KPK Diminta Lebih Progresif Ingatkan Kewajiban Pejabat Laporkan Harta Kekayaan
Tingkat kepatuhan penyelenggara negara melaporkan harta kekayan tahun 2020 mencapai 96,7 persen, tetapi sebagian masih asal-asalan. KPK perlu lebih tegas menyikapi pejabat yang tak menaati kewajiban melaporkan kekayaan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang rencananya akan dibahas lagi di Dewan Perwakilan Rakyat tidak mengatur secara spesifik mengenai ketaatan pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Komisi Pemberantasan Korupsi diminta lebih progresif untuk mengingatkan penyelenggara negara melaksanakan kewajiban rutin tahunan tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi merilis, tingkat kepatuhan pejabat menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2020 per 31 Agustus 2021 mencapai 96,7 persen. Rinciannya pejabar eksekutif 96,81 persen; legislatif 90,54 persen; yudikatif 98,52 persen; dan BUMN/BUMD 98,38 persen.
Di rumpun legislatif disebut bahwa baru 90 persen anggota MPR yang menyerahkan LHKPN kepada KPK. Adapun tingkat kepatuhan anggota DPR melaporkan harta kekayaan hanya 55 persen, sedangkan DPD 88 persen. Sementara kepatuhan DPRD provinsi 86 persen dan DPRD kabupaten/ kota 91 persen.
KPK sebagai lembaga yang diberikan wewenang untuk menerima dan mengelola LHKPN perlu lebih tegas bersikap kepada penyelenggara yang tidak taat
Tingkat akurasi pengisian LHKPN pun disebut masih tergolong rendah. Dari 1.665 LHKPN penyelenggara negara yang diperiksa sejak 2018 sampai dengan 2020, ditemukan 95 persen LHKPN yang tidak akurat.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae, Rabu (8/9/2021), mengatakan, peningkatan ketaatan pelaporan LHKPN tidak perlu menunggu Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang rencananya baru akan masuk dalam program legislasti nasional prioritas saat evaluasi prolegnas bulan ini.
PPATK memiliki data orang-orang yang memiliki atau pernah memiliki kewenangan jabatan publik (Politically Exposed Persons atau PEPs) yang datanya bisa disandingkan dengan LHKPN yang telah dibuat oleh penyelenggara negara. Dengan manyandingkan data itu, monitoring terhadap penyelenggara negara yang belum taat membuat LHKPN lebih mudah dipantau.
”PPATK bisa koordinasikan dengan Menkopolhukam, Menpan RB, dan KPK untuk memanfaatkan data PEPs yang dimiliki PPATK untuk disandingkan dengan LHKPN dan data lainnya sehingga monitoring akan berjalan lebih baik,” ujar Dian.
RUU Perampasan Aset, lanjut ia, tidak mengatur secara spesifik menyangkut kepatuhan penyelenggara negara dalam pelaporan LHKPN. Namun, di RUU tersebut diatur bahwa salah satu obyek perampasan aset adalah aset atau harta kekayaan yang tidak bisa dijelaskan perolehan dan penambahannya (un-explained whealth). ”Harus ada unexplain wealth, baru asetnya kita bisa bekukan atau disita,” katanya.
Adapun ukuran yang bisa digunakan untuk menilai aset atau harta tersebut antara lain laporan pajak tahunan dan pelaporan LHKPN. Apabila dalam laporan tersebut jelas terungkap aset atau harta kekayaan berikut perolehannya, akan mempertegas status asetnya. Sebaliknya, jika tidak bisa menjelaskan asal perolehan asetnya, bisa disita.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, KPK sebagai lembaga yang diberikan wewenang untuk menerima dan mengelola LHKPN perlu lebih tegas bersikap kepada penyelenggara yang tidak taat. Sebab, selama ini, ia menilai pendekatan KPK dalam LHKPN cenderung masih normatif dan belum cukup progresif menyikapi LHKPN.
Sikap tegas itu bisa dilakukan dengan memberikan surat peringatan secara terus-menerus kepada penyelenggara negara dan atasannya. Sementara jika anggota DPR, perlu juga memberikan surat kepada pimpinan fraksi dan partai asalnya.
”Kalau sudah lebih dari tiga bulan dari batas akhir 31 Maret belum memberikan LHKPN, diumumkan saja semua yang belum lapor atau belum memperbarui LHKPN,” kata Wakil Ketua MPR itu.
Menurut Arsul yang rutin melaporkan LHKPN dalam empat tahun terakhir, melaporkan LHKPN merupakan konsekuensi dari seorang pejabat negara yang mesti melaporkan hartanya tiap tahun. Ia pun menilai tidak ada hambatan untuk memenuhi kewajiban itu sehingga tidak ada alasan untuk tak taat lapor LHKPN.
”Barangkali banyak pejabat negara yang lupa karena ingatnya yang penting sudah pernah lapor dan merasa tidak perlu diperbarui tiap tahun, terlebih jika tidak ada penambagan atau pengurangan yang signifikan. Ini yang perlu terus diingatkan oleh KPK,” kata Arsul.