Empat Hakim MK Berpandangan Alih Status Pegawai KPK Harus Tanpa Pandang Bulu
Sebagian hakim konstitusi berpandangan bahwa pegawai KPK secara hukum menjadi pegawai ASN karena berlakunya UU KPK terbaru. Oleh karena itu, alih status pegawai KPK bukanlah melalui proses seleksi.
Oleh
susana rita
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Empat hakim konstitusi menyatakan, proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara harus dilakukan terhadap seluruh penyelidik, penyidik, dan pegawai komisi antirasuah tersebut tanpa pandang bulu. Proses alih status pegawai KPK menjadi ASN berbeda dengan mekanisme seleksi menjadi ASN.
”Secara hukum, apabila diletakkan dalam konstruksi Pasal 69B dan 69C UU 19/2019, proses peralihan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu. Kemudian, setelah penyelidik, penyidik dan pegawai KPK mendapatkan status pegawai ASN, institusi KPK dapat melakukan berbagai bentuk tes untuk menempatkan mereka dalam struktur organisasi KPK sesuai dengan desain baru KPK,” kata hakim konstitusi Saldi Isra saat membacakan concurring opinion atau alasan berbeda dalam putusan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, Selasa (31/8/2021).
Selain Saldi, hakim konstitusi yang mengajukan alasan berbeda adalah Wahiddudin Adams, Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih.
Secara hukum, apabila diletakkan dalam konstruksi Pasal 69B dan 69C UU 19/2019, proses peralihan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu.
Meski memiliki pertimbangan demikian, MK menolak permohonan uji materi yang diajukan Muh Yusuf Sahide, Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia Muh Yusuf Sahide, yang mempersoalkan inkonstitusionalitas Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019, khususnya terkait dengan penggunaan hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai dasar untuk menentukan seseorang diangkat atau tidak diangkat sebagai ASN oleh KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta dalil lainnya.
Pemohon meminta MK untuk menyatakan alih status pegawai KPK seperti diatur di dalam Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69 C UU 19/2019 dilakukan sepanjang pegawai yang bersangkutan bersedia menjadi ASN dan belum memasuki batas usia pensiun.
MK menolak permohonan tersebut. Namun, di dalam pertimbangannya, MK memberikan penjelasan lebih jauh mengenai proses alih status pegawai.
Dalam menyampaikan concurring opinion, empat hakim konstitusi menegaskan bahwa Pasal 24, Pasal 69B, dan pasal 69C UU 19/2019 serta putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019, secara tegas (expresis verbis) menyatakan, pegawai KPK secara hukum menjadi pegawai ASN karena berlakunya UU KPK terbaru. MK pun dalam putusan sebelumnya menyatakan, alih status pegawai tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai dengan alasan apapun di luar desain yang ditentukan peraturan perundangan.
Dengan mengacu pada pertimbangan tersebut, keempat hakim konstitusi itu menyatakan bahwa status peralihan bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK bukanlah proses seleksi calon pegawai baru atau seleksi ASN baru yang mengharuskan adanya berbagai bentuk seleksi sehingga sebagiannya dapat dinyatakan memenuhi syarat dan sebagian lain dapat dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Pasal 69B dan 69C UU No 19/2019 harus dipandang, dimaknai, dan diposisikan sebagai peralihan status bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK menjadi pegawai ASN sehingga desain baru institusi KPK tetap memberikan kepastian hukum bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK.
”Posisi hukum kami, karena peralihan status tersebut sebagai hak, peralihan dilaksanakan terlebih dahulu dan setelah dipenuhi hak tersebut baru dapat diikuti dengan penyelesaian masalah-masalah lain, termasuk kemungkinan melakukan promosi dan demosi sebagai pegawai ASN di KPK,” kata Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.
Pertimbangan
Dalam pertimbangannya, MK juga menegaskan kembali makna ”tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut”. Menurut MK, frasa ”tidak merugikan” harus dimaknai tidak merugikan individu pegawai KPK dalam arti semua pegawai KPK memiliki kesempatan yang sama dan harus tetap mengedepankan sumber daya manusia pegawai KPK yang bukan hanya profesional, tetapi berintegritas, netral, bebas dari intervensi politik, dan bersih dari penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Kata ”tidak merugikan”juga harus dimaknai tidak boleh merugikan Lembaga KPK khususnya dalam teknis penegakan hukum serta “tidak boleh merugikan” dalam konteks ASN, dalam arti menjadi ASN yang loyal dan tunduk pada politik negara. Selain itu, alih status juga tidak boleh merugikan dalam konteks negara, dimana ASN diharap menjadi alat pemersatu bangsa dan negara berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Pemohon mempersoalkan tentang penggunaan tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai dasar hukum seseorang diangkat atau tidak diangkat menjadi ASN yang berasal dari penafsiran frasa “dapat diangkat sebagai pegawai ASN sepanjang memenuhi ketentuan perundang-undangan” yang terdapat dalam Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU 19/2019. Hal itu kemudian membuat BKN dan KPK secara keliru menafsirkan syarat alih status yaitu dengan menggunakan hasil TWK untuk menentukan seseorang diangkat atau tidak menjadi pegawai ASN. Menurut pemohon, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 28D UUD 1945.
Namun, MK tak sepakat dengan dalil tersebut. Menurut MK, dalil pemohon tidak beralasan hukum. Sebab, pemberlakuan TWK tidaklah secara langsung berhubungan dengan kesempatan untuk menduduki jabatan publik in casu penyidik dan/atau penyelidik KPK atau hak untuk turut serta dalam pemerintahan. MK juga mengungkapkan bahwa ketentuan alih status pegawai KPK (Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C) tidak diskriminatif karena diberlakukan untuk seluruh pegawai KPK.
“Adanya fakta bahwa ada beberapa pegawai KPK yang tidak lolos TWK bukanlah persoalan konstitusionalitas norma,” ujar hakim konstitusi.
Sebelumnya, Ombudsman RI telah menyatakan adanya maladministrasi dalam proses penyelenggaraan TWK, sementara Komnas HAM menilai ada 11 bentuk pelanggaran HAM dalam pelaksanaannya. Komnas HAM merekomendasikan agar Presiden mengambil alih persoalan tersebut dan mengangkat pegawai KPK yang tak lolos TWK menjadi ASN serta memulihkan nama baik mereka.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengungkapkan, soal TWK, yang bermasalah sebenarnya terkait prosedur pelaksanaannya seperti keterlibatan institusi militer dan juga Badan Inteligen Negara di dalamnya. “Bukan TWK-nya yang menjadi masalah, tapi prosedur pelaksanaannya. Misalnya mengenai penggunaan bahan-bahan dari TNI, kontrak yang berlaku mundur,” kata dia.
Namun, menurut dia, persoalan ini berpulang kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan yang powerfull.