Putusan MK dan MA Tak Bisa Abaikan Putusan Komnas HAM dan Ombudsman
Komnas HAM dan Ombudsman RI akan tetap meminta Presiden menjalankan rekomendasi dari kedua lembaga itu terkait dengan pelaksanaan TWK pegawai KPK. Ombudsman pun bersikap akan melanjutkan tahapan sesuai undang-undang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pasal peralihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara tidak mengesampingkan pelanggaran prosedur yang ditemukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman Republik Indonesia. Begitu pula apa pun putusan Mahkamah Agung nanti.
Untuk itu, Komnas HAM dan Ombudsman akan tetap meminta Presiden menjalankan rekomendasi terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai KPK.
Sebagaimana telah diberitakan, MK menolak uji materi terkait alih status pegawai KPK menjadi ASN, yang diajukan Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia Muh Yusuf Sahide. MK menilai ketentuan alih status di Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK tidak diskriminatif karena diberlakukan untuk seluruh pegawai KPK.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat dihubungi di Jakarta, Rabu (1/9/2021), mengatakan, putusan MK itu sama sekali tidak memengaruhi hasil temuan Komnas HAM di mana terdapat 11 bentuk pelanggaran HAM dalam proses pelaksanaan TWK pegawai KPK.
Sejak awal, lanjut Anam, Komnas HAM tidak mempersoalkan Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK, melainkan proses pelaksanaan dari amanat undang-undang itu yang bermasalah.
”Kami (Komnas HAM) itu, kan, menguji fakta. Ada persoalan di tahap pelaksanaan (TWK). Itu, kan, tak diuji di MK. Jadi, bagi Komnas HAM, putusan MK itu tidak memengaruhi apa pun,” ujar Anam.
Oleh karena itu, Anam menyampaikan, Komnas HAM tetap berkeinginan untuk bertemu dengan Presiden. Dengan begitu, Komnas HAM dapat memberikan penjelasan secara langsung dan utuh kepada Presiden terkait pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK pegawai KPK.
Kami (Komnas HAM) itu, kan, menguji fakta. Ada persoalan di tahap pelaksanaan (TWK). Itu, kan, tak diuji di MK. Jadi, bagi Komnas HAM, putusan MK itu tidak memengaruhi apa pun. (Choirul Anam)
Rekomendasi jalan terus
Dihubungi secara terpisah, Komisioner Ombudsman RI (ORI) Robert Na Endi Jaweng enggan mengomentari putusan MK terkait pasal peralihan status pegawai KPK menjadi ASN. Ombudsman, kata Robert, akan tetap fokus pada domainnya, yakni mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden.
Berdasarkan UU No 37/2008 tentang ORI, Ombudsman dapat mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden jika sampai batas waktu 30 hari, tindakan korektif yang diminta ORI tak juga dijalankan terlapor.
Tenggat itu dihitung sejak laporan hasil akhir pemeriksaan (LHAP) ORI diterima terlapor. Dalam kasus malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK pegawai KPK, LHAP diterima pihak terlapor, yakni Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan KPK, pada 23 Juli 2021. Artinya, saat ini, tenggat itu telah terlampaui.
”Ombudsman jalan terus dengan tahapan yang ada, sesuai ketentuan dan mekanisme kerja yang ditetapkan UU,” ucap Robert.
Lagi pula, lanjut Robert, mengacu pada Pasal 52 dan Pasal 53 UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik, diatur bahwa pengajuan gugatan ke pengadilan tidak menghapus kewajiban penyelenggara negara untuk melaksanakan keputusan Ombudsman. Dengan kata lain, proses hukum di MA dan MK tak bisa dijadikan alasan untuk menunda melaksanakan tindakan korektif atau saran perbaikan yang disampaikan oleh Ombudsman.
”Jadi, putusan Ombudsman wajib dilaksanakan dulu dan itu sudah dipertegas dalam UU Pelayanan Publik. Itu sudah clear (jelas),” kata Robert.
Optimis menang
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BKN Bima Haria Wibisana menegaskan, posisi BKN sebagai lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), mengikuti keputusan mahkamah, bukan mengikuti rekomendasi.
Untuk itu, BKN masih akan menanti keputusan MA terkait uji materi terhadap Peraturan KPK (Perkom) No 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.
Namun, Bima meyakini Perkom itu akan dinyatakan sah dan gugatan akan ditolak oleh MA. Sebab, penyusunannya sangat standar dan hanya menindaklanjuti UU KPK dan Peraturan Pemerintah No 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. Lagi pula, payung hukumnya, yakni ketentuan alih status pegawai di UU KPK, juga telah dinilai konstitusional oleh MK. Ia menyebut, putusan MA akan keluar Kamis (2/9/2021) besok.
”Optimistis menang. Kalau Perkom dinyatakan sah dan gugatan ditolak, ya selesai sudah. Berarti analisis dan kesimpulan ORI otomatis gugur,” tutur Bima.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata juga mengatakan, KPK masih menunggu putusan MA terkait TWK KPK sebelum bersikap. ”Biar tuntas sekalian,” ujarnya.
Laksanakan rekomendasi
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid berpandangan ketentuan di dalam undang-undang tentang tes dalam seleksi kepegawaian merupakan hal lumrah. Namun, jika ketentuan itu tidak definitif dan menimbulkan multitafsir yang memicu proses penerapan yang diskriminatif serta melanggar hak-hak pekerja, norma yang mengatur tentang tes itu harus dibatalkan, termasuk hasil dari tes tersebut.
Untuk itu, Amnesty International Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo untuk menjalankan rekomendasi ORI dan Komnas HAM yang sudah tepat dalam menjalankan tugasnya sesuai undang-undang.
”Jadi, Presiden wajib memulihkan status pegawai KPK yang diperlakukan tidak adil dalam proses dan hasil akhir TWK,” ujar Usman.
Jika ketentuan itu tidak definitif dan menimbulkan multitafsir yang memicu proses penerapan yang diskriminatif serta melanggar hak-hak pekerja, maka norma yang mengatur tentang tes itu harus dibatalkan. (Usman Hamid)
Adapun Hendardi, Ketua Setara Institute, berpandangan lain. Menurut dia, putusan MK ihwal alih status pegawai KPK telah mempertegas bahwa secara normatif Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK, tidak bermasalah. Oleh karena itu, Perkom tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN, yang merupakan turunan dari ketentuan UU KPK, yang saat ini sedang diuji MA, besar kemungkinan akan dinyatakan sah.