Alvin, kinerja satgas akan kurang maksimal jika pemerintah bersama DPR tidak segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Sebab, materi dalam RUU Perampasan Aset lebih kuat dalam menyelamatkan aset negara dibandingkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Di sisi lain, proses inventarisasi aset oleh satgas juga tidak mudah dan perlu waktu lama karena harus diidentifikasi sedari awal. Sementara kejaksaan dinilai belum berpengalaman untuk menelusuri dan menyita aset di luar negeri.
”Jika aset terkait BLBI berada di luar negeri, proses ’pemulangannya’ tidak mudah, bahkan jarang yang mampu memberikan hasil optimal. Sebab, penggunaan metode perdata membutuhkan biaya yang tak sedikit. Kalau menggunakan mekanisme peradilan kriminal asing, seperti Money Laundering Law Swiss, tentu prosesnya akan sangat lama. Tidak dilibatkannya KPK dan lemahnya MLA (mutual legal assistance) juga menyulitkan rencana proses pengembalian aset,” tutur Alvin.
Sembari terus mendorong agar RUU Perampasan Aset segera disahkan, Alvin berharap agar satgas segera membeberkan rencana strategis ke depan. Hal itu diperlukan untuk menepis keraguan publik.
Pentingnya RUU Perampasan Aset juga menjadi perhatian Komisi III DPR. Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh, RUU Perampasan Aset mesti didorong sebagai salah satu legislasi prioritas karena hukuman badan belum mampu memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi.
”Kita juga melihat bahwa pendekatan hukum pidana belum mampu menyelesaikan persoalan kerugian negara secara cepat,” kata Khairul.
Menurut Khairul, apabila RUU ini disahkan, akan memaksimalkan pengembalian kerugian negara dari hasil tindak pidana. Selain itu, RUU itu dapat menjadi faktor penjera (deterrent factor) bagi pelaku tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang banyak merugikan negara.
”Saya melihat UU ini juga nantinya diharapkan dapat menyelesaikan recovery assets kerugian negara dari kejahatan kejahatan ekonomi yang masih terus merajalela secara cepat,” katanya.
Khairul meyakini proses penyelesaian RUU menjadi UU itu akan mendapat perhatian dari pemerintah dan DPR. Pasalnya, ia menyadari bahwa persoalan korupsi harus dapat dieliminasi. Demikian juga kerugian negara harus segera dipulihkan agar kepercayaan publik meningkat.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, Komisi III menyadari payung hukum yang ada belum sepenuhnya memberikan efek jera kepada koruptor. RUU Perampasan Aset dinilai menjadi solusi membatasi buron koruptor mengakses harta mereka di tengah proses pelarian.
”Salah satu yang ditakuti para koruptor ini, kan, tidak bisa menikmati hartanya. Maka, RUU Perampasan Aset merupakan efek jera bagi mereka,” ujarnya.
Di DPR, ia sempat mengusulkan RUU Perampasan Aset ini sebagai usul inisiatif DPR. Namun, karena pemerintah juga sudah mengusulkan RUU yang sama, usulan itu dicabut dari usulan Fraksi Nasdem. Fraksinya dalam posisi mendukung usulan pemerintah tersebut.
Berkaca dari kasus para koruptor yang menjadi buron di luar negeri, lanjut Basari, pengesahan RUU Perampasan Aset merupakan strategi yang tepat untuk membuat para buron tidak bisa bergerak bebas. Dia menyebut karateristik para buron koruptor ialah selalu bisa menjalankan bisnis mereka dengan bebas dari luar negeri.
”Mereka bisa berinteraksi dengan pengusaha-pengusaha di dalam negeri. Artinya, selama ini tidak ada pembatasan ruang gerak,” ujarnya.
Basari mengatakan, ketika nanti pada saatnya dilakukan evaluasi terhadap Prolegnas Prioritas 2021, RUU Perampasan Aset sangat mungkin didorong sebagai RUU prioritas.