Misteri di Lantai Enam Gedung Kejaksaan Agung
Keterangan terdakwa dan ahli di persidangan kasus kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung memunculkan pertanyaan menyangkut penyebab kebakaran yang bermula di lantai enam gedung. Apa itu?
Raut muram terlihat di wajah para terdakwa kasus kebakaran Kejaksaan Agung setelah mendengarkan tuntutan jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pertengahan April lalu.
Oleh jaksa, mereka dianggap bersalah karena menyebabkan kebakaran yang meluluhlantakkan gedung utama Kejaksaan Agung, di kawasan Jakarta Selatan, 22 Agustus 2020. Padahal, menurut terdakwa, kebakaran terjadi lama setelah mereka meninggalkan gedung. Keterangan ahli di sidang turut menambah keraguan.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Elfian dan dua hakim anggota, Suharno dan Yosdi, pertengahan April lalu, jaksa menuntut lima dari enam terdakwa dengan hukuman satu tahun penjara. Mereka adalah tukang yang sedang bekerja melakukan perbaikan di lantai 6 gedung Kejaksaan Agung (Kejagung), yakni Imam Sudrajat, Sahrul Karim, Karta, Tarno, dan Halim, sebelum kebakaran terjadi.
Adapun seorang lainnya, pemilik usaha CV Sentral Interior, Uti Abdul Munir, tempat kelima tukang bekerja, dituntut hukuman satu tahun enam bulan penjara.
Baca juga: Sistem Proteksi Gedung Kejagung Lemah
Tuntutan tersebut dilayangkan karena jaksa menganggap para tukang yang menjadi terdakwa itu membuang puntung rokok sembarangan tanpa melihat rokok sudah mati atau belum. Mereka membuang puntung rokok di kantong sampah plastik yang di dalamnya terdapat bahan-bahan mudah terbakar seperti potongan tripleks, tiner, dan lem aibon.
Khusus Uti, dituntut lebih berat karena ia dianggap tidak mengawasi tukangnya saat bekerja. Tak hanya itu, akibat kelalaiannya itu, kebakaran terjadi sehingga ia dinilai telah menyebabkan kerugian bagi negara.
Kecewa dengan tuntutan jaksa tersebut, Uti seusai sidang mempertanyakan di mana keadilan untuk mereka. ”Kebakaran jam 7 (malam). Logika rokok nyala sampai tiga jam itu dari mana? Itu saja. Rentang waktu itu,” ucapnya.
Dalam persidangan pemeriksaan saksi dan terdakwa sebelumnya terungkap, Imam merupakan tukang terakhir yang meninggalkan tempat mereka bekerja, di lantai 6 gedung Kejagung, persisnya di aula Biro Kepegawaian Kejagung pada 22 Agustus 2020. Imam keluar pukul 17.30, sedangkan keempat tukang lainnya keluar lebih dulu, yakni pukul 16.30.
Berdasarkan keterangan salah satu saksi, Mardi, teknisi kelistrikan yang mengerjakan renovasi di lantai 1 Gedung Utama Kejagung, di persidangan, ia mendengar ledakan selepas maghrib atau sekitar pukul 18.25. Versi kebakaran terjadi pada pukul 19.10 berdasarkan informasi dari BPBD Provinsi DKI Jakarta Pusdatin Kebencanaan beberapa saat setelah peristiwa kebakaran terjadi.
Imam memang mengakui telah tiga kali merokok hari itu, di ruangan tempatnya bekerja tersebut. Ia merokok setelah memperoleh izin dari seorang office boy. Namun, ia mengaku terakhir merokok pada pukul 15.00. Ia pun telah memastikan rokok tersebut mati karena menggunakan air untuk mematikannya.
Tak hanya itu, ia juga membuang puntung rokok bersama dengan kertas dinding yang basah ke dalam kantong plastik sampah. Ia juga tidak mencium asap saat meninggalkan ruangan.
”Jadi, harusnya, ya, tidak terbukti kalau kami penyebab kebakaran. Rokok itu mati pakai air semua,” ungkap Imam.
Orang terakhir
Yang juga janggal, menurut penjelasan kuasa hukum para terdakwa, Made Putra Aditya Pradana, orang terakhir yang masih berada di ruangan tempat mereka bekerja adalah Hendri Kiswoyo, office boy di Kejagung. Hal tersebut sebenarnya telah tertuang di berita acara pemeriksaan para terdakwa. Namun, dalam proses selanjutnya, nama Hendri tak ada di dakwaan.
Halim juga mengungkapkan, Hendri adalah orang yang mengabari Tarno bahwa terjadi kebakaran di gedung Kejagung. Hendri memberi kabar sekitar pukul 19.00 saat mereka akan makan malam. Karena kabar tersebut, mereka pun tidak jadi menyantap makan malam karena diminta untuk cepat-cepat datang ke Kejagung.
