Pemerintah tetap berupaya mencari titik temu dengan DPR sehingga RUU PDP bisa disahkan pada 2021. Masih banyak opsi dapat dilakukan pemerintah dan DPR untuk mencapai kata sepakat.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi atau RUU PDP sekalipun saat ini masih ada perbedaan pendapat dengan pemerintah terkait otoritas atau badan pengawas perlindungan data pribadi. Pemerintah pun tetap berupaya mencari titik temu dengan DPR sehingga RUU inisiatif pemerintah itu tetap bisa disahkan pada 2021.
Sebelumnya, dalam pembahasan RUU PDP ini terjadi kebuntuan dalam rapat konsinyering, akhir Juni, lalu antara DPR dan pemerintah. Terjadi perbedaan antara DPR dan pemerintah terkait posisi otoritas atau badan pengawas PDP. Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menginginkan agar lembaga itu ada di bawah Kemenkominfo, tetapi DPR menginginkan agar lembaga itu berada di bawah presiden langsung.
Ketua Panja RUU PDP yang juga Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika (Aptika) Semuel Pangerapan, Jumat (23/7/2021), dalam wawancara daring mengatakan, penyelesaian RUU PDP itu menjadi komitmen pemerintah. Pemerintah optimistis dapat tercapai kata sepakat dalam penyelesaian RUU itu dengan DPR. Perbedaan pendapat dengan DPR dalam rapat konsinyering dan rapat kerja adalah hal biasa. Hal itu berusaha diselesaikan dalam pembahasan RUU itu di masa sidang berikutnya.
”Saya optimistis akan tercapai titik temu antara pemerintah dan DPR. Yang harus dipikirkan saat ini, apa pun yang terjadi bagaimana kita melindungi rakyat. Sekali lagi, dari pemerintah ini masih bisa dibicarakan dan, kalau tidak tuntas sekarang, dan harus menunggu-nunggu lagi, akan kelamaan,” tuturnya.
Semuel mengatakan, masih banyak opsi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk mencapai kata sepakat. Perspektif yang berbeda antara pemerintah dan DPR masih dapat dijembatani dengan pembicaraan-pembicaraan lanjutan melalui berbagai forum. Pemerintah menilai RUU ini tidak akan berakhir dalam kebuntuan karena masih ada berbagai jalan yang dapat ditempuh untuk menuntaskan pembahasan RUU ini.
”Yang terpenting ialah mendengarkan perspektif yang berbeda itu, argumentasinya apa. Kalau tidak dibicarakan, mana bisa tercapai titik temu,” ucapnya.
Masih banyak opsi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk mencapai kata sepakat. Perspektif yang berbeda antara pemerintah dan DPR masih dapat dijembatani dengan pembicaraan-pembicaraan lanjutan melalui berbagai forum.
Kalaupun masih ada ketidaksetujuan terkait dengan otoritas atau badan pengawas PDP, menurut Semuel, masih ada poin-poin penting lainnya yang dapat diteruskan pembahasannya oleh DPR dan pemerintah. Dari sekitar 300 daftar inventarisasi masalah (DIM), baru sebagian yang tuntas dibahas. Pembicaraan antara pemerintah dan DPR dapat diteruskan untuk DIM yang lain dan tidak harus terpaku pada DIM yang menjadi perbedaan antara pemerintah dan DPR.
Terkait posisi pemerintah mengenai badan pengawas PDP, lanjut Semuel, pemerintah sepakat jika badan itu di bawah presiden. Namun, yang menurut pemerintah harus dipahami ialah perspektif lembaga di bawah presiden tidak harus merupakan lembaga quasi-pemerintah.
”Jika memang disepakati badan atau lembaga itu di bawah kewenangan eksekutif, maka itu menjadi kewenangan eksekutif di bawah presiden untuk menentukan apakah badan itu nantinya di bawah presiden langsung ataukah di bawah kementerian. Pimpinan eksekutif yang tertinggi ialah presiden dan menteri sebagai pembantu presiden juga masih berada di bawah ranah kewenangan eksekutif,” paparnya.
Hal yang mesti dibicarakan lagi ialah kewenangan pembentukan badan itu di bawah eksekutif, yudikatif, ataukah legislatif. Menurut Semuel, jika tanggung jawab pengawasan itu diberikan kepada eksekutif, seharusnya diberikan kewenangan kepada eksekutif untuk membentuk badan itu, termasuk jika eksekutif menginginkannya di bawah kementerian.
