Majelis Rakyat Papua Meminta Terlibat Mengawasi Penggunaan Anggaran Otsus Papua
Sebagai lembaga kultural, Majelis Rakyat Papua ingin dilibatkan mengawasi penggunaan dana Otsus Papua. Diharapkan penggunaan dana itu dirasakan orang asli Papua. Selain itu, kualitas SDM juga perlu ditingkatkan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Rakyat Papua berharap ada pengaturan kewenangan bagi lembaga kultural itu untuk ikut mengawasi penggunaan anggaran Otonomi Khusus Papua. Selama ini MRP belum cukup dilibatkan dalam pengawasan penggunaan dana otsus tersebut. Pengawasan dipandang penting untuk memastikan dana triliunan rupiah itu sampai di tangan orang asli Papua.
Anggota MRP, Dorince Mehue, dalam diskusi daring yang diadakan oleh Forum Merdeka Barat (FMB) di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Senin (9/8/2021), mengatakan, selama 20 tahun Otsus Papua berjalan, MRP ibarat singa yang tidak bergigi lantaran tidak memiliki kewenangan untuk mengawal dan mengawasi implementasi otsus, termasuk penggunaan anggaran otsus.
Selama 20 tahun Otsus Papua berjalan, MRP ibarat singa yang tidak bergigi lantaran tidak memiliki kewenangan untuk mengawal dan mengawasi implementasi otsus, termasuk penggunaan anggaran otsus.
”Kami berharap pada pelaksanaan otsus dalam 20 tahun ke depan ini, MRP didudukkan dengan kewenangan yang lebih kuat, termasuk untuk mengawasi implementasi Otsus Papua. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bagaimana peningkatan kapasitas dan kewenangan lembaga ini sehingga kami betul-betul menjadi jembatan untuk menghubungkan antara pemerintah pusat, provinsi, dan mengawal hak-hak dasar orang asli Papua,” katanya dalam diskusi yang bertajuk ”Otsus Papua Menuju Masyarakat Sejahtera.”
Sebagai lembaga kultural, MRP memiliki kewenangan untuk mengawal hak dasar masyarakat adat Papua. Namun, di dalam UU dan revisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, yang baru saja disahkan pada 15 Juli 2021, kewenangan itu tidak banyak disinggung.
Revisi UU Otsus juga tidak memberikan kewenangan khusus terkait dengan pengawasan implementasi Otsus Papua di lapangan. Dorince berharap, penguatan kelembagaan dan pemberian kewenangan untuk pengawasan itu dapat diatur di dalam peraturan pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana UU Otsus.
”Selama 20 tahun pertama Otsus Papua fase pertama (2001-2020), salah satu PP yang dikeluarkan oleh pemerintah ialah PP tentang MRP dan itu merupakan PP satu-satunya tentang lembaga ini. Kami berharap ini perlu dievaluasi, yakni tentang bagaimana meningkatkan kapasitas dan kewenangan lembaga ini,” ucapnya.
Dalam praktiknya, menurut Dorince, peran pengawasan itu dapat dilakukan dengan melihat apakah anggaran Otsus Papua yang mencapai Rp 146 triliun selama 20 tahun pertama itu benar-benar sampai kepada orang asli Papua (OAP), serta seberapa besar dana itu yang diimplementasikan sesuai dengan ketentuan UU. ”Mohon MRP dikasih tugas (pengawasan) itu, untuk memastikan hal itu, sebab ketika terjadi persoalan masyarakat demonya ke MRP,” ungkapnya.
Dari hasil evaluasi MRP, Dorince menyebut pemberdayaan dan pelibatan perempuan dalam 20 tahun pertama fase otsus masih minim. Padahal, UU Otsus sudah memerintahkan semua komponen masyarakat untuk dilindungi. ”Ini sama sekali tidak terjadi. Perempuan di fase pertama otsus tetap mengalami diskriminasi, sehingga hak-hak politik perempuan asli Papua tidak diperhatikan dengan baik,” katanya.
Lakukan evaluasi
Sementara itu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik mengatakan, pemerintah setiap tahun melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan UU Otsus selama 20 tahun terakhir. Evaluasi rutin itu dilakukan sebagai basis pengambilan kebijakan. Hasil evaluasi dari Kemendagri itu pun telah disampaikan kepada pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk MRP.
Pengesahan revisi Otsus Papua, 15 Juli 2021, juga dipandang sebagai suatu kemajuan. Dalam revisi itu, anggaran Otsus Papua ditambah, dari yang awalnya 2 persen menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum (DAU). Kenaikan anggaran itu akan difokuskan untuk pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua dan Papua Barat.
”Evaluasi selalu kami lakukan. Kesimpulan umum dari evaluasi ini ialah masih perlunya peningkatan SDM (sumber daya manusia) pengelola, penguatan kelembagaan, perbaikan mekanisme dana otsus, dan transparansi kepada publik,” katanya.
Akmal mengatakan, selama 20 tahun Otsus Papua dijalankan ada banyak hal telah dicapai sekalipun ada berbagai catatan yang juga mesti diperbaiki. Persoalan Otsus Papua pun harus dilakukan dengan melihat dua hal, yakni norma dan implementasinya. ”Kalau persoalannya ialah pada implementasi, tentu tidak cukup hanya diubah normanya di dalam UU,” katanya.
Ada sejumlah kelemahan dalam implementasi UU Otsus Papua. Problem implementasi itu terkait dengan SDM atau aktor yang mengimplementasikan UU Otsus Papua, kelembagaan, proses, serta akuntabilitas dan transparansi pelaksanaannya.
Akmal mengakui ada sejumlah kelemahan dalam implementasi UU Otsus Papua. Problem implementasi itu terkait dengan SDM atau aktor yang mengimplementasikan UU Otsus Papua, kelembagaan, proses, serta akuntabilitas dan transparansi pelaksanaannya.
”Kalau norma belum sempurna, kita perbaiki normanya. Kalau dari sisi implementasi, ya, tidak bisa diperbaiki dengan perbaikan norma. Sesungguhnya sudah banyak norma yang dibuat, tetapi banyak persoalan di sisi implementasinya,” ucapnya.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden Billy Mambrasar mengatakan, komitmen Presiden Joko Widodo dalam membangun Papua tidak berubah. Presiden telah 12 kali ke Papua dan Papua Barat dan menyerap aspirasi dari masyarakat langsung. Dari sisi kebijakan, pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk percepatan pembangunan di Papua.
”Kunjungan ini bagian pengejawantahan dari deliberative policy making process, bagaimana pembuat kebijakan turun ke bawah untuk mendengar langsung, melakukan formulasi kebijakan. Salah satu instruksi yang kita dengar ialah melakukan pendekatan yang berbeda, yakni dengan fokus ke manusia Papua dan pendekatan di luar yang sudah ada di dalam ketentuan otsus,” katanya.
Melalui berbagai program, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan jaringan internet, dan beasiswa untuk anak-anak Papua, pemerintah telah berupaya mengakselerasi pembangunan di Papua. Kalaupun itu dipandang belum cukup masif dan cepat, menurut Billy, itu adalah suatu perkembangan yang harus dilihat sebagai bagian dari proses.
”Pembangunan adalah proses, yakni dari titik A ke titik B. Kalau belum sampai pada titik B, bukan berarti tidak ada perkembangan karena ini dalam proses menuju ke sana. Sebagai contoh, jumlah penduduk miskin tahun 2000-an, itu angkanya 50 persen. Namun, sekarang berhasil turun menjadi 26,8 persen di 2020. Kalau memakai perspektif gagal dan berhasil, tentu proses perkembangan ini tidak akan dilihat,” katanya.