Adapun dalam sidang pemeriksaan ahli, Kepala Sub Direktorat Laka Bakar Puslabfor Bareskrim Polri Nurcholis menggunakan pendekatan kemungkinan dalam menelusuri penyebab kebakaran. Puslabfor menelusuri mulai dari instalasi listrik sampai proses kimia. Di salah satu titik ditemukan ada kandungan cairan solar dan tiner. Solar itu berada di lantai dasar hingga enam.
Dari pengamatannya tersebut, ia menyimpulkan lokasi pertama titik api berada di aula Biro Kepegawaian di lantai enam Gedung Kejagung. Api berasal dari perambatan api rokok. Nurcholis menuturkan, api yang berasal dari rokok membutuhkan waktu minimal 20 menit sampai dengan 30 menit untuk perambatan. Kemungkinan yang ada yakni faktor kesengajaan dan kelalaian.
Seandainya analisis ini benar, rokok yang menjadi pemicu kebakaran seharusnya disulut antara pukul 18.00 dan saat ledakan terdengar pukul 18.25. Padahal, pengakuan Imam seperti telah disebutkannya, ia merokok terakhir pada pukul 15.00. Ia sebagai tukang yang terakhir keluar dari gedung di antara terdakwa tukang lainnya, juga sudah keluar pukul 17.30.
Keterangan ahli lainnya, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia Yulianto S Nugroho, kian menguatkan keraguan akan penyebab kebakaran gedung Kejagung.
Dalam keterangannya, ia menyebutkan, telah mencoba membakar kertas yang basah dengan bensin. Media kertas digunakannya untuk mewakili kertas dinding yang terbakar saat kebakaran gedung Kejagung. Dari uji coba itu, kertas basah tetap tidak terbakar. ”Kesimpulannya, jika material tersebut basah, tidak akan terbakar,” katanya.
Dengan kata lain, jika pengakuan Imam benar, bara puntung rokok bukan penyebab kebakaran. Pasalnya, menurut Imam, ia menggunakan air untuk mematikan rokok. Tak hanya itu, puntung rokok itu dibuangnya bersama kertas dinding yang juga dalam kondisi basah.
Batasan liputan
Hal lain yang membuat janggal adalah batasan wartawan meliput sebagian persidangan kasus itu. Saat sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, misalnya, wartawan tidak bisa meliput dengan alasan penerapan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19.
Begitu pula saat saat sidang dengan agenda pemeriksaan ahli, wartawan hanya bisa mengambil gambar di awal persidangan. Padahal di hari yang sama, di ruang sidang lain di PN Jakarta Selatan, tak tampak ada pembatasan bagi wartawan. Kompas tetap dapat mengikuti sidang tersebut dari awal hingga akhir setelah bergabung dengan tim dari pengacara.
Pembatasan tersebut kemudian melonggar ketika persidangan sudah menjelang putusan. Saat sidang dengan agenda pembacaan tuntutan tak ada lagi pembatasan. Begitu pula ketika sidang dengan agenda pembacaan pleidoi terdakwa.
Kini, dengan setumpuk kekecewaan dalam diri para terdakwa akibat tuntutan jaksa, mereka hanya bisa memasrahkan nasibnya pada majelis hakim. Pada Senin (10/5/2021), pengacara para terdakwa, Made Putra Aditya Pradana, telah membacakan nota pembelaan atau pleidoi sebagai bantahan atas tuntutan jaksa. Keberatan para terdakwa atas tudingan sebagai pelaku pembakaran gedung Kejagung beserta alasan-alasannya, telah pula dikemukakan dalam pleidoi.
”Selanjutnya biarkan majelis hakim yang melihat keyakinannya seperti apa. Harapan kita sesuai fakta persidangan, yang jelas bebas,” ujar Made.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengingatkan, jika memang selama persidangan tak ada saksi atau alat bukti lainnya yang menunjukkan para terdakwa bersalah, hakim harus berani membebaskan para terdakwa.
Jika itu yang terjadi hingga putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, Badan Reserse dan Kriminal Polri sebagai pihak yang mengusut kebakaran, punya tanggung jawab menelusuri ulang penyebab kebakaran.
Baca juga: Tuntaskan Pengusutan Kebakaran Kejaksaan Agung
Menemukan fakta sesungguhnya dari kejadian kebakaran gedung Kejagung dengan mendasarkan pada keterangan saksi, ahli, dan alat bukti lainnya selama persidangan, kini jadi tugas hakim. Putusan hakim diharapkan bisa membuat penyebab kebakaran menjadi terang benderang, terlebih pasca-kebakaran banyak spekulasi beredar.
Salah satunya, kebakaran bukan karena kealpaan para tukang melainkan terkait dengan sejumlah kasus besar. Salah satunya kasus pelarian Joko Tjandra yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari, mantan pejabat di Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan, yang berkantor di lantai tiga gedung Kejagung.