Revisi UU Otsus Disahkan, Pemerintah Janji Selesaikan Pelanggaran HAM di Papua
Isu pelanggaran HAM di Papua kerap menjadi sorotan di dunia internasional. Pemerintah berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, selain meningkatkan kesejahteraan dan peran orang asli Papua dalam pemerintahan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Kompas
Masyarakat yang mewakili Dewan Adat Papua berunjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (8/8). Dewan Adat Papua menolak judicial review (hak uji materi) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No 21 Tahun 2001 atau UU Otsus Pasal 1 Huruf t tentang Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Provinsi Papua adalah orang asli Papua ras Melanesia yang disampaikan Ketua DPD PDI-P Provinsi Papua Komarudin Watubun SH MH.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua disahkan, pemerintah akan berfokus membangun Papua dengan pendekatan kesejahteraan. Kasus pelanggaran hak asasi manusia juga dijanjikan akan diselesaikan, sama seperti kasus-kasus serupa di daerah lain di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam keterangan resmi, Jumat (16/7/2021), mengatakan, dengan direvisinya UU Otsus Papua, pemberian dana otsus Papua yang seharusnya berakhir pada November 2021 diperpanjang selama 20 tahun hingga 2041. Alokasi dana otsus juga ditambah 0,25 persen dari sebelumnya. Jika sebelumnya, dana otsus hanya 2 persen dari total dana alokasi umum (DAU) nasional kini ditambah menjadi 2,25 persen dari DAU. Dana akan diberikan dalam dua jenis, yaitu block grant atau bantuan hibah yang akan diberikan langsung oleh pemerintah pusat. Juga ada dana special grant atau sejenis dana abadi yang bisa dicairkan apabila ada proposal kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah.
”Dana Otsus Papua ini akan dimaksimalkan untuk pembangunan kesejahteraan di Papua. Penggunaannya tidak lagi akan dibiarkan tanpa pertanggungjawaban seperti dulu. Pemda akan didampingi pemerintah pusat dalam penggunaan dana tersebut,” kata Mahfud.
Kamis (15/7), dalam rapat paripurna, DPR dan pemerintah menyetujui pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Total 18 pasal direvisi plus dua pasal baru ditambahkan. Namun, sejumlah pihak menyesalkan pengesahan ini. Salah satunya karena revisi dinilai belum mengakomodasi sepenuhnya tuntutan masyarakat Papua. Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU Otsus Papua Komarudin Watubun mengatakan, ada 20 pasal yang disepakati DPR dan pemerintah. Sebanyak 3 pasal revisi merupakan usulan pemerintah. Kemudian 15 pasal revisi di luar usulan pemerintah. Selain itu, ada pula penambahan dua pasal baru, yakni Pasal 6A dan 68A (Kompas, 16/7/2021).
Mahfud berharap dengan adanya revisi UU Otsus Papua, tidak ada lagi isu Papua Merdeka. Untuk itu, Mahfud telah berbicara dengan para duta besar RI yang bertugas di sejumlah negara sahabat terkait pengesahan revisi UU Otsus Papua. Dalam pembicaraan itu, para duta besar menyampaikan bahwa salah satu isu yang disorot oleh pendukung gerakan Papua Merdeka adalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
Kami akan menunjukkan kepada dunia bahwa penyelesaian kasus HAM di Papua sama dengan daerah lain di Indonesia sehingga isu ini tidak dimainkan setiap tahunnya di dunia internasional. (Mahfud MD)
Oleh karena itu, selain meningkatkan kesejahteraan serta peran orang asli Papua dalam pemerintahan dan pembangunan, pemerintah juga berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. Saat ini, pemerintah yang diwakili Kementerian Hukum dan HAM serta Kejaksaan Agung sudah bekerja sama dengan Komnas HAM untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
Kompas/Hendra A Setyawan
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberikan keterangan pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (11/6/2021).
