Presiden Diharap Segera Ambil Alih Persoalan TWK KPK
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung menolak uji materi terkait peraturan alih status pegawai KPK menjadi ASN. Karena itu, pimpinan KPK dan BKN menganggap persoalan tes wawasan kebangsaan pegawai KPK telah selesai.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo diharapkan mengambil alih penyelesaian polemik alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara. Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi semestinya tak menjadi satu-satunya pertimbangan karena Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman Republik Indonesia menemukan pelanggaran prosedur pada tes wawasan kebangsaan pegawai KPK.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (10/9/2021), mengatakan, jika dilihat dari putusan MA dan MK, mahkamah hanya fokus pada pengujian materi, bukan pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Sehingga anggapan BKN dan KPK bahwa putusan MA dan MK sudah cukup melegalkan pelaksanaan TWK dan mengesampingkan temuan Ombudsman dan Komnas HAM merupakan pandangan yang keliru.
”Putusan MA dan MK ini tidak dapat menjadi legitimasi, justifikasi, pembenaran bagi pelaksanaan tes wawasan kebangsaan KPK yang kemarin sudah dilaksanakan dan penuh dengan pelanggaran HAM dan malaadministrasi,” ujar Zaenur.
Sebelumnya, MA menolak uji materi terhadap ketentuan terkait TWK yang diajukan mantan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo dan Farid Andhika. MA berpendapat, Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Aparatur Sipil Negara tak bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dalam pertimbangannya, MA juga menilai, tindak lanjut dari hasil asesmen TWK menjadi kewenangan pemerintah.
Beberapa waktu lalu, MK juga menolak uji materi terkait alih status pegawai KPK menjadi ASN, yang diajukan Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia Muh Yusuf Sahide. MK menilai ketentuan alih status di Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK tidak diskriminatif karena diberlakukan untuk seluruh pegawai KPK.
Zaenur melanjutkan, dengan mengacu pada putusan MA, saat ini tindak lanjut dari hasil TWK merupakan kewenangan pemerintah. Artinya, persoalan ini kembali kepada Presiden Jokowi Presiden pun diharapkan dapat melaksanakan rekomendasi Komnas HAM dan saran perbaikan dari Ombudsman untuk mengangkat pegawai yang tak lolos TWK menjadi ASN.
Lagi pula, jauh sebelum ini, pada 17 Mei 2021, Presiden pernah menegaskan bahwa hasil TWK tidak boleh dijadikan dasar pemberhentian pegawai KPK, melainkan sebagai metode untuk pembinaan kepegawaian ke depan. Zaenur berharap, Presiden melaksanakan pidato yang pernah diungkapkannya sendiri.
”Jadi, kebijaksanaan Presiden di sini sangat dinanti, apakah akan melaksanakan pidatonya sendiri atau akan menyerahkan kepada bawahannya untuk menyelesaikan persoalan ini. Kalau diserahkan ke bawahannya, sangat mungkin, benar-benar terjadi para pegawai ini akan dipecat dan pidato Presiden menjadi tak ada artinya, menjadi suatu pidato kosong yang tak punya dampak apa pun meski sudah diberi kewenangan,” tutur Zaenur.
Mengakhiri perdebatan
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengapresiasi putusan MK dan MA yang telah menghilangkan kesimpangsiuran dan ketidakpastian hukum yang sempat terjadi akibat adanya lembaga-lembaga lain yang turut menguji keabsahan peraturan perundang-undangan. Padahal, kewenangan untuk menguji keabsahan peraturan perundang-undangan ada di tangan MK dan MA.
Ghufron menegaskan, putusan MK dan MA telah menepis tudingan malaadministrasi dan pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK. Ia pun berharap, putusan MK dan MA ini menjadi akhir dari perdebatan TWK KPK.
”Kami mengajak semua pihak secara dewasa menerima putusan ini,” ujar Ghufron.
Selanjutnya, kata Ghufron, berdasarkan putusan MK dan MA, KPK akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) serta Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk melanjutkan proses peralihan pegawai KPK berdasarkan Peraturan KPK No 1/2021 dan peraturan perundang-undangan lainnya, baik di internal KPK maupun tentang manajemen ASN.
Pelaksana Tugas Kepala BKN Bima Haria Wibisana sejak awal meyakini Peraturan KPK No 1/2021 akan dinyatakan sah dan gugatan akan ditolak oleh MA. Sebab, penyusunan aturan tersebut sangat standar dan hanya menindaklanjuti UU KPK dan Peraturan Pemerintah No 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.
Lagi pula, lanjut Bima, payung hukumnya, yakni ketentuan alih status pegawai di UU KPK, juga telah dinilai konstitusional oleh MK. ”Selesai sudah. Berarti analisis dan kesimpulan ORI otomatis gugur,” ujarnya.
Ia pun menegaskan, posisi BKN sebagai lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), mengikuti keputusan mahkamah, bukan mengikuti rekomendasi.
Hendardi, Ketua Setara Institute, berpandangan, secara normatif, dengan putusan MK dan MA, tindakan hukum KPK dan BKN dalam menyelenggarakan TWK adalah legal dan konstitusional. Dua produk putusan lembaga yudikatif tersebut diklaim dapat mengakhiri kontroversi TWK yang selama ini melilit KPK.
”Energi publik yang melimpah selanjutnya dapat disalurkan untuk mengawal KPK bekerja mencegah dan memberantas korupsi,” kata Hendardi.
Jika sejumlah pihak masih menganggap terdapat pelanggaran hukum dalam peralihan status pegawai KPK, menurut Hendardi, persoalan itu dapat dibawa ke jalur yudisial melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pegawai KPK yang dianggap tidak memenuhi syarat menjadi ASN dapat menggugat ke PTUN setelah menerima surat keputusan pemberhentian yang bersifat individual, konkret, dan final.