”Di dalam draf RUU PDP, di Pasal 58, disebutkan tanggung jawab itu ada di bawah eksekutif. Kalau pemerintah diberi tanggung jawab menentukan pengawasan itu, tetapi ternyata kewenangannya digerogoti, kan, tidak tepat,” katanya.
Menurut Semuel, kalaupun badan itu di bawah kementerian, bukan berarti akan terjadi konflik kepentingan. Landasan utamanya ialah UU, bukan pangkat atau level badan itu, dan posisi badan itu sebagai lembaga di bawah presiden langsung atau di bawah presiden melalui kementerian. Kalau ada pelanggaran yang dilakukan oleh pengawas di bawah Kemenkominfo, ada mekanisme check and balance yang dapat dilakukan oleh DPR untuk membentuk panitia khusus (pansus).
”Kalau ada kebocoran dukcapil, misalnya, yang diperiksa pusat data informasi (pusdatin) dan ada data protection officer (DPO). DPO itu ada di pusdatin dan itu dulu yang saya panggil, baru dilihat ada kesalahan kebijakan ataukah tidak. Yang dilihat bukan pelaksananya adalah dirjen atau setingkat eselon I, tetapi semua harus ikuti UU,” katanya.
Semuel mengatakan, badan di bawah kementerian atau setingkat eselon I bukan berarti tidak dapat menindak pelanggaran pengelolaan data oleh instansi lain, yang levelnya lebih tinggi dari ditjen. Sebab, ketika suatu badan diberi kewenangan oleh UU, siapa pun harus menaati UU itu.
Saat ini, Kemenkominfo telah memiliki unit khusus yang menangani pelanggaran data pribadi. Semuel menyebut unit di bawah Ditjen Aptika itu telah menjalankan peran pengawasan terhadap 30 kasus kebocoran data. Payung hukum yang dijadikan landasan memang belum kuat karena hanya berdasarkan pada satu pasal di dalam UU ITE, PP Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem Transaksi Elektronik dan disusul dengan peraturan Menkominfo.
Kemenkominfo telah memiliki unit khusus yang menangani pelanggaran data pribadi. Semuel menyebut unit di bawah Ditjen Aptika itu telah menjalankan peran pengawasan terhadap 30 kasus kebocoran data.
Ingin independen
DPR juga tetap pada posisinya yang menginginkan agar badan itu bersifat independen dan bertanggung jawab kepada presiden. Anggota Panja RUU PDP, Bobby Adhityo Rizaldi, mengatakan, jika badan ini berada di bawah kementerian, presiden justru akan kebingungan dalam melakukan penegakan hukumnya. Sebab, masing-masing kementerian dan instansi di bawahnya juga memiliki ketentuan sendiri-sendiri mengenai pengelolaan data, misalnya UU Imigrasi, UU Kependudukan, dan UU Perbankan.
”Jadi, perlu lembaga yang langsung bertanggung jawab ke presiden. Ini adalah kebijakan dari presiden. Tidak ada benar atau salah, tetapi sebaiknya seperti itu, tergantung bagaimana presiden akan memutuskan nanti,” katanya.
RUU PDP, menurut Bobby, mengatur soal kewajiban pengendali data di lembaga publik dan swasta. Jika badan pengawas itu ada di bawah kementerian, rentan terjadi konflik antarlembaga publik. Karena itu, DPR ingin lembaga pengawas tersebut bertanggung jawab langsung ke presiden.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, baik pemerintah maupun DPR harus segera menemukan titik temu dalam perbedaan yang ada. RUU itu pun tidak seharusnya telantar karena perbedaan pendapat antara kedua lembaga negara itu. ”Saat ini, kebocoran data sudah sangat mengkhawatirkan dan RUU PDP ini menjadi kebutuhan publik. Titik temu bagaimana pun harus dicapai sehingga RUU ini bisa terealisasi untuk melindungi data pribadi warga,” ujarnya.
Sikap kukuh kedua belah pihak, menurut Wahyudi, tidak akan produktif. Pertemuan informal sebaiknya juga dilakukan antara pemerintah dan DPR, serta tidak hanya mengandalkan pertemuan formal, untuk membuat titik temu antara kedua belah pihak tercapai.