”Kami akan menunjukkan kepada dunia bahwa penyelesaian kasus HAM di Papua sama dengan daerah lain di Indonesia sehingga isu ini tidak dimainkan setiap tahunnya di dunia internasional,” kata Mahfud.
Melemahkan hak orang asli Papua
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyayangkan masih adanya substansi pasal bermasalah di revisi UU Otsus. Substansi pasal itu ada di Pasal 76 yang berpotensi melemahkan hak orang asli Papua (OAP). Kewenangan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural OAP dilemahkan. Pasal tersebut justru memperkuat wewenang pemerintah pusat di Papua, termasuk melalui pembentukan badan khusus otsus yang diketuai Wakil Presiden.
”Dengan adanya pasal itu, jaminan perlindungan hak-hak orang asli Papua berpotensi semakin terancam,” kata Usman.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Adanya substansi pasal yang justru tidak memberikan jaminan perlindungan OAP itu sangat kontradiktif dengan harapan warga Papua. Warga Papua berharap revisi UU Otsus Papua melindungi hak mereka. Sebab, di UU Otsus sebelumnya meskipun ada banyak pasal yang melindungi OAP, pemerintah masih tak serius dalam pelaksanaannya. Masih banyak pelanggaran hak OAP, sehingga kebijakan itu sebenarnya ditolak oleh warga Papua. Bahkan, revisi UU Otsus Papua juga dinilai dilakukan tanpa konsultasi yang memadai dari OAP.
”Implementasi UU Otsus Papua sebelumnya yang tidak konsisten telah mengakibatkan ketidakpuasan yang meluas terhadap otonomi khusus. Ini menyebabkan sejumlah protes di Papua dan daerah lain merebak di Indonesia selama setahun terakhir,” kata Usman.
UU Otsus Papua pertama kali dibuat pada 2001 sebagai tanggapan atas seruan untuk penentuan nasib sendiri Papua yang menguat setelah jatuhnya rezim Orde Baru. UU itu dimaksudkan untuk memberi lebih banyak ruang bagi orang Papua untuk mengatur diri mereka sendiri sebagai bagian dari Indonesia. Salah satu fokus utama dari UU tersebut adalah tentang perlindungan hak OAP, yaitu masyarakat adat.
Implementasi UU Otsus Papua sebelumnya yang tidak konsisten, telah mengakibatkan ketidakpuasan yang meluas terhadap otonomi khusus. Ini menyebabkan sejumlah protes di Papua dan daerah lain merebak di Indonesia selama setahun terakhir. (Usman Hamid)
Namun, kata Usman, dalam praktiknya, perlindungan-perlindungan itu tidak berjalan optimal. Pengelolaan sumber daya alam sering kali dilakukan dengan mengabaikan peraturan. Contohnya adalah berlanjutnya deforestasi di wilayah Papua. Menurut data Forest Watch Indonesia, antara tahun 2000 dan 2009, laju deforestasi di Papua sekitar 60.300 hektar per tahun. Antara tahun 2013 dan 2017, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 189.300 hektar per tahun.
KOMPAS/HUMAS POLRESTA JAYAPURA
Aparat mengimbau massa untuk menghentikan aksi unjuk rasa penolakan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua di Jayapura pada Rabu (14/7/2021).
Amnesty International Indonesia juga menyesalkan sikap represif aparat dalam menanggapi protes revisi UU Otsus di Papua dan Jakarta. Dalam demonstrasi yang terjadi pada 14 Juli 2021 di Universitas Cendrawasih, Jayapura, setidaknya empat mahasiswa terluka setelah bentrok dengan aparat. Setidaknya 23 mahasiswa lainnya juga ditangkap. Adapun, pada 15 Juli 2021, pengunjuk rasa yang melakukan demonstrasi di depan gedung DPR RI juga dibubarkan oleh aparat. Setidaknya 40 orang dari massa aksi ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Amnesty International mendesak agar aparat yang menggunakan kekerasan dan kekuatan berlebih untuk menangani demonstrasi itu dapat diproses hukum.