Pembangunan gedung utama Kejagung yang terbakar mesti dibarengi sikap transparan untuk merebut kembali kepercayaan publik. Bagaimanapun, kebakaran itu terjadi saat kasus Joko Tjandra dan Pinangki bergulir.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
Gedung utama Kejaksaan Agung yang habis dilahap api pada 22 Agustus 2020 dalam proses pembangunan kembali. Pembangunan ini seolah menjadi cermin terhadap komitmen Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi pada peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-61 yang jatuh pada Kamis (22/7/2021).
Proyek bernama Pekerjaan Kontruksi Fisik Terintegrasi Rancang Bangun Gedung Utama Kejaksaan Agung itu bakal menelan anggaran hingga Rp 549,6 miliar. Desain dasar dikerjakan oleh PT Uni Tri Cipta. Manajemen konstruksinya dilaksanakan PT Virama Karya (Persero) dan pelaksana proyek oleh PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.
Pada 28 Juni lalu, peletakan batu pertama telah dilaksanakan. Jika gedung utama Kejagung sebelumnya hanya enam lantai, gedung utama yang baru akan dibangun 22 lantai untuk sayap barat, 7 lantai di sayap timur, dan 11 lantai di sayap barat. Rancangan tersebut menggambarkan Tri Krama Adhyaksa, yakni tanggal lahir kejaksaan, bulan lahir kejaksaan, dan 11 bulir untaian padi pada lambang kejaksaan.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak pun mengingatkan kembali, terbakarnya gedung utama Kejagung yang terjadi ketika kasus Joko Tjandra bergulir telah memukul psikis Korps Adhyaksa.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak pun mengingatkan kembali, terbakarnya gedung utama Kejagung yang terjadi ketika kasus Joko Tjandra bergulir telah memukul psikis Korps Adhyaksa. Pada saat itu, sorotan dan tudingan publik tertuju kepada Kejagung karena dugaan keterlibatan jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam kasus Joko Tjandra.
”Untuk mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat, momentum pembangunan gedung utama Kejagung tersebut mesti dibarengi dengan sikap transparan, ketegasan, sistem yang jelas, serta pendekatan yang humanis. Terlebih, kejaksaan telah mendapat apresiasi yang positif dari publik karena menangani kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya dan di PT Asabri,” kata Barita pada Senin (12/7).
Hasil survei nasional Kompas pada April 2021 pun menunjukkan, citra positif kejaksaan berada di angka 74,2 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pengumpulan pendapat serupa pada 2019 dengan hasil 57 persen. Meski demikian, citra positif kejaksaan masih di bawah lembaga Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Mahkamah Konstitusi.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia Yenti Garnasih pada Rabu (21/7) pun menyampaikan, peringatan Hari Bhakti Adhyaksa menjadi momentum bagi kejaksaan untuk berbenah. Pencapaian yang telah diraih harus ditingkatkan, sementara catatan negatif mesti diperbaiki.
Menurut Yenti, kejaksaan memiliki catatan serius untuk memperbaiki integritas jajarannya, terutama perkara yang melibatkan jaksa Pinangki. Sikap kejaksaan yang menuntut Pinangki hanya 4 tahun penjara dinilai mencederai rasa keadilan publik.
”Karena, memang tidak masuk akal ketika dalam dakwaannya ada tindak pidana korupsi dan pencucian uang, tetapi tuntutannya hanya 4 tahun. Padahal, Pinangki sebagai jaksa seharusnya menjadi pemberatan,” kata Yenti.
Yenti berharap pimpinan di Kejaksaan Agung, khususnya bidang pembinaan dan pengawasan, turun dan mengunjungi aparat kejaksaan di daerah untuk memantau kinerja dan membina aparat kejaksaan di daerah. Yenti berharap agar jaksa berkelakuan baik dan berpenampilan berwibawa.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, pun memandang penanganan perkara jaksa Pinangki memperlihatkan konflik kepentingan kejaksaan dan malah bertentangan dengan upaya bersih-bersih Kejaksaan Agung.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, pun memandang penanganan perkara jaksa Pinangki memperlihatkan konflik kepentingan kejaksaan dan malah bertentangan dengan upaya bersih-bersih Kejaksaan Agung.
”Kasus tersebut sekaligus menyingkap pekerjaan rumah kejaksaan untuk membina para jaksa serta tidak melindungi kejahatan yang dilakukan anggotanya,” ucapnya.
Ditambahkan Barita, kejaksaan juga masih memiliki pekerjaan rumah lainnya, yakni penyelesaian perkara peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang mestinya dapat diselesaikan kejaksaan. Penuntasan kasus dugaan pelanggaran HAM berat harus dilakukan agar bangsa Indonesia terbebas dari utang masa lalu.
Sementara menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam rangka memperingati Hari Bhakti Adhyaksa yang ke-61, jajaran Kejaksaan Agung dan Pengurus Pusat Ikatan Adhyaksa Dharmakarini melaksanakan kegiatan Upacara Ziarah di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Peringatan Hari Bhakti Adhyaksa tak boleh berhenti di seremoni. Sejumlah pekerjaan rumah perlu dituntaskan oleh kejaksaan untuk memenuhi rasa keadilan yang dinanti